Siapa Soni riadi? (2)

1095 Kata
"Anak perempuan itu Sherin Qotrunada Riadi. Gadis yang kini berada di tengah tengah keluarga kita." Heri tertunduk dengan kefmdua tangan yang saling bertautan di dahinya. "Jadi, benar dugaanku. Papa sengaja ingin menikahkan kak Adrian dengan Sherin karena ada suatu hal di baliknya?" tanya Veldian serius. Heri meganggukkan kepalanya pelan, tanpa mengeluarkan suara. "Kenapa papa tidak mengatakan sejak awal? Itu artinya? Sherin pewaris tunggal harta om Soni?" tanya Veldian kembali dan di jawab masih dengan anggukan kepala oleh Heri. "Tapi, kenapa Sherin bisa menjadi tidak terurus seperti itu pa? Bahkan aku mendengar Sherin harus bekerja keras demi menanggung hidupnya dan pamannya yang mata duitan itu? Kemana semua harta peninggalan om Soni?" Kini kepala Heri kembali terangkat, di sorot matanya terlihat jelas percikan amarah yang membara. Sikapnya yang keras dan tanpa ampun itu semakin menambah tingkat kengerian bagi siapa saja yang melihat. Kedua tangan Heri telah mengepal sempurna, rahangnya semakin mengetat kala mengingat sesuatu yang terlintas di ingatannya. "Semua ini kerena perbuatan seorang pengkhianat yang sangat silau akan harta. Gadis itu harus kehilangan kedua orang tua serta saudara laki lakinya dan juga seluruh harta miliknya yang di ambil paksa oleh orang yang sama. Aku tidak akan memaafkan orang itu, sampai saatnya tiba aku akan menemukan keberadaannya dan menghancurkannya dengan tanganku sendiri," ucap Heri dengan suaranya yang berat. Veldian sungguh tak menyangka jika Sherin terlahir dari keluarga yang berada, dan harus menanggug penderitaan yang teramat berat setelah kepergian seluruh anggota keluarganya. Tapi bukan itu yang menarik bagi Veldian. Laki laki itu mendapatkan satu fakta lain yang membuatnya sedikit ragu dan bergedik ngeri membayangkannya. 'Aku harus mencari tahu lagi dengan usahaku sendiri. Ternyata dugaanku benar, mereka benar benar mirip. Aku yakin itu adalah orang yang sama, bukan hanya sekedar mirip.' Batin Veldian menerka. "Ada satu hal lagi yang ingin aku bicarakan dengan papa." Veldian berjalan untuk duduk di sofa panjang yang ada di ruang kerja milik sang direktur utama. Heri mengerutkan dahinya, penasaran. Pria paruh baya yang masih memiliki kharisma tersendiri itu beranjak dari kursi kebesarannya dan berjalan mendekati Veldian yang telah duduk santai di sofa panjang. "Katakan," ucap Heri sembari mendaratkan bokongnya di atas sofa tunggal. Jika tadi Veldian terlihat begitu serius membicarakan latar belakang keluarga Sherin, kini Veldian justru terlihat lebih santai dan terkesan menyeleneh seperti biasanya di hadapan sang papa. "Kenapa bukan aku saja yang di nikahkan degan Sherin?" Pertanyaan itu sontak membuat Heri membulatkan matanya sempurna karena terkejut. Heri mengambil sebuah majalah bisnis yang tersusun rapi di atas meja tamu di hadapannya. Majalah di tangan Heri menyambar cepat bagian bahu dan lengan Veldian yang tengah tengah tersenyum tipis meliriknya. "Aw... Aw... Pa... Kenapa sih? Sakit," keluh Veldian sembari mengusap usap lengannya. "Kau pikir menikah perkara yang mudah? Lihat saja dirimu saat ini. Berpenampilan seperti anak jalanan seperti ini." Heri berkecak pinggang di hadapan Veldian. Veldian tak ingin kalah, ia tak terima jika penampilannya yang sedang mengikuti trend negara korea itu di sebut seperti anak jalanan. "Apa yang salah dengan penampilanku. Ini trend masa kini pa. Papa saja masih ingin terlihat muda apa lagi aku," sahut Veldian sembari merapikan rambutnya yang telah rapi dengan gaya sombong. Heri menggeleng gelengkan kepalanya, lalu duduk kembali di sofa tunggal tempat pertama ia mendaratkan bokongnya. "Papa pikir, kak Adrian akan terima begitu saja? Apa papa yakin pernikahan itu akan membuat Sherin bahagia?" Veldian kembali serius dengan pembicaraannya. "Tentu saja Adrian tidak akan tinggal diam. Papa tahu dia sedang merencanakan sesuatu setelah pernikahan itu terjadi. Hanya dengan cara itu Sherin akan mendapatkan kembali seluruh hartanya," sahut Heri tenang sembari menyandarkan tubuhnya di kepala sofa. Sebenarnya apa maksud dari perkataan Heri? Mengapa semuanya terdengar rumit dan seperti telah di rencanakan dengan rapi? Apa hubungannya dengan Adrian? Apa mungkin Adrian terlibat dalam perencanaan itu? Semuanya kini terdengar rumit bagi Veldian. Rasa penasarannya begitu tinggi, ingin sekali mulutnya dengan bebas melontarkan pertanyaan demi pertanyaan yang terlibtas di pikirannya. Tapi ia khawatir jika Heri justru menyembunyikan kebenaran yang sebenarnya. "Aku tidak peduli pa, jika saja kak Adrian berani menyakiti Sherin, aku akan menghajarnya dengan tanganku sendiri. Aku harap papa dengan cepat harus menyingkirkan Tiara dari kak Ad, sebelum semuanya semakin rumit." Veldian menghela nafas kasar. ***** Setibanya di rumah mewah yang menjadi tempat tinggalnya kini, Sherin dengan hati hati memasuki rumah utama dengan kaki yang terseret seret. Matanya mengedar ke segala penjuru ruangan, takut jika Heri dan Lina akan memergokinya dalam keadaan seperti itu dan tentu akan menjadi masalah baru. "Nona," sapa Rika dari arah belakang Sherin. Gadis itu terperanjat dari posisinya yang sedikit membungkuk untuk mencuri pandang. "Astaga, Rika. Mengagetkanku saja." Sherin menepuk nepuk dadanya sembari menghela nafas panjang. "Nona, kakimu kenapa?" tanya Rika cemas saat menyadari kaki Sherin yang sedang di perban. "Ah tidak apa apa, tadi hanya terkilir sedikit." Sembari tersenyum. Perempuan bertubuh gempal itu dengan sigap segera berjongkok membelakangi Sherin. "Ayo Nona, naik." "Heh? Kau mau apa?" tanya Sherin bingung. "Aku akan membawamu naik ke kamar." Sherin menggelengkan kepalanya sembari menghela nafas kasar, "Aku masih bisa berjalan. Lagi pula aku tidak tidur di kamar atas lagi mulai hari ini." Rika segera berdiri dari posisi jongkoknya. Tanpa mengurangi rasa hormatnya, ia menatap Sherin dengan penuh tanya, "Apa maksudmu, Nona? Jadi kau akan tidur dimana?" Sherin kembali tersenyum menepuk pelan pundak Rika, "Kita akan menjadi tetangga dekat mulai saat ini." Lalu berjalan kembali meninggalkan Rika yang masih terlihat berfikir itu. Pelayan pribadi Sherin itu membukatkan matanya sempurna ketika telah menyadari maksud perkataan dari majikannya. Dengan sedikit berlari, Rika menyusul Sherin yang telah mendahuluinya. "Nona, tunggu. Apa maksudmu, kau akan tinggal di paviliun dekat kamar pelayan?" tanya Rika sembari memegang lengan Sherin untuk memudahkannya berjalan. Sherin menganggukkan kepalanya, "Emm... Seratus untukmu." "Tapi, Non. Jika Nyonya dan Tuan besar tahu, mereka akan marah nantinya." "Tenang saja, Rika. Kau tidak perlu mengkhawatirkan itu, aku sudah meminta izin dengan mama. Dan dia menyetujuinya. Apa aku bisa meminta tolong padamu?" tanya Sherin. "Tentu saja, Nona." "Tolong kau rapikan pakaian serta barang barangku di dalam koper yang masih berada di kamar Adrian, lalu bawa turun ke paviliun. Kakiku sedikit kesulitan untuk menaiki anak tangga," pinta Sherin pada Rika. "Siap, Nona. Kau tunggu saja di sini. Aku akan meminta Nisa untuk merapikan kembali paviliun yang akan kau tempati." Rika meninggalkan Sherin duduk di sofa ruang keluarga, setelah itu ia bergegas meminta rekannya yang lain untuk membersihkan paviliun yang akan menjadi tempat Sherin beristirahat selama beberapa waktu lalu mengambil pakaian juga barang barang pribadi Sherin yang tertinggal di kamar Adrian. 'Aku harus bersabar, semua demi masa depanku. Sebentar saja, aku mohon ka harus tenang dan jangan bertingkah konyol lagi, Sherin.' Batinnya berperang melawan hatinya yang sangat lelah.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN