Hari ini, sehari menjelang pernikahan Airine. Rumah mewah milik Papa Lisa dan Airine semakin ramai. Banyak sanak saudara yang datang. Kakek dan Nenek dari Papa sudah sampai di rumah dinas dari pagi buta. Sedangkan Kakung dan Uti masih dalam perjalanan. Suasana semarak ini sungguh membuat sesak. Lisa yang malas menemui semuanya, lebih memilih membantu Simbok menghitung souvenir. Meskipun sebenarnya Lisa hanya duduk-duduk di sana karena semua sudah dipekerjakan oleh istri-istri karyawan yang bekerja di perusahaan Papa. Benar, Papa memiliki perusahaan yang cukup besar di bidang percetakan. Meskipun tidak sebesar perusahaan multi-internasional yang dimiliki orang calon mertua Airine.
"Mbak Lisa gak nemenin Teteh Airine?" tanya salah satu istri manager yang menggunakan berkerudung pink. Hal ini membuat semua orang yang ada di sana menoleh.
"Tadi dia sama Mamah dan sepupu lainnya. Kasian kalau aku ada di sana juga, nanti dia sumpek. Orang mau nikah katanya deg-degan. Jadi aku gak mau nambahin kepanikan dia," jawab Lisa sambil tersenyum. Alasan sebenarnya dia tak mau di sana itu sebenarnya cuma satu. Malas mendengar pujian-pujian untuk Airine. Kalau hanya pujian sih, sebenarnya Lisa bisa menahannya. Hanya saja, kadang mereka kelewatan untuk menjatuhkan dirinya sambil mengangkat Airine tinggi.
"Ah, Mbak Lisa berpikir sangat dewasa," ucap ibu-ibu lainnya. Setelah itu, mereka berganti topik pembicaraan. Mereka mulai bergosip tentang calon suami Airine. Kebanyakan sih berbicara tentang prestasi yang diukir lelaki itu selama dia mulai masuk ke dunia bisnis. Bisa dibilang Satrya ini adalah bisnisman muda yang cukup sukses.
"Aku gak paham mereka bahas apaan," gumam Lisa sambil menghela napas. Yah, meskipun dia terlahir di kalangan bisnis, tapi dia benar-benar tidak tahu-menahu dunia itu. Lisa sering berdoa untuk tidak berjodoh dengan lelaki yang hanya sibuk dengan berkas-berkas. Dia lebih memilih bersuami dokter ataupun malah petani. Ya petani dengan lahan berhektar-hektar
.
"Mbak Lisa ... Mbak Lisa ...."
Jeritan salah satu sepupu Lisa yang terdengar dari jauh membuat gosipan para ibu-ibu itu berhenti. Lalu, tak lama kemudian, sosok bergaun pink selutut dengan corak batik, terlihat. Rambutnya yang sudah disanggul simple terlihat berantakan. Gadis itu adalah Nanda, anak Bulek Lastri yang merupakan adik Mama yang nomer dua. Dia masih kelas dua belas SMA.
"Ada apa?" tanya Lisa bingung.
Masalahnya Nanda tidak mengucapkan apapun. Gadis itu hanya menarik Lisa pergi keluar dengan tergesa. Meskipun bingung, Lisa tetap mengikuti langkah Nanda. Namun, dia masih sempat memberikan perintah kepada Simbok untuk memisahkan souvenir sesuai arahannya tadi.
***
Nanda membawa Lisa menuju ke kamar Airine. Kamar serba berwarna soft pink dan putih gading itu terlihat ramai. Ada Mama yang sedang duduk di ranjang sambil menangis tersedu-sedu. Bulek Lina, kakak nomer dua Mama, memeluk Mama dari samping. Mencoba menenangkan tangis histeris yang Mama lakukan. Sedangkan di pojok ruangan dekat jendela, ada Papa yang sedang berteriak di telepon. Terikan yang bercampur tangis histeris, jika ada orang yang tidak tahu, mungkin akan mengira kalau mereka sedang berduka atas kematian seseorang.
"Sebenarnya ada apa?" tanya Lisa sambil mencolek Nanda. Gadis itu juga diam mematung di tengah-tengah pintu kamar. Ada keengganan di matanya untuk masuk ke dalam ruangan.
"Lalalisa, masuk, Nak," ucap Nenek yang sedari tadi duduk di samping Mama. Beliau dan Bude Linalah yang sedari tadi mencoba untuk menenangkan Mama.
"Ini ... ini anak kurang ajar sudah datang. Sialan kamu! Aku menyesal sudah melahirkan kamu!"
Teriakan Mama yang seperti orang kesetanan membuat semua orang kaget. Termasuk Papa yang sedari tadi sibuk menelepon beberapa orang. Papa melihat Mama yang memberontak di dalam pelukan Bude Lina. Hingga beberapa saat, Bude Lina menjerit histeris. Tangannya yang memerah menandakan bahwa dia kesakitan. Ya, punggung Bude Lina digigit oleh Mama dengan sangat kencang.
"Kamu berani menunjukkan mukamu di sini, hah?! Anak kurang ajar!"
Plak!
Teriakan Mama itu dibarengi dengan tamparan yang sangat keras. Hingga jika orang yang jeli akan melihat sebuah gambar telapak tangan berwarna merah di pipi Lisa. Dengan memandang bingung ke arah Mama yang tiba-tiba berlari ke arahnya dan menamparnya, Lisa mengelus bekas tamparan itu.
"Bisa bicara dengan sedikit lebih jelas, Nyonya Ratih?" tanya Lisa dengan suara bergetar. Dia juga tidak lagi menyebut wanita setengah baya itu dengan sebutan Mama. Melainkan dengan sebutan Nyonya Ratih, nama asli mamanya.
"Benar-benar anak kurang ajar!" teriak histeris Mama sambil mengangkat tangan kanannya kembali. Namun, sebelum tangan itu mendarat kembali di pipi Lisa, tangan kiri Lisa sudah berhasil mencekalnya. Membuat ayunan tangan itu tidak berhasil mendekatinya.
"Apa hak anda untuk terus memukul saya?" tanya Lisa dengan dingin. Ekspresi wajahnya membuat aura di sekitarnya sedikit seperti es batu. Dia juga membuat Mamanya gelagapan. Wanita setengah baya itu meronta agar Lisa melepaskan cekalan tangannya.
"Lepaskan! Sakit!" rintih Mama sambil berteriak.
"Sakit? Lalu apa kamu tidak berpikir bagaimana pipi saya saat anda memukul? Lalu, ada juga berpikir untuk memukulnya lagi. Apakah otak anda sudah rusak?"
Mendengar semua kalimat Lisa, semua orang yang ada di ruangan itu tercengang. Papa yang berada di pojok ruangan mulai menahan emosinya. Bagi Papa yang merupakan salah satu bisnisman kelas dua, pertengkaran seperti ini adalah aib. Dia saja tidak bisa mengatur keluarganya, bagaimana bisa dia mengatur banyaknya karyawan di setiap cabang yang dia punya? Jika, hal itu terjadi, Papa hanya bisa bermimpi untuk naik ke kalangan kelas satu yang dia impikan dari dulu. Inilah mengapa Papa menekankan untuk menjaga sikap di depan semua orang. Namun, saat ini, tidak hanya sanak saudaranya, tapi juga ada beberapa bodyguard yang tadi dia panggil dengan tergesa-gesa.
"Semuanya tolong tinggalkan ruangan. Ada yang ingin saya bicarakan dengan istri dan anak saya," ucap Papa pelan, tapi tegas. Mendengar permintaan Papa tersebut, satu per satu orang yang ada di dalam kamar itu bangkit. Mereka keluar dari kamar dengan teratur.
"Kamu duduk," ucap Papa kepada Mama sambil menunjuk kursi rias Airine. Sedangkan Lisa yang berada samping pintu berjalan ke ranjang. Dia duduk di sana dengan tenang.
"Kamu tahu bahwa yang kamu lakukan itu memalukan?" bentak papa. Ucapan ini ditujukan kepada Mama yang sedang menunduk. Bahunya yang bergetar memperlihatkan kalau wanita itu masih menangis. Mungkin, sisa-sisa penyesalan karena sudah menampar Lisa.
"Aku hanya ... hanya memberikan pelajaran kepada Lisa karena menjadi pengaruh buruk bagi kakaknya," ucap Mama dengan tegas. Wanita setengah baya itu masih tidak merasa bersalah.
"Aku? Pengaruh buruk?" tanya Lisa dengan tidak terima. Seblangsak-blangsaknya dirinya, dia tidak akan mengajak orang lain ke dalam pergaulannya. Lagi pula, pergaulannya masih normal. Dia tidak terjerumus n*****a atah s*x bebas. Lalu, apa yang dimaksud dengan pengaruh buruk?
"Kamu diam!" bentak Papa sambil menunjuk ke arah muka Mama. Setelah itu, dia mengusap mukanya sambil mengucapkan istigfar berkali-kali. Setelah merasakan hatinya sedikit tenang, dia menoleh ke arah Lisa.
"Papa mau bertanya, apa Airine beberapa hari ini tidur di kamar kamu?" Lelaki setengah baya itu sepertinya lelah berdiri. Dia melangkah pelan ke arah ranjang dan duduk di samping anak gadisnya. Lisa yang merasa jarak antara mereka terlalu dekat, hanya memilih untuk menggeser pantatnya. Menjauh dari Papa.
"Ya, dia tidur di kamarku karena mengatakan membutuhkan teman," jawab Lisa dengan jujur.
"Apa dia menceritakan sesuatu?" tanya Papa lagi. Saat ini, Papa bangkit dari ranjang. Dia berjalan ke arah kotak P3K dan mengambil sebuah salep anti bengkak.
"Aku tidak tahu pasti karena tidak pernah mendengarkan semua ucapannya dengan benar. Dia hanya terus mengucapkan betapa sayangnya kalian dengan dia sampai mencarikan jodoh yang nyaris sempurna," jawab Lisa dengan santai.
"Penipu! Kamu yang memberi saran Airine untuk kabur! Kamu anak kurang aj—"
"Diam!"
Bentakan Papa dan teriakan Mama membuat Lisa kaget. Bagaimana dia tidak kaget, ucapan Mama benar-benar membuat Lisa tercengang. Apa maksudnya dia memberi saran Airine untuk kabur? Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Dan dia juga baru sadar bahwa tidak ada Airine di sini sedari tadi.
"Tolong berhenti berteka-teki. Sebenarnya ada apa?" tanya Lisa linglung. Dia sudah bosan seumur hidup dituduh terus. Dulu, waktu Airine jatuh dari ayunan, Lisa juga dituduh mendorongnya dengan sangat kuat. Sengaja membuat kakaknya yang lembut terjatuh. Saat mereka mendapatkan hadiah dari Eyang, Lisa juga dituduh merusak berbie milik Airine. Dan alasannya sangat tidak masuk akal, Lisa iri dengan berbie cantik yang dimiliki Airine. Itu hanya contoh-contohnya. Karena memang Lisa tidak bisa mengingatnya karena kejadian seperti itu terlalu sering.
"Airine kabur, dan dari surat yang dia tulis tersirat kalau kamu yang memberi saran seperti itu," jawab Papa lembut.
Lisa menghela napas pelan. Ternyata Airine sedang membuat masalah dan ingin mengkambing-hitamkan dirinya. Sungguh gadis lembut yang licik. Jika hanya melihat wajahnya, orang lain tidak akan percaya bahwa Airine akan berani melakukan hal-hal seperti ini.
"Dalam suratnya, apa dia bilang di mana aku memberikan saran?" tanya Lisa dengan tenang. Dia ingin tahu apa yang berusaha Airine buat untuk sekali lagi membingkai dirinya.
"Dia bilang saat kalian sedang sama-sama di kamarmu. Airine sedang berkeluh-kesah tentang pernikahannya dan kamu membujuknya untuk melawan," ucap Papa sambil menyerahkan sepucuk surat dari Airine.
"Di kamar ya?"
Lisa tertawa pelan sambil menggelengkan kepala. Dia tidak menyangka bahwa niatan Airine tidur di kamarnya benar-benar karena butuh seorang 'teman'. Ya, teman yang bisa dia jadikan kambing hitam saat dia melakukan kesalahan. Sama seperti tragedi ayunan dan boneka berbie.
"Tunggu di sini. Lisa ambil sesuatu di kamar dulu. Atau Papa mau ikut?" tanya Lisa sambil berdiri. Dia membetulkan letak gamis yang kusut. Dia juga membetulkan jilbabnya yang berantakan. Sebelum akhirnya menoleh ke arah Papa.
"Baik, kita pindah ke kamar kamu."
Papa setuju untuk ikut ke kamar Lisa. Mereka bertiga melangkah pelan ke sebuah kamar yang letaknya juga di lantai dua. Tidak jauh dari kamar Airine. Di depan pintu itu, ada sebuah tulisan yang mengukir nama Lisa. Tulisan ini digunakan agar kawan-kawan Airine tidak salah masuk kamar.
Clek!
Lisa membuka pintu kamarnya dengan pelan. Kamar dengan nuansa seperti langit senja terlihat. Sangat menenangkan dan damai. Inilah yang membuat Lisa sendiri merasa kamarnya adalah tempat ternyaman di rumah.
"Tunggu sebentar."
Lisa berjalan ke lemari boneka miliknya. Dia mengambil boneka teddy bear dengan syal berwarna jingga. Setelah itu, Lisa berjalan ke rak buku miliknya. Mengambil satu-satunya boneka yang ada di sana. Sedikit susah karena Lisa sudah merekatkan boneka itu ke salah satu tiang rak buku. Dengan dua benda itu, Lisa berjalan pelan ke arah sang Papa.
"Lisa tidak tahu apa yang Lisa ucapkan dengan Airine, tapi semua yang ada di dalam sini bisa menjelaskan semuanya. Ini adalah kamera perekam baru yang dihadiahkan teman Lisa untuk berjaga-jaga. Papa bisa meminta bantuan bodyguard atau ahli IT Papa yang paham. Tenang, Lisa selalu mengganti pakaian di walking closet. Jadi tidak ada rekaman Lisa mengganti baju," ucap Lisa tulus. Sebenarnya, itu adalah kamera yang dia beli sendiri karena iseng. Dia tidak tahu bahwa hal iseng yang dia lakukan sungguh berguna saat ini.
"Ah, ini adalah rekaman suara yang selalu Lisa bawa. Cukup panjang memang, tapi Lisa sudah membuatnya untuk merekam per lima jam. Jadi, Papa bisa mengecek di jam-jam Lisa ada di rumah. Papa tahu jadwal Lisa keluar rumah termasuk kuliah, hang out ke mall, ataupun yang lainnya." Setelah mengucapkan hal itu, Lisa berjalan ke arah kamar mandi miliknya. Dia lelah sekali hari ini. Ya, sangat lelah karena Lisa tidak pernah berpikir bahwa pernikahan akbar ini akan hancur seperti ini.