Operasi.

1110 Kata
"Aww... Ssshh... Kenapa kepalaku pusing sekali." Sambil memegangi kepalanya, Sherin membuka matanya perlahan. Hal pertama kali yang terlihat olehnya adalah langit langit kamar yang sudah tak asing baginya. Sherin terperanjat dari posisi tidurnya. "Astaga, ini kan kamarnya... Adrian."  Lalu melihat ke arah tubuhnya sendiri, melihat pakaian yang dikenakannya telah berganti menggunakan baju tidur. "Loh, kenapa aku bisa memakai baju tidur ini? Bukankah tadi aku..." Sherin mencoba mengingat kembali kejadian yang menimpanya.  "Aghh... Kenapa penyakit sial itu datang di saat yang tidak tepat." Memukul bantal di sampingnya. Saat Sherin ingin turun dari atas kasur, Adrian sudah terlebih dahulu masuk ke dalam kamar. "Kau sudah sadar?"  Sherin menganggukkan kepalanya tanpa bersuara.  "Bawa itu kemanapun kau pergi." Melemparkan kotak kecil ke arah Sherin. "Makan lah itu saat kau merasa sedikit pusing atau kelelahan." Sambungnya ketus. Ya, begitulah Adrian. Menunjukkan perhatiannya dengan cara sedikit kasar. Tapi, siapa yang tahu kedalaman hatinya seperti apa? Yang jelas Adrian tak bisa menjadi orang lain untuk menunjukkan sikapnya. Gadis berambut panjang itu membuka isi kotak kecil yang terbuat dari stainles yang di lemparkan Adrian untuknya, dahinya berkerut saat mendapati tumpukan permen jelly berwarna warni yang rasanya tentu begitu manis. "Apa aku terlihat seperti anak TK yang selalu membawa permen kemana mana?" Umpatnya pelan namun masih bisa terdengar dengan jelas di telinga Adrian yang berdiri di hadapannya. "Kau bukan anak TK. Tapi kau seperti anak bayi." Dengan santainya Adrian mengatakan itu lalu pergi meninggalkan Sherin dengan ocehan kesalnya. "Kau... Bisa bisanya kau mengatakan aku seperti anak bayi? Aku sudah berusia dua puluh tahun... Bla... bla... bla..." Sherin mengoceh panjang lebar sambil berkecak pinggang. Sebelum membuka pintu kamar, Adrian menoleh pada Sherin memamerkan senyum mengejeknya sebelum ia menutup pintu dengan kasar hingga membuat Sherin terkejut dan menghentikan ocehannya. ***** Udara pagi hari terasa begitu menyejukkan, Sherin yang baru menyadari bahwa ponsel miliknya mati pun bergegas menyalakan ponselnya. Tepat di saat ponsel miliknya menyala, sebuah panggilan dari nomor yang tak di kenal tersambung ke ponsel miliknya. "Hallo..." "..." "Ya benar, saya sendiri." "..." "Astaga... Baiklah, baiklah. Aku akan kesana sekarang juga. Terimakasih." "..." Entah apa yang di dengarnya hingga membuat gadis berambut panjang itu terlihat panik dan bergegas untuk pergi. Langkah kaki yang tak beratur menunjukkan dengan jelas betapa paniknya gadis itu, bahkan ia sendiripun tak sempat untuk sekedar memasang lipbam di bibirnya. Baru juga keluar dari dalam kamarnya, Sherin merasa melihat keberuntungan berada di pihaknya. Sosok Veldian yang muncul dari arah belakang tengah tersenyum padanya. "Kau sudah baikan Sherin?" Tanyanya. Sudah tak ada waktu bagi Sherin untuk bercerita panjang lebar Veldian. "Vel, apa kau akan pergi sekarang?"  "Emm... Aku berencana untuk pergi ke perusahaan."  "Baiklah, aku ikut."  "Ehh... Untuk apa kau ikut denganku? Aku bukan ke mall, di sana tidak ada barang barang yang bisa untuk di belanjakan." Veldian tersenyum kecil seraya mengacak acak rambut Sherin. Sherin menggelengkan kepalanya cepat lalu menarik tangan Veldian untuk segera pergi. "Bukan itu maksudku, aku ikut menumpang di mobilmu ke rumah sakit." "Kerumah sakit? Untuk apa? Siapa yang sakit? Apa kau yang sakit?"  "Nanti akan ku ceritakan. Sekarang tolong antarkan aku dulu kesana." Pinta Sherin tanpa menghentikan langkahnya. Kini Veldian dan Sherin tengah menuju sebuah rumah sakit besar yang ada di ibukota. Di bawah kendali Veldian, sebuah mobil sport berwarna merah melaju dengan kecepatan normal di jalanan ibukota yang mulai di padati kendaraan roda empat. Tak lama mobil itu telah tiba dan terhenti di parkiran rumah sakit besar itu. "Siapa sebenarnya yang sakit Sher? Kau jangan membuatku cemas. Apa penyakitmu benar benar serius?" Tanya Veldian saat bersiap turun dari dalam mobil. "Nanti kau akan tahu sendiri." Sahut Sherin dengan wajah cemasnya.  Keduanya berjalan dengan cepat menuju ruang igd. Kedua bola mata Sherin berkeliaran mencari sosok seseorang yang di kabarkan mengalami kecelakaan akibat perkelahian. "Sus, pasien bernama Romi ada dimana?" Tanyanya pada perawat perempuan yang ada di sana. "Oh pak Romi yang mengalami luka tusuk bagian perutnya dini hari tadi?" Pertanyaan perawat itu di jawab dengan anggukan cepat dari Sherin. "Pasien ada di sana." Sambil mengarahkan tangannya pada sudut ruangan igd yang tertutup dengan tirai pembatas antara pasien lainnya. "Terimakasih, sus." Lalu menghampiri Romi yang sedang terbaring tak sadarkan diri dengan selang infus tertusuk di tangannya, di ikuti oleh Veldian yang masih tak mengetahui siapa Romi sebenarnya. Alangkah sedih hati Sherin saat melihat wajah sang paman yang di penuhi dengan luka lebam serta perut bagian kanan yang terluka cukup dalam, bahkan masih bisa terasa dengan jelas aroma alkohol di sekujur tubuh sang paman. "Sherin... Ini?" Tanya Veldian pelan. Air mata Sherin jatuh begitu saja, di tatapnya dalam wajah sembab sang paman sambil memegang tangan Romi.  "Dia satu satunya keluarga yang ku miliki." Sahutnya dengan suara bergetar. Veldian membulatkan matanya sempurna. "Jadi ini paman yang menjualmu itu?"  "Walau bagaimanapun dia tetap pamanku. Dia juga telah membawaku pergi dari panti asuhan tempatku dulu berada dan memberiku tempat tinggal setelah kepergian kedua orang tuaku."  "Aku tidak tahu harus menanggapinya seperti apa, jika saja a-" "Permisi, apakah kalian keluarga pasien?" Seorang dokter pria berkacamata tiba tiba mendatangi mereka dan memotong pembicaraan Sherin dan Veldian. "Benar. Saya keluarganya." Sahut Sherin sembari menyeka air mata di pipinya. "Silahkan ikut saya sebentar." Ucap dokter itu di iringi Sherin yang mengikutinya dari belakang. Dokter yang menangani Romi menjelaskan secara terperinci dengan kondisi Romi saat ini yang harus di operasi segera. Sherin tak tahu harus bertindak bagaimana selain menyetujui dan menandatangi beberapa prosedur operasi yang akan berlangsung. 'Tuhan, bantu aku untuk menyelesaikan biaya operasi ini.' Batinnya penuh harap pada sang maha kuasa. "Sher, aku akan ke perusahaan sebentar untuk menghadiri rapat. Setelah itu aku akan kembali lagi." Ucap Veldian tiba tiba saat Sherin hendak pergi dari hadapan dokter yang memanggilnya. "Mana ponselmu?" Tanya Veldian dengan tangan kanan yang terjulur di hadapan Sherin. Sherin mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana yang di kenakannya. "Untuk apa?" Tanyanya mengerutkan dahi sambil menyerahkan ponselnya pada Veldian. Tak banyak bicara, Veldian tampak menggerakkan jari jarinya di atas layar ponsel. Dan tak lama suara nada panggilan di ponsel Veldian berbunyi. "Ini nomorku, jika kau membutuhkan sesuatu cepat hubungi aku. Dan nomormu juga sudah ku simpan."  Gadis malang itu terlihat menganggukkan kepalanya tanpa mengucapkan kalimat apapun. Setelah kepergian Veldian, Sherin menunggu sang paman seorang diri yang beberapa saat lagi akan menjalani operasi akibat pendarahan yang di alaminya. Operasi berlangsung, sambil menunggu Sherin terlihat sibuk mencari cara agar bisa mendapatkan uang untuk membayar biaya operasi sang paman. Dirinya tetap berupaya untuk kesembuhan sang paman. Setelah hampir dua jam berlalu, akhirnya seorang dokter menggunakan pakaian serba hijau lengkap dengan penutup kepala dan masker keluar dari ruang operasi.  Dengan capat Sherin menghampiri dokter tersebut untuk menanyakan hasil operasi sang paman. "Dok, bagaimana keadaan paman saya dok?" Sambil beruaraian air mata Sherin terlihat begitu panik.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN