Alisha masih meringkuk sambil memeluk kedua lututnya di salah satu sudut jembatan penyeberangan. Tangisnya tak kunjung usai setelah berdebat begitu lama dengan sang kekasih beberapa saat yang lalu. Gadis itu sengaja duduk di tempat paling tersembunyi di jembatan yang belum sepenuhnya dioperasikan itu agar Maya atau siapa saja yang tadi memanggilnya, tak ada yang tahu di mana keberadaannya kini.
"Sha, minum pil ini nanti malam ya? aku temani, sampai besok pagi. Setelah itu semua masalah kita akan selesai."
Kalimat-kalimat Arya beberapa menit lalu masih terngiang jelas di telinganya. Rasanya masih terlalu sulit untuk percaya, kalau kekasih yang selama ini ia puja tanpa cela tega menawarkan hal tersebut padanya. Menggugurkan janin tak berdosa hasil perbuatan mereka. Terjebak dosa satu malam saja sudah membuatnya digulung resah, apalagi jika sampai berani membunuh janin tak bersalah yang kini mendiami rahimnya. Tidak. Alisha tidak seberani itu untuk kembali menantang karma yang akan diberikan Sang Pencipta.
"Bukan pil ini yang kamu janjikan malam itu, Mas. Tapi sebuah pernikahan."
"Iya, kita pasti akan menikah, tapi nggak sekarang, Sha. Nggak dengan cara salah seperti ini. Nanti kita akan menikah di waktu yang tepat setelah kita sama-sama siap dalam segala hal."
Badjingan!! Umpat Alisha hanya mampu ia teriakkan dalam hati. Apa semua anak orang kaya punya cara pikir seperti itu untuk mengatasi masalah yang disebabkannya sendiri? Ke mana perginya Arya yang selama setahun ke belakang ini ia kenal baik hati dan bertanggung jawab? Mana sosok Arya yang selama ini mengayomi dan menghujaninya dengan penuh kasih sayang? Apa semua perhatian dan kasih sayangnya selama ini hanya sebatas topeng yang menutupi tabiat aslinya?
Sial! Alisha mendadak saja merasa bodoh karena dengan mudahnya tertipu rayuan manis dari Arya yang sedari awal menjadi kakak tingkat yang diidolakannya. Tanpa aba-aba, air matanya kembali menganak sungai. Segala kemungkinan terburuk silih berganti melintas di benaknya.
"Kalau Mas Arya nggak menginginkan bayi ini, itu artinya dia nggak menginginkan aku juga kan?" Alisha bermonolog sedih di sela-sela tangisannya.
"Lalu kenapa hanya bayi ini saja yang dilenyapkan. Seharusnya ... aku juga dilenyapkan. Bukankah, secara tak langsung aku turut serta menghadirkan janin tak berdosa ini?"
Cepat-cepat Alisha menghapus air mata dengan kedua telapak tangan. Gadis itu bangkit berdiri dengan tubuh sedikit bergetar. Tatapan matanya kosong saat menegakkan lengan demi berpegangan di tepian pembatas jembatan.
"Sepertinya tempat ini sudah cukup tinggi." Pikiran Alisha yang sudah buntu membuatnya tak bisa mengandalkan logika.
“Kalau aku lakukan dengan cepat, seharusnya tak akan terasa sakit. Lalu semua masalah akan menghilang begitu saja. Ya, itu memang pilihan yang paling tepat untuk saat ini." Entah mendapat bisikan dari mana, tiba-tiba saja Alisha berani menaiki pijakan besi di bawah kakinya.
"Alisha, kamu pasti bisa. Buat apa hidup berkalang dosa dan bertahan seorang diri membesarkan bayi yang tak diinginkan ini? Tidak ada gunanya! Jadi lebih baik mati saja!" bisikan-bisikan halus itu semakin membulatkan tekad Alisha untuk mengambil nyawanya sendiri. Sampai teriakan asing menyentak kesadarannya.
"Hoiii, cewek gila!! udah bosan hidup kamu ya!!" teriak suara pertama.
"Astagfirullah, Mbak'e nyebut, Mbak, nyebut. Ayo turun.." suara berat lainnya ikut menimpali tak lama setelahnya.
Alisha mendadak panik. Karena saat ia menoleh sudah ada dua orang lelaki dengan memakai rompi dan helm proyek yang berlarian menuju ke arahnya. Bukannya mengurungkan niat untuk terjun dari ketinggian, gadis yang kini kembali menangis itu justru bergerak gesit hingga mencapai pijakan terakhir yang ada di bagian paling tepi pembatas jembatan. Hilir mudik kendaraan yang berlalu lalang di dua ruas jalan yang melintas di bawah jembatan membuat Alisha meneguk salivanya susah payah. Beranikah ia melanjutkan niatnya?
"Jangan mendekat kalian!" Alisha menggeleng cepat dengan tangan terulur menunjuk dua pria itu agar tak mendekati tempatnya. "Atau … aku akan lompat!" ancamnya masih dengan wajah sembab akibat banjir air mata.
"Lompat saja kalau berani!" ancam lelaki jangkung dengan helm putih di kepalanya. "Saya bangun jembatan ini buat nyebrang jalan, bukan nyebrang lintas alam! Coba saja kalau berani!" sambungnya lagi dengan suara lebih lantang mencoba menciutkan nyali Alisha.
"Jangan mendekat!!"
"Kalau mau bunuh diri, cari tempat lain aja! jangan bikin jembatan saya jadi tempat angker sebelum diresmikan!" Ada nada kesal yang sangat kentara dari pria itu. Perlahan namun pasti, ia bergerak maju tanpa menimbulkan kecurigaan Alisha.
"Pak Danesh!" bisik seorang pria lain yang lebih berumur di sebelahnya.
"Sstt.. Pak Munir, panggil security!" titah pria bernama Danesh itu dengan nada sangat pelan.
"Jangan mendekat!!" ulang Alisha mulai panik. Padahal ia tadi sudah memastikan tak ada orang di jembatan ini. Tapi, bisa saja ia lupa memperkirakan masih ada kemungkinan kalau pekerja proyek bisa berlalu lalang dengan leluasa di tempat ini.
"Banyak omong! kalau kamu mau mati jangan di sini, mending ikut saya, saya bisa antar ke tempat lain yang lebih curam daripada jembatan ini."
"Ka—"
"Kamu pikir dengan bunuh diri bisa menyelesaikan masalah, gitu? yang ada malah bikin masalah baru, belum lagi nyusahin banyak orang! nyusahin saya dan pekerja proyek lain yang sudah bekerja di sini berbulan-bulan." Danesh menatap nyalang sosok Alisha yang sepertinya masih sangat belia, bahkan terlihat seumuran dengan adik bungsunya.
"Kamu nggak tau ap—"
"Saya taunya kami putus asa. Iyakan? tapi tolong jangan bikin masalah baru di tempat ini!"
Alisha menggeleng pelan. Tangisan yang tadi hanya berupa isak lirih kini semakin menjadi. Tak peduli dengan apapun yang dikatakan pria di depannya. Alisha hanya ingin satu hal. Meregang nyawa.
"Mundur kam—"
Alisha secara sadar melepaskan cekalan tangannya begitu tahu pria tersebut semakin dekat. Tubuhnya limbung ke arah depan, gerakan spontan yang membenturkan keningnya ke tiang besi penyangga atap jembatan dan berakibat jatuhnya tubuh ramping gadis itu.
“Gadis bebal!!” pekik Danesh membalalakkan kedua matanya.
***
“Ar, gimana rundingan lo sama Alisha tadi?” tanya Ronald begitu mendapati Arya dengan wajah kusut datang ke tempatnya.
“Kacau, Ron. Kacau!” Arya langsung mendaratkan bokongnya di sofa yang berhadapan dengan Ronald. Sudah menjadi kebiasaan kalau Arya pasti akan mengunjungi galeri seni yang dikelola oleh keluarga sahabatnya itu saat pikirannya sedang kalut. Ronald yang sudah hapal dengan raut wajah kusut temannya langsung mengajak Arya ke lantai tiga, di mana ruang kerja barunya berada.
“Maksud lo? Alisha pendarahan hebat?”
Arya mengernyitkan kening tak paham. “Maksudnya?”
“Ya biasanya kan kalau cewek gugurin kandungannya secara paksa, pasti ngalamin pendarahan hebat atau apalah gitu istilahnya.” Ronald menjelaskan hal yang pernah ia baca secara random di artikel daring.
Arya menggeleng perlahan lalu menjambak rambutnya. “Gue ribut sama Alisha. Dia nolak minum pil itu, dan tetap nagih pertanggungjawaban gue buat nikahin dia.”
“Laah, udah gue prediksi sih kalau itu,” komentar Ronald memelankan suaranya. Ia tak ingin keluarga atau pegawai galeri milik ayahnya mendengar pembicaraannya dengan Arya tentang aktifitas ilegal ini.
“Meski akhirnya Alisha membawa pergi pil itu, gue tetep nggak yakin kalau dia beneran minum buat gagalin kehamilannya. Dia pergi ninggalin gue gitu aja, Ron. Gue kejar juga percuma, dia ngilang pas bubaran kuliah. Barusan gue pergi ke apartmennya juga kosong. Kata security, Alisha belum balik ke unitnya.” Sejujurnya Arya cemas, karena kekasihnya sama sekali tak bisa dihubungi sejak keributan di antara mereka tadi sore.
“Udah lo hubungin?”
Arya mengusap wajahnya kasar. “Ponselnya nggak aktif. Gue sampe hubungin Maya, temen sekelasnya, tapi dia juga nggak tau di mana Alisha sekarang. Gue juga udah hubungin Marissa, malah gue yang kena semprot balik.”
“Ke rumahnya udah?”
Arya kembali menggeleng. “Gue nggak tau rumahnya, kalaupun gue ke sana pasti langsung bikin keluarganya cemas juga kan?”
“Elo nggak ngecek ke rumah lo sendiri?”
“Ngapain bego?” Arya mengerutkan kening.
“Ya kali aja Alisha langsung ngadu ke bokap nyokap lo kalau anak kesayangan mereka udah hamilin dia. Cara jitu cewek-cewek jaman sekarang kan? apalagi kalau mengingat gimana konglomeratnya bokap lo.”
Lagi-lagi Arya menggeleng. “Alisha nggak akan cari mati dengan berpikir ke arah sana, Ron!”
Meskipun Arya tahu kalau nama besar keluarganya sudah dikenal di mana-mana. Tapi ia sangat yakin kalau Alisha tak akan melakukan hal yang dikatakan Ronald hanya untuk kepentingannya sendiri. Apalagi selama menjalin kasih dengan Alisha, tak sekali pun ia mengenalkan gadis itu pada keluarganya. Kalaupun hal itu terjadi, sudah pasti Hanami dan Adiyatma sudah menghubungi dan menyeretnya pulang saat ini juga.
"Elo ada salah ngomong kali, makanya Alisha ngambek terus sengaja kabur. Coba lo inget-inget lagi tadi ngomong apaan ke Alisha?" Ronald mencoba memberi petunjuk.
"Pilihan gue buat ngegugurin kandungannya salah menurut dia, Ron. Makanya dia mendadak ngilang gini," respon Arya apa adanya.
"Lah, jangankan menurut Alisha, menurut gue aja pilihan elo salah, Bego! Emang paling bener nikah aja udah..."
"Siapa mau nikah woy??" Rakha mendadak datang bergabung langsung memotong perbincangan kedua sahabatnya.
"Arya nih gue suruh nikah aja daripada nahan-nahan m***m, padahal taknya m***m beneran," sambar Ronald mencebik ke arah Arya yang wajahnya masih berantakan.
"Heleeh, sok bisa setia aja nih anak manjanya Om Adiyatma. Paling juga bentar lagi ganti cewek lagi kalau udah ketemu bule New York," seru Rakha lantas terkekeh geli. "Secara yaa ... melon kembar bule-bule sana kan pada montok semua."
Berbeda dengan Ronald dan Rakha yang tergelak saat sengaja meledeknya, Arya justru tak tersenyum sama sekali ketika mendengar sahabatnya mulai terkekeh menertawakan dirinya. Arya masih saja terpekur memeriksa ponsel demi menunggu balasan dari Alisha.
"Heh, by the way kalian udah denger belum yang tadi rame-rame di depan kampus kita?" Rakha mengalihkan pembicaraan saat mengingat sesuatu.
"Rame apaan? anak-anak pada turun demo?" tebak Ronald penasaran.
"Halaah, bukan."
"Terus apaan?" Ronald yang tadinya menghadap Arya kini beralih berhadapan dengan Rakha demi mendengar cerita yang lebih lengkap dari sahatbatnya.
"Tadi, kata anak-anak ada mahasiswa mau bunuh diri di JPO yang baru dibangun itu. Gilak makin ke sini makin ke sana aja generasi sekarang!" decak Rakha menghempaskan punggung sandaran sofa. "Kayak nggak ada solusi aja kalau lagi ketemu masalah. Maunya cara instan mulu."
"Instan ketemu malaikat maut maksud lo?" ledek Ronald menimpali dengan candaan.
"Instan masuk neraka juga kali," Rakha ikut terbahak saat menambahkan.
"Anak mana yang percobaan bunuh diri?"
Ronald dan Rakha makin antusias membahas berita terbaru dari kampus mereka.
"Mana tau gue, cewek pokoknya. Kasian aja sih gue kalau denger berita kayak gitu, pasti udah putus asa banget tuh kepalanya." Rakha menyulut satu batang rokok sebelum menyesapnya.
Bego kuadrat! seputus asa apaan sih sampai memilih bunuh diri segala?! Arya ikut berkomentar dalam hati. Hanya saja ia enggan masuk ke dalam obrolan kedua temannya karena masih fokus bertukar pesan dengan Yoshi yang ia perintahkan mencari keberadaan Alisha.
"Putus cinta kali. Cewek patah hati kan biasanya lebay, ngambek dikit langsung kepengen mati aja." Ronald mencibir pemikirannya sendri.
"Bisa jadi patah hati karena dicampakkan cowoknya sih tuh cewek," Rakha menggeleng kepalanya pelan. "kasihan banget, habis manis sepah dibuang."
"Atau jangan-jangan kayak kasus tahun lalu tuh," Ronald mencondongkan tubuhnya saat mengambil ponsel di tengqh meja lalu menggulir layar sesaat untuk mencari tahu berita lawas yang pernah dibacanya di grup alumni.
"Kasus apaan?!"
"Kasus bunuh diri juga, gara-gara dihamili cowoknya lalu ditinggal kabur. Bunuh diri pas hamil gitu dosanya double nggak sih? dosa membunuh janinnya, sama. dosa membunuh dirinya sendiri?" Ronald mengusap dagu sambil. berpikir.
Dihamili ... lalu bunuh diri.
Tubuh Arya menegang seketika. Bahkan ponsel ditangannya sampai terjatuh membentur lantai. Mendengar hal yang dibahas Ronald dan Rakha mendadak saja membuat perutnya mulas. Bukan karena penasaran dengan hal yang dibahas dua orang tersebut. Melainkan karena pikirannya langsung tertuju pada satu nama yang seharian ini membuatnya hampir gila karena merasa bersalah.
Alisha Gauri.
Alisha... tidak mungkin melakukan hal bodoh seperti bunuh diri itu kan?
Tidak mungkin, itu pasti ... bukan Alisha.
***