Bertemu Kevin.

1010 Kata
Setelah mengganti pakaiannya, Sherin bergegas untuk pergi ke rumah sang paman tempat dirinya dahulu tinggal. Mobil sedan mewah berwarna hitam yang di kendarai pak Joko telah terparkir di depan rumah mewah itu untuk mengantarkan Sherin. "Sherin..." Panggil Veldian yang baru saja menuruni anak tangga saat melihat Sherin yang berjalan ke arah pintu utama. Sherin menghentikan langkahnya, lalu membalikkan badannya. "Iya, ada apa?"  "Ayo kita membeli pakaianmu." Ajak Veldian tersenyum tipis. Sherin menggaruk kepalanya bingung. "Emm... Tapi aku harus pergi." Veldian mengerutkan dahinya, seingatnya Sherin telah mengetahui bahwa dirinya akan mengajak Sherin untuk pergi hari ini. Tapi kenapa Sherin justru mengatakan bahwa ia akan pergi ke tempat lain? "Kemana?" Tanya Veldian penasaran. "Itu... Aku akan pergi ke rumah pamanku untuk mengambil beberapa barang ku yang masih ada di sana." Ucap Sherin jujur. "Sama kak Adrian?" Tanya Veldian kembali. Sherin tersenyum tipis sembari menggelengkan kepalanya. "Mana mungkin aku pergi bersama kakakmu."  Jika saja itu benar terjadi, Sherin bisa memastikan sepanjang perjalanan dirinya akan terjebak dalam kedinginan sikap Adrian. Lagi pula Adrian tidak akan punya waktu untuk menemaninya mengingat profesinya sebagai dokter ahli bedah yang profesional. "Kenapa tidak? Dia itu calon suamimu dan harus terbiasa menemanimu pergi, apalagi ke tempat yang berbahaya." Sahut Veldian. Sherin hanya menggeleng pelan. "Sudah sudah... Aku akan segera pergi. Maafkan aku belum bisa pergi denganmu."  Veldian menghela nafasnya, bagaimana pun juga ia tak berhak untuk memaksakan kehendaknya pada Sherin. "Baiklah kalau begitu." Senyum manis terukir di wajah Sherin, lalu berjalan meninggalkan Veldian menuju mobil mewah yang akan mengantarkannya. ***** "Nona, apa benar ini alamatnya?" Pak Joko menatap Sherin dari dalam kaca mobil. Sherin mengangguk yakin, matanya tertuju pada rumah berukuran kecil yang ada di ujung jalan yang hanya bisa di lalui dengan berjalan kaki saja. "Iya, benar. Pak Joko tunggu sebentar ya..."  "Saya akan menemani nona." Pak Joko bersiap turun dari dalam mobil dan akan membukakan pintu belakang tempat Sherin duduk. "Ee... Tidak usah pak. Biar saya sendiri saja. Bapak tunggu di mobil saja." Lalu keluar dari dalam mobil. Tanpa ragu Sherin melangkahkan kakinya hingg tiba di depan rumah yang menjadi tempatnya tinggalnya beberapa tahun terakhir. Rumah yang menjadikannya tumbuh dewasa tanpa merasakan kasih sayang keluarga. Kakinya menjinjit, tangan Sherin meraba bagian atas pintu. Tak lama sebuah kunci jatuh ke lantai. "Sudah ku duga, pasti paman belum pulang ke rumah di jam seperti ini." Ucapnya pelan. Sherin membuka pintu rumah, matanya mengedar ke seluruh bagian rumah untuk memastikan bahwa tidak ada siapa pun di rumah itu.  Setelah merasa aman, Sherin bergegas menuju kamarnya. Satu persatu ia mengemas pakaian serta barang barang miliknya yang sangat berharga. Sherin duduk meraih sebuah bungkusan kecil di dalam lemari pakaiannya. Dibukanya bungkusan yang terbuat dari kain itu hingga menunjukkan sebuah cincin yang sangat indah. Matanya berkaca kaca, hatinya begitu sedih setiap melihat cincin itu. Kini, cincin itu telah berada di jari manisnya. "Sudah muat. Syukurlah..." Diambilnya kembali beberapa lembar foto yang menunjukkan empat orang di dalamnya. Foto masa kecil Sherin bersama kedua orang tua dan kakaknya. Dari gambar itu terlihat jelas begitu bahagianya keluarga Sherin saat itu.  "Aku sangat merindukan kalian, jika saja kalian berada di sampingku saat ini..." Suaranya terdengar lirih, sekuat apapun ia mencoba kuat dan tegar, nyatanya air mata itu tak dapat tertahan juga. Sherin menghela nafas, menyeka air mata yang masih membasahi pipinya. Merasa telah cukup membawa barang berharga miliknya, Sherin pun bergegas meninggalkan rumah sang paman dengan membawa satu koper berukuran sedang berisi pakaian serta barang barang lain miliknya. Saat perjalanan menuju ke mobil, Sherin di kejutkan dengan kehadiran sosok pria yang berhenti di hadapannya dengan membawa sebuah kantong kertas berisikan makanan. "Sherin..." Pria itu berjalan dengan cepat menghampiri Sherin dan segera memeluk tubuh Sherin. Sherin yang hanya berdiri mematung melihat kehadiran pria itu tak banyak bicara, tubuhnya hanya merespon pelukan dari pria itu. "Kevin." Ucapnya pelan. "Kau dari mana saja, aku sangat merindukanmu." Lalu meraih wajah Sherin, memeriksa apakah Sherin baik baik saja seperti yang biasa ia lakukan pada Sherin. "Kau terluka Sherin, siapa yang melakukan itu padamu?" Saat mendapati dua luka memar sekaligus di wajah Sherin. Dia pria yang selalu menemani Sherin selama tiga tahun terakhir. Kevin dan Sherin menjalin hubungan sangat harmonis, keduanya jarang sekali berselisih bahkan beradu argumen. Sikap Sherin yang terkadang cerobah dan kekanak kanakan mampu di imbangi oleh Kevin yang lima tahun lebih tua darinya. Kevin yang penyayang dan perhatian membuat Sherin merasa nyaman berada di dekatnya, terlebih saat ada yang menyakitinya. Kevin siap pasang badan untuk melindungi Sherin.  Sherin menarik tangan Kevin dengan lembut menurunkan dari wajahnya sembari menggelengkan kepalanya. "Tidak, tidak ada yang menyakitiku, ini kecerobohanku yang menabrak lemari berulang kali." Dustanya pada Kevin, memang benar ia menabrak lemar tapi hanya sekali dan luka memar di bagian pelipisnya akibat dorongan kasar pria kejam yang ada di club beberapa malam lalu yang menyebabkan dirinya harus terperangkap di rumah besar tuan Heri. "Kau tidak berbohong padaku kan?" Tanya Kevin memastikan dan di jawab anggukan oleh Sherin. "Aku sangat mengkhawatirkanmu Sherin, kemana saja kau beberapa hari ini? Bahkan ponselmu tak bisa di hubungi." Manik coklat pekat milik Kevin beradu tatap dengan manik coklat bening milik Sherin. Sherin tertunduk lesu, entah apa yang harus di sampaikannya pada Kevin. Mengatakan bahwa dia akan menikah dengan pria yang baru di kenalnya karena dirinya telah di jual oleh sang paman? Apakah mungkin kevin akan percaya dan menerima itu semua? Sherin benar benar di landa kebingungan dan dilema besar.  "Aku... Aku..." Ucapnya terbata dengan mata yang berkaca kaca. Kevin mengerutkan dahinya, dengan lembut ia menyentuh dagu Sherin dan menaikkannya.  Cup... Sebuah kecupan hangat mendarat di kening Sherin.  "Kau tidak perlu takut, aku ada disini denganmu. Katakan, apa pamanmu menyakitimu lagi?" Tebak Kevin saat melihat Sherin membawa serta koper miliknya. Sherin menggelengkan kepalanya. "Aku... Aku sebenarnya a-" "Sherin... Apa kau sudah selesai?" Suara seorang tiba tiba terdengar hingga membuat Sherin menghentikan perkataannya pada Kevin. Kevin dan Sherin menoleh bersamaan ke asala suara. Betapa terkejutnya Sherin saat melihat seseorang yang memanggilnya itu. Kevin menatap Sherin sesaat sebelum akhirnya ia memilih untuk bertanya sendiri. "Kau siapa?" ______ Jangan lupa tekan tombol lovenya ya readres.,. Makasih untuk yang selalu mendukung cerita ini.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN