Pemandangan dalam rumah Bournemouth boleh dibilang indah bagi penyuka nudisme dan humanis seperti lukisan zaman reinasans. Ruang utama rumah itu seperti lukisan Kelahiran Venus dan Penciptaan Adam. Berseni, sekaligus vulgar. Itu bukan pemandangan yang pantas untuk norma kesopanan menyambut tamu orang asing, apalagi gadis polos seperti Sylvia. Bahkan Pendeta Willis pun turut tercengang.
“Apa-apaan ini?” perangah Sylvia dan Pendeta Willis bersamaan.
Orang-orang itu terlalu mabuk untuk menjawab. Katakanlah, mereka sudah tidak tahu lagi pakaian mereka ada di mana dan siapa yang menempel di tubuh mereka. Jadi penjelasan jujur dan logis tidak akan didapatkan dengan mudah. Di samping ruangan itu berantakan oleh peralatan makan, botol-botol serta gelas-gelas bekas anggur bergelimpangan, aromanya juga tidak menyenangkan. Bau anggur bercampur bau keringat, pesing, dan berahi. Tidak akan ada orang yang bisa berpikir jernih di rumah itu.
Sylvia membuka tirai wajahnya. Mata cokelat madu menyelidik pria bermata satu di sampingnya. “Seperti inikah kehidupan Anda sehari-hari, Tuan Bournemouth?” tuding Sylvia.
Pria itu mengangkat bahu, mengernyitkan bibir dan memandang ke arah lain dengan sorot meremehkan. “Saya bukan Tuan Bournemouth, Nyonya,” jawabnya, membuat Sylvia jengah.
“Oops!” Gadis itu membekap mulutnya sendiri. “Lalu siapa kamu?”
“Saya Dante, Kepala Kru. Tuan Bournemouth ada di sana.” Pria bermata satu itu menunjuk ke arah tumpukan tubuh di sofa besar. Terdengar dengkuran halus dari arah tersebut.
Jika pernah melihat Muskox, sejenis lembu berwarna gelap kecokelatan, berbulu tebal, berotot besar, bongsor, kepala bertanduk dan siap menyeruduk apa saja ... itulah Viscount Andreas Bradford Bournemouth yang sebenarnya. Pria itu penuh bulu, terutama di area anunya, tempat bisa mengempit, tungkai tangan dan kaki. Rambutnya panjang dan rahangnya dipenuhi rambut jambang.
Bangsa Viking, Sylvia akan menyebutnya seperti itu. Pria itu bergerak-gerak saat tidur, menyebabkan dua tubuh yang menindihnya jatuh ke lantai. Orang-orang itu mengerang lemah sebentar, lalu tak sadarkan diri lagi.
Pendeta Willis menggubit pundak Sylvia. Gadis itu berpaling padanya. “Ada apa, Bapa?”
Pendeta Willis menunjuk wajah Sylvia dan memutar-mutar telunjuknya. “Itu ... wajahmu ....”
“Oops, ya ampun!” Sylvia menurunkan kerudung untuk menyembunyikan wajahnya lagi.
Dante mendelik curiga pada gadis itu. “Apa masih valid gadis-gadis zaman sekarang hanya akan memperbolehkan penutup wajah mereka dibuka oleh pria yang sah menjadi suami mereka?”
Sylvia tidak tahu soal itu. Yang ada dalam pikirannya adalah sebisa mungkin tidak dikenali. “Setiap orang punya kesenangan masing-masing, Tuan Dante. Saya memilih tetap mengenakan cadar saya sampai ... sampai ... sampai saya mendapatkan kejelasan apakah saya jadi menikah atau tidak.”
Dante memicingkan mata kirinya yang menjadi satu-satunya indera penglihatan. “Apakah kamu ... berniat menolak pernikahan ini? Alcaster berhutang banyak pada Andreas. Jika kalian tidak mampu membayarnya maka kalian dipersilakan mengosongkan rumah kalian dan selamat tinggal di jalanan.”
Sylvia lekas-lekas menjawabnya. “Saya percaya pernikahan seharusnya dilandasi rasa cinta dan kasih sayang, bukan karena pelunasan hutang atau jual beli. Saya lebih baik bekerja keras mengumpulkan uang daripada memberikan tubuh saya pada orang yang tidak saya kenal dan tidak saya cintai. Setidaknya ia pria yang punya perilaku yang taat dan bermartabat.”
Dante mendengkus sinis. “Martabat pantatku,” gerutunya. “Sangat hipokrit!”
Pendeta Willis hanya bisa terjengkit mendengar makiannya.
Sylvia segera membalasnya. “Setidaknya saya punya kebebasan berpendapat dan menurut saya pernikahan ini tidak akan terjadi.”
Dante berkacak pinggang. “Kenapa pernikahan ini tidak akan terjadi?”
“Karena ....” Sylvia memutar otaknya. Dia mengembalikan kesalahan pada pihak Bournemouth. “Tidak akan ada pernikahan jika mempelai prianya saja tidak bisa membuka mata. Jika Tuan Bournemouth tahu hari ini hari pernikahannya, ia seharusnya bersiap-siap. Bukannya seperti ini. Ini menunjukkan bahwa ia pun tidak mengharapkan pernikahan ini. Ia tidak perlu seorang mempelai. Ia bisa bersenang-senang dengan wanita mana saja tanpa harus menikahinya.”
“Tersampaikan dengan baik, Nona Muda,” sindir Dante. Ia membungkuk sedikit untuk mencondongkan wajahnya ke depan cadar mempelai wanita itu. “Aku beritahu padamu satu hal. Pernikahan ini akan tetap terjadi. Lihat saja!”
Dante berbalik dan segera mendatangi Andreas yang masih tidur dalam pengaruh minuman keras. Ia menyikirkan gadis-gadis yang mengerubungi tubuh Andreas. Dante mengangkat pria itu, yang mana sangat tidak diduga bahwa pria kurus seperti Dante bisa memanggul tubuh tinggi besar Andreas seperti membawa hewan ternak untuk dijagal.
“Latanza!” teriak Dante lantang sambil berjalan membawa Andreas. “Latanza!”
“Ya, Tuan!” sahut seorang wanita. Perempuan paruh baya bergaun hitam putih khas pelayan berlari kecil menyusul Dante. “Ya, Tuan Dante? Ada yang bisa saya bantu?”
“Siapkan air panas untuk merebus tuanmu. Andreas harus segera bersiap-siap. Pengantin wanitanya sudah tiba. Kita tidak boleh membuatnya menunggu terlalu lama.”
Latanza agak kebingungan, tetapi segera menanggapi perintah Dante. “Ya, Tuan! Segera.”
Dante membawa Andreas menghilang ke selasar kamar di lantai dasar, sementara Latanza berlari ke dapur untuk mengambil air panas.
Teriakan Dante seakan menjadi alarm bangun tidur di rumah itu. Pelayan rumah bermunculan. Mereka mulai merapikan ruangan dengan menyeret tubuh-tubuh yang bergelimpangan ke dalam kamar-kamar dan meninggalkan mereka.
Sylvia gerah bukan main. Rumah Tuan Bournemouth sepanas pinggiran neraka. “Oh, aku perlu kamar untuk beristirahat,” gumamnya. Seorang pria tua renta dengan punggung bungkuk dan mata nyaris terpejam, mempersilakan Sylvia mengikutinya. Sylvia dipersilakan menunggu di kamar yang disebut pria itu sebagai kamar Nyonya. Sementara Pendeta Willis dipandu seorang pelayan wanita menuju ruang minum teh.
Dalam rumah itu rupanya ada sebuah kamar yang cukup layak untuk ditinggali. Ruangan yang cukup bersih meskipun perabotannya tua dan kusam, ada tempat tidur dengan empat tiang dan kelambu dari beledu, kasurnya dilapisi seprei bersih. Ada sebuah jendela besar dan tirainya terbuka sehingga sinar matahari bisa menerangi kamar itu dan udaranya pun menenangkan karena aroma mawar merah yang masih segar diletakkan dalam vas hiasan di atas kabinet dekat ranjang.
Sylvia ditinggal sendirian dalam kamar itu dan dia bisa mendengar bunyi klik pintu dikunci dari luar. Kening Sylvia mengernyit penuh tanda tanya. Tampaknya Viscount Bournemouth sudah berjaga-jaga kalau pengantin wanitanya ingin melarikan diri. Itu semakin menguatkan keyakinan Sylvia bahwa pernikahan ini tidak boleh terlaksana.
Sylvia melepas kerudung pelengkap gaun pengantinnya dan menjatuhkan benda itu di atas ranjang bersama buket bunga yang dibawanya semenejak meninggalkan kediaman paman dan bibinya serta di sepanjang perjalanan.
Sylvia merogoh bagian belakang gaun untuk melonggarkan korsetnya. Setelah tali korset terbuka, dia melenguh lega dan menarik napas dalam lalu mengembuskan sekuat-kuatnya.
Sylvia membungkuk melepas sepatu putih yang dikenakannya. Dia melempar kedua sepatu itu. Kakinya sakit karena ukuran sepatu itu lebih kecil dari kakinya. “Persetan dengan pernikahan ini,” gerutu Sylvia.
Dia mengangkat bawahan gaunnya agar bisa bergerak lebih bebas. Sylvia menuju jendela besar yang menghadap matahari terbit dan membuka daun jendela. Dia melongok ke bawah dan melihat halaman suram ditumbuhi semak-semak liar, tetapi sulur-sulur bunga mawar merah tumbuh subur hingga merambat ke pagar dan tembok kastel. Namun bukan tanaman mawar itu yang menjadi perhatian Sylvia.
Gadis itu memandang jauh ke jalan tanah yang membelah hamparan padang rumput hijau luas di depan sana. Sylvia mengangguk mantap. Dia memutuskan kabur dari kediaman Bournemouth. Tidak ada tembok batu, pagar tinggi, atau semak berduri dapat menahannya. Dia akan mendapatkan kebebasannya.
*
(๑♡⌓♡๑)
*
(01/11/2020)
Hei hei, bagaimana? Apakah Sylvia akan berhasil kabur? Apakah Permikahan mereka akan terlaksana? Nantikan kelanjutannya, dengan rajin komen, tap ❤, dan follow, insyallah Sisil akan rajin up.
( ˶ ❛ ꁞ ❛ ˶ )
wkwkwkwk, makasih yaa