008. Pesona Dalam Nada

2168 Kata
     “Hai Zhachza.”      Seperti biasa. Suara dari para rekannya itu mengulang sapaan di awal ia masuk hingga batas penerima tamu juga panggung, di tepian sana Zhachza duduk sambil menatap dekorasi yang berubah-ubah setiap minggu. Saat ini warna biru memikat, warna yang sama dari sorot mata Zhachza menatap lampu-lampu kecil di atasnya. Sedikit senyuman dari wajah oval itu menaruh kemauan agar malam ini dapat membujuk Julian, ia ingin segera meninggalkan pekerjaan sebagai penari.      “Hai Zhachza,” sebuah pelukan dari belakang membuat Zhachza mengira siapa. “Aku pikir kamu nggak masuk lagi.”      “Eh hai, masuk kok. Tapi… Mungkin ini yang terakhir.”      “Loh kenapa? Oh iya aku tau, kan sekarang kamu udah menikah ya.” Goda salah satu teman wanita Zhachza.      “Bukan, tapi… Lebih ke menghormati suami aja.” Ya, tentu itu alasan yang masuk akal.      “Baiklah, apapun itu semoga yang paling terbaik buat kamu Zhachza.”      “Terima kasih.” balas Zhachza melambaikan tangan.      Satu hingga beberapa tamu mulai terlihat dari pintu ruang VIP, Zhachza segera berlari kecil ke arah lorong menuju ruang ganti dan ia tidak sengaja bertemu Julian. Zhachza sempat ragu untuk kembali berbincang tapi Julian seakan memberikan tanda juga pertanyaan yang ia sendiri tidak pernah tahu.      “Selamat malam, Pak.”      Sama sekali tidak ada jawaban namun Julian memberi tanda agar Zhachza tetap berada di sana hingga larut, belum sempat bertanya alasan namun Julian pergi begitu saja. Tinggallah Zhachza di ruangan itu, ia mulai melepas bagian atas kain melindungi punggung, di bawah temaram lampu berwarna oranye Zhachza mematung melihat bagian begitu dominan bekas tanda kecupan David. Tak kehilangan akal juga karena tidak ingin mengganggu para tahapan itu Zhachza menutupi bagiannya dengan make up.      Bagian d**a juga leher telah kembali semula kemudian Zhachza merampas bra merah untuk menutupi bagiannya, menarik ikat rambut agar warna hitam itu terurai hingga pinggul, Zhachza tidak akan lupa memberikan rona mewah pada bibir kemudian hanya dengan olesan tipis foundation wajahnya telah memberi pandangan menawan. Bukan hanya itu, Zhachza membiarkan kedua kakinya tanpa alas menapak lantai berjalan pelan.      Di tengah lorong berhadapan dengan kursi VIP para tamu Zhachza sejenak berdiri menduga keyakinan jika ini masih jalan pasti pilihannya, tapi lamunan Zhachza terhambat ketika lampu menjadi gelap menandakan ia harus pergi menjalankan tugas. Zhachza melangkah kembali menelan tatapan mereka yang selama 1 minggu ini menanti. Tegas, mata mereka meradang setiap gerak tubuhnya mulai mengikuti irama yang berlaku.      Di menit ke 5 Zhachza menyandarkan punggung di besi, tangan kanan mencakup besarnya kemudian ia menyapu hawa dingin di leher dengan pandangan sensual ke setiap mata. Liar, semua wajah itu mengaku tertarik juga ingin menyentuh setiap bagian terlihat di bawah pijar lampu. Tangan mereka berdesakan ingin menyerbu dalam setiap genggam saat Zhachza meluluhkan tali bra, tapi ia urung karena ingin mengulur waktu.      “Dia milikku malam ini.”      Satu suara melandasi, Zhachza tak begitu memperhatikan sehingga tetap pada tarian lamban menjaring kenikmatan tahapan mereka. Sentuhan itu berujung dari paha, pelan bergilir batas pinggang terus bergerak ke kedua lengan.      “Jangan terlihat bodoh karena aku membayar mahal untuk ini.”      Mata Zhachza membulat, ia menoleh ke bagian napas yang berlangsung di leher. “Kau, Richard.”      Menolak bahkan ide yang baik saat dari kejauhan terlihat Julian mengamati, Zhachza tidak ingin menguatkan kesalahan meski hanya secuil agar pemilik bar mewah itu dapat memberikan izin untuk mengundurkan diri.      “Untuk apa kau ke sini huh?”      Richard mengumbar senyuman. “Untuk menikmati keindahanmu, apa lagi?”      Sial. Zhachza melerai tangan mengapit pinggang bermaksud mendasari pelukan. “Jangan gila Ruth! Kau… Tidak pantas bertindak seperti ini!”      “Jadi… Kau yang pantas melakukan ini kepada ayahku?”      Mereka saling menatap menerka daya yang tersisa dalam pikiran. Richard mengerahkan sentuhan pada punggung terasa lembut, menarik pengait pada bra Zhachza. “Aku tidak salah pilih untuk aku jadikan sewa di bar itu, tapi… Kenapa kau harus menolak?”      Zhachza memahami apa yang Richard katakan. “Maksudmu? Kau… Menganggapku p*****r?”      Jawaban itu mengunci belaian di tengkuk, sedikit membuatnya tinggi hingga Zhachza benar-benar melihat iris Richard. Sesaat terdiam dan langkah keduanya bergerak ke kanan, sedikit menyamping menyampaikan tarian.      “Katakan padaku bagaimana aku tidak berpikir demikian?” Suara Richard seakan sebuah tuntutan.      “Perkataan tidak akan mampu memberimu jawaban! Tapi yang jelas aku bukanlah p*****r atau simpanan.” Tegas Zhachza tidak menerima dugaan itu.      “Mana mungkin? Kau telah bermain status dengan Edwin. Kalian bukan saudara kandung, bagaimana bisa kau bersamanya?”      “Itu bukan urusanmu!” Balas Zhachza menghindari wajah Richard menyentuh lehernya kembali.      Pada bagian ini Zhachza hanya bisa menggerakkan pinggul agar terbebas, tapi cengkraman itu begitu kuat dan memadai keinginan. “Lepaskan aku Ruth!”      Bukan hanya tak dapat melawan tapi Zhachza sempat terkejut karena Richard berhasil membuatnya berakhir di sebuah besi panjang tertanam di tengah-tengah panggung, bahkan Richard mengusung wajah Zhachza dengan kedua tangannya.      “Ruth? Jangan sok dekat istri simpanan, kau jangan sekali lagi memanggilku dengan sebutan itu! Kau… Bukan siapa-siapa!” Richard merambah b****g Zhachza.      “Kenyataannya aku adalah ibumu, dan kau tidak pantas memperlakukan aku seperti ini!”      “Diam! Kau ingin mata mereka menghindari bar ini dan membuat kerugian bar? Jangan bertindak bodoh!” Sekali lagi Richard mengancam dengan sentuhan tegas dan lebih di bagian d**a Zhachza.      Gerakan itu sempurna menyapu langkah juga mencipta gaya mengikuti irama yang berlangsung, Zhachza tak dapat menghindari tangan mendarat di perut berterus terang akan sebuah usapan lembut menaruh rasa yang begitu berat, lemah tubuh mereka bergerak sesuai nada kemudian beralih pada tenaga Richard membawa Zhachza ke atas dengan kedua tangan.      Benci. Rasa itu berantah ketika Richard memahami sebuah mata indah di sana, seperti bukan tatapan biasanya bahkan mencoba lepas saja Richard tidak sanggup. Sial, ini bukan keadaan di mana gejolak itu ada dalam d**a. Richard kembali menyudutkan tubuh itu lagi, mengajak pandangan mereka bertemu tapi Richard segera mengakhiri karena sadar siapa wanita yang tengah ia sentuh.      “Ibuku adalah wanita baik-baik, dia juga setia terhadap ayahku. Kau…,” Richard menarik wajah Zhachza dengan tekanan kuat hingga bibir itu tepat di hadapannya. “Jangan macam-macam karena jujur saja aku banyak memiliki alasan agar kau bercerai dengan ayahku!”      Zhachza menghempaskan tangan Richard. "Aku bukan w************n! Ini hanya profesi."      “Tidak seperti yang aku lihat, Zhachza.” bisik Richard diakhiri dengan mendorong tubuh Zhachza ke belakang.      Tak ada kata lain ketika tubuh menjulang itu lenyap, Zhachza hanya memeluk dirinya sendiri sambil menahan agar bra itu tidak terbengkalai. Ia tertunduk melihat warna lampu di lantai juga pantulan wajahnya dari gemerlap cahaya. “Ini hanya profesi. Ya, ini… Profesi.”      Kata itu. Entah lukanya mulai terasa di benak, Zhachza menatap lagi ke arah pintu di mana Richard telah pergi. Kedua lutut tertekuk dan sekali air matanya terjatuh lalu saling berjatuhan dan Zhachza membiarkan malam ini bersedih. [...]      Sudah selama 6 jam David kebingungan saat mendapati kamarnya kosong, tidak ada istri yang begitu dirindukan saat ia kembali dari luar kota. Kini David berusaha menghubungi Zhachza namun tak ada jawaban, saat berusaha menghubungi Edwin barulah ia sadar jika tak ada nomor siapa pun dari keluarga istri barunya itu.      Kegelisahan itu tamak hingga menyia-nyiakan waktu di mana Richard enggan menyapa ayahnya, ia mengamati gerak-gerik itu dari lantai 2 sembari menyalakan api pada ujung tembakau. Tak disadari nyatanya David sudah berada di tengah anak tangga namun berhenti sambil menatap penuh tanda tanya.      Richard mengangkat kedua bahu. “Dia bukan anak kecil Dad, tenang saja! Pasti kembali, kan di sini nyaman.”      “Apa maksudmu?” David tak dapat mencerna perkataan itu dengan baik.      “Ya, dia hanya menginginkan sebuah keuntungan karena menikahi mu. Padahal bisa saja Zhachza mencari laki-laki yang sepantar, bahkan… Di bawahnya.” Richard sengaja menyemburkan asap tepat di wajah David.      “Bukan dia, tapi Daddy yang meminta dia sini bersama kita.” David mencoba untuk berkata adil.      “Tidak masalah jika Daddy memang ingin mendapatkan seorang istri, tapi… Bukan yang hanya memanfaatkan saja.”      “Apa menurutmu dia begitu?” Kali David harus tahu alasan Richard mengatakan hal demikian.      “Kenapa Daddy tidak tahu apa-apa tentang dirinya? Berapa lama kalian saling mengenal?”      David menoleh ke arah di mana besi pada balkon tepat berada di samping lampu gantung. “1 minggu, Daddy mengenal Zhachza hanya 2 hari dan aku melamar. Kenapa? Lucu ya?”      “Tidak juga, cuma… Kau terlihat seperti haus akan sesuatu.” balas Richard tanpa ragu jika ayahnya akan tersinggung.      “s*x maksudmu?”      “Semacam itu,” Richard kembali menghisap rokok dan tak peduli jika rumah mulai berbau asap rokok. “Dan Daddy akan memanfaatkan fasilitas karena membayar mahal wanita itu.”      “Aku rasa ibumu tidak akan berbuat begitu, dia…,”      “Daddy tahu kan ibuku sudah tenang di sana, dan… Tidak ada ibu lain selain wanita yang melahirkanku.” Richard malas jika harus menerima kenyataan yang mustahil bisa membuatnya senang.      David memahami keadaan di mana Richard selalu memikirkan rasa yang timbul pada kematian itu, tapi masa telah berlalu dan David ingin membawa putra satu-satunya itu kembali seperti dulu. “Ya, maafkan Daddy.”      “Aku hanya mengingat saat itu,” Richard membuang putung rokok ke sembarang arah. “Daddy mengusap foto ibu, mengecupnya dalam-dalam sambil berkata ‘aku tidak akan pernah melupakanmu’.”      Kedua bola mata David berputar mengikuti ke mana jangkah kaki Richard meninggalkan renungan yang dalam, relung hatinya seketika meraung karena janji itu masih ada dan tetap ada meski situasi ini berbeda. David menekan batas balkon dengan siku tertekuk, wajahnya berada di antara dua telapak tangan menopang. Sadar, David tahu ini pilihan sulit bagi Richard tapi keadaan memang harus diubah seiring waktu yang membuat putranya semakin dewasa.      Tak ingin membuang waktu percuma karena hingga matahari meninggi Zhachza belum juga kembali ke rumah, David pun merelakan rapat siang ini tertunda karena ia hendak mencari istrinya. Pertama David menuju tempat Edwin juga bar yang saat itu hanya menjadi kafe biasa dihuni banyak anak muda, anak sekolahan bahkan mahasiswa.      Rupanya campur tangan David belum usai karena Zhachza tidak berada di dua tempat itu, ia bimbang ke mana harus mencari karena terus terang saja David tidak tahu siapa saja rekan Zhachza. “Ck, kenapa gadis itu menghilang? Juga ponselnya tidak aktif.”      Jalan sudah mengalami macet sejak pertama David keluar dari rumah, kali ini ia harus berdesakan dengan banyak mobil di tengah jalan dalam kondisi terik. Tapi mau atau tidak David harus menanti karena ia juga tidak pernah tahu kapan Zhachza akan kembali.      Di tengah kemacetan dan polusi David pun mengedarkan pandangan ke semua arah lalu tanpa di sengaja ia mendapati Zhachza bersama anak-anak jalanan. Di bawah kolong jembatan David pun menepikan mobil untuk menemui istrinya, di sana ia menemukan keadaan di mana Zhachza tengah menemani anak-anak pengamen menikmati makan siang.      “Hase.”      Suara David membuat Zhachza terhenyak lalu bangkit dan seketika menyambut dengan mesra, memeluk juga sembari mengusap sisi wajah. Sebenarnya David merasa sedikit tidak nyaman karena tempat itu, dan dalam pikiran memungkinkan tangan Zhachza kotor hingga ia pun sedikit menghindar.      “Maaf aku tidak pulang, karena…,”      “Sayang, sebaiknya kita pulang dan kau harus mandi.” David memberi saran.      “Tahu dari mana jika aku belum mandi hm? Kau seperti kucing yang pintar mengendus saja.” Ucap Zhachza menggoda.      “Tidak, bukan begitu. Kau bersama anak-anak itu di sini? Semalaman? Untuk apa Haze?”      Sekarang Zhachza memahami apa yang dipikirkan David. “Tidak, aku… Barusan lewat dan hanya merasa kasihan saja melihat mereka. Jadi aku membantunya membeli makanan siang ini, dan sedikit cemilan untuk mereka.”      “Memangnya kau dari mana?” tanya David mengulang rasa penasaran.      Ragu jika mengatakan semuanya namun Zhachza tidak bisa memahami jika Richard membeberkan apa yang terjadi semalam. Di bar. “Aku mendatangi tempat Julian, hanya…,”      “Kenapa kau ke sana lagi? Masih bekerja dengannya huh?” Suara David mulai meninggi.      “Tidak, aku… Datang hanya karena… Aku ingin mengundurkan diri.” Napas Zhachza tercekat melihat wajah David.      “Oh,” David mengusap wajahnya. “Maaf aku terbawa suasana mendengar kau ke tempat Julian lagi, aku pikir… Kau masih ingin bekerja di sana.”      “Memangnya kenapa jika aku masih di sana?”      David seketika mengunci wajah Zhachza kemudian memberinya kecupan mesra bibir itu. “Kau adalah istriku, aku bisa memberimu apa saja termasuk uang. Jadi, untuk apa kau masih menjadi penari?”      Tatapan itu memberi keyakinan dalam hati, Zhachza mulai berpikir jika ia menang beruntung mendapatkan David. “Terima kasih, kau… Seperti malaikat untukku.”      Kata-kata itu sebagian dari ketidakadilan. David membiarkan Zhachza berada di pelukan kemudian mencoba menerima jika ini memang bukan kebetulan semata, dengan penuh perhatian membelai ujung rambut itu David merasa telah menguji dirinya sendiri. Apa yang ia dengar dari mulut Richard juga Zhachza saat ini mengukur bimbang jika ia memang pria yang baik, karena sampai saat ini bayang almarhum istrinya tetap ada di ingatan.      “Kau… Sudah membuatku merasa bahagia Zhachza.” Ya, bahagia di mana David akan tahu jika memiliki orang yang bisa menjaga juga membimbing ke jalan semestinya.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN