Bab 3
Setelah meletakkan benda itu ke atas meja, Salma mengajak menantunya untuk duduk di pinggir tempat tidur. Perempuan yang berusia empat puluh tujuh tahun tersebut meraih tangan Yhara dan menggenggamnya dengan erat. Menatap wajah sang menantu selama beberapa saat, sebelum akhirnya memulai percakapan.
"Mama tau, kalian tidak saling mencintai. Mama juga tau kalau sebetulnya kalian terpaksa harus menikah karena perjodohan ini," ujar Salma.
"Mama hanya ingin menuntaskan janji mama pada almarhumah ibumu. Seperti yang kamu tahu, kami dulu cukup dekat. Selain karena telah berteman sejak masih SMP, ibumu juga ternyata masih memiliki kekerabatan dengan papanya Ziyad."
"Dulu, kami pernah berkelakar akan menikahkan anak-anak kami. Mama sempat melupakan janji itu, tapi teringat kembali saat ibumu menyebutnya, beberapa hari sebelum beliau wafat."
"Karena saat itu Ziyad masih kuliah dan kamu juga masih sekolah, jadi mama memilih untuk tidak mengungkapkan apa-apa padanya. Sekarang dia telah cukup dewasa, sudah pantas untuk berumah tangga."
"Demikian pula denganmu, Ara. Walaupun usiamu masih muda, tapi mama tau kalau kamu adalah sosok perempuan yang baik dan sangat tepat buat menjadi pendamping hidup Ziyad."
"Pesan mama, bersabarlah menghadapi Ziyad. Dia itu keras kepala. Di Jakarta nanti, kamu juga harus siap mental untuk menghadapi ... pacarnya Ziyad," lanjut Salma.
"Iya, Ma, tadi malam abang udah cerita kalau dia punya pacar," sahut Yhara.
"Kamu harus tetap semangat menjaga Ziyad. Buat dia jatuh cinta sama kamu hingga benar-benar bisa melupakan pacarnya."
"Ehm, gimana caranya, Ma? Ara nggak ngerti."
Salma berbisik di telinga gadis itu sampai Yhara mengangguk paham dengan ucapannya. Kedua perempuan itu saling menatap selama beberapa saat, sebelum akhirnya Salma berdiri dan berpamitan. Meninggalkan Yhara dengan perasaan tak menentu.
***
Hari-hari selanjutnya, Yhara mengikuti saran Salma untuk belajar memasak makanan kesukaan Ziyad. Selain itu, Ella pun turun tangan dengan mengajarkan sang adik ipar tentang cara berdandan yang bagus.
Ziyad yang tidak tahu tentang rencana sang istri, menganggap bahwa Yhara tengah belajar menjadi perempuan dewasa.
Hari Sabtu pagi, kedua pasangan pengantin baru itu berangkat menuju Jakarta dengan diantar keluarga inti Ziyad beserta Asminah. Liana telah pulang terlebih dahulu ke Yogyakarta beberapa hari yang lalu.
Acara perpisahan berlangsung dengan penuh keharuan. Yhara nyaris kesulitan untuk melepaskan diri dari pelukan sang nenek yang tak henti-hentinya menangis. Setelah Salma turun tangan untuk menenangkan neneknya, barulah Yhara dan Ziyad bisa berpamitan dan masuk ke ruangan check in Bandara Supadio.
"Kenapa?" tanya Ziyad saat melihat wajah Yhara yang memucat, sesaat setelah mereka duduk di kabin pesawat.
"Takut," jawab Yhara sambil memandangi luar kaca burung besi tersebut.
"Takut kenapa?"
"Pesawatnya bisa jatuh."
Secarik senyuman terbit di wajah Ziyad. Dia menarik tangan Yhara yang terasa dingin dan menggenggamnya dengan erat. "Banyakin doa aja, insyaAllah kita bisa tiba dengan selamat," ucapnya sambil mengusap punggung tangan Yhara, seolah-olah ingin menyalurkan kekuatan pada gadis berparas cantik tersebut.
Perjalanan dari Bandara Supadio menuju Bandara Soekarno-Hatta ditempuh selama satu jam dua puluh menit. Setibanya di sana kedatangan mereka disambut dengan hujan lebat.
Setelah mengambil barang bawaan, Ziyad mengajak Yhara ke luar. Tampak dua orang pria melambaikan tangan dari depan pintu kedatangan. Setelah dekat, Ziyad memperkenalkan Yhara pada kedua sahabatnya, yaitu Fauzan dan Abiyu.
"Kita mampir dulu ke situ. Aku lapar," ujar Ziyad sambil menunjuk ke sebuah restoran cepat saji di bagian kanan terminal kedatangan bandara.
Keempat orang tersebut jalan ke tempat yang dituju. Ziyad berinisiatif untuk memesankan makanan buat Yhara, karena gadis itu tampak masih bingung hendak memilih menu.
"Gimana dengan Olga?" tanya Abiyu sambil berbisik saat mereka berdiri di depan meja kasir.
"Masih marah. Teleponku nggak diangkat, chat juga nggak dibalas," sahut Ziyad dengan suara pelan.
"Udah, lupain Olga. Prioritas kamu sekarang Yhara. Jangan ngecewain anak orang yang rela pergi jauh merantau demi ngikutin kamu," sela Fauzan.
Ziyad sesaat tertegun, kemudian mengangguk paham akan maksud ucapan sahabatnya itu. Fauzan memang benar, saat ini fokusnya adalah Yhara. Apalagi gadis itu akan segera menjadi mahasiswi beberapa minggu lagi. Banyak hal yang harus dipersiapkan untuk menyambut hari yang penting buat Yhara.
Seusai menghabiskan makanan, mereka beranjak menuju tempat parkir. Fauzan menyalakan mesin mobil terlebih dahulu. Tak lupa untuk membuka pintu lebar-lebar agar uap panas dalam mobil bisa segera keluar.
Beberapa menit kemudian keempat orang tersebut memasuki kendaraan. Fauzan menyetir dengan santai sambil sesekali menyambung obrolan dengan kedua sahabatnya.
Yhara lebih banyak diam dan sibuk memerhatikan gedung-gedung pencakar langit yang dilewati. Walaupun ini bukan pertama kalinya dia berkunjung ke Jakarta, tetapi tetap saja dia terpukau dengan kota metropolitan ini.
Setibanya di rumah kontrakan Ziyad di daerah Rawamangun, Yhara sempat tertegun. Dia yang sudah terbiasa dengan rumah yang besar, sekarang harus bisa beradaptasi dengan tempat yang lebih kecil.
"Sementara di sini dulu, ya, nanti kita cari tempat yang lebih besar," ujar Ziyad. Pria itu seakan-akan paham dengan isi hati Yhara.
Dua pasang mata berkilat menyongsong mereka dari tengah ruangan. Tubuh Yhara mendadak kaku saat kedua mahkluk itu berjalan mendekat. Napasnya tiba-tiba terasa sesak. Bulir keringat dingin pun muncul dari kepalanya.
"Halo, Anak-anak, papa pulang!" seru Ziyad sambil berjongkok. Mengangkat kedua ekor kucing itu dan memeluk mereka dengan penuh kerinduan.
"Kenapa, Ra? Kok nggak masuk?" tanya Fauzan yang tengah menyeret koper milik Yhara.
"Aku ... takut sama kucing," jawab Yhara dengan suara lemah. Tak lama kemudian tubuhnya terhuyung.
Abiyu yang berada di belakangnya segera menangkap tubuh Yhara yang lemas. Ketiga pria tersebut saling beradu pandang dengan bingung. Mereka sama sekali tidak menyangka bila Yhara ternyata phobia dengan makhluk berbulu itu.
Ziyad langsung mendekat dan menggendong Yhara. Meletakkan tubuh mungil gadis itu dengan hati-hati di atas tempat tidur. Duduk di sebelah kiri sambil mengusap rambut Yhara yang berantakan.
Fauzan mengambil majalah dari rak buku di sudut kanan ruang tamu dan duduk di ujung kaki Yhara. Mengipasi gadis itu sambil beradu pandang dengan Ziyad yang duduk di sebelah kiri istrinya.
Abiyu menyeret koper hingga ke dekat lemari. Meraih remote pendingin udara dan menyalakannya. Duduk berselonjor di atas karpet dan menyandarkan tubuh ke dinding. Memandangi tempat tidur di mana Yhara masih berbaring.
"Ada minyak kayu putih nggak?" tanya Fauzan.
Ziyad mengangguk dan bangkit berdiri. Jalan ke meja kerja yang letaknya berderet dengan lemari dua pintu, tepat berhadapan dengan tempat tidur. Pria yang memiliki tinggi badan seratus tujuh puluh dua centimeter itu meraih botol plastik kecil dari atas meja dan memberikannya pada Fauzan.
"Lah, kok aku? Kamu dong yang mijitin Yhara," tolak Fauzan sembari memundurkan tubuh.
Ziyad masih tampak bingung, tetapi tidak menolak saat Fauzan menarik tangan dan menuntunnya untuk mengoleskan minyak beraroma tajam itu ke pelipis, dekat leher, kaki dan terakhir di bawah hidung Yhara.
"Dipijat! Malah dipelototin!" seru Abiyu yang merasa gemas melihat kecanggungan Ziyad.
"Ehm ... aku nggak berani," kilah Ziyad.
"Kenapa?" tanya Fauzan dan Abiyu nyaris bersamaan.
"Takut dia teriak lagi, kayak waktu aku nggak sengaja ... meluk dia pas tidur," terang Ziyad sembari menunduk.