Duabelas

1050 Kata
Minggu pagi dan Shaila benar-benar butuh udara segar supaya bisa berpikir jernih. Kepalanya begitu pusing memikirkan masalah hidupnya saat ini, semuanya begitu runyam. Jika saja kakeknya itu tidak marah dan kecewa sudah pasti Shaila tak akan pusing memikirkannya. Jadilah ia memilih untuk olahraga pagi di pusat ibukota, biasanya minggu pagi ada banyak sekali orang-orang yang berolahraga disana. Dengan pakaian training nya Shaila siap untuk olahraga. Selama melakukan perenggangan, pikiran Shaila terus terfokus pada rencana yang akan dilakukannya. Saat ini hanya Kakeknya dan keluarga Pramono yang bisa menjadi harapannya diwaktu yang singkat ini. Tiga hari lagi tepat sepuluh hari sesuai perjanjian dan Shaila belum mendapatkan uang sepeserpun. "Saya tidak menyangka kita akan bertemu disini." Suara itu mengalihkan Shaila, ia melihat Devan. Dulu menjadi atasannya dikantor tetapi sekarang jabatan mereka sama. "Ah iya pak Devan, saya juga tidak tahu bapak biasa olahraga disini." Senyum manis pria itu sedikit meluluhkan hati Shaila, pria ini baik sekali tetapi Shaila tidak bisa meminta bantuannya. Shaila setidaknya tahu jelas bagiamana keluarga pak Devan yang berasal dari keluarga sederhana, lagipula Shaila pun merasa sungkan untuk meminjam uang banyak pada pria ini. "Saya memang setiap minggu pagi kemari, dan baru melihat kamu hari ini." Shaila mengehentikan kegiatannya dan balas senyuman Devan, "saya memang baru hari ini kemari, sedang ingin olahraga. Kalau begitu mari pak." Tak mau berlama-lama Shaila pamit dan melanjutkan kegiatan olahraganya yaitu lari. Dalam tiap langkahnya tak henti berpikir bagaimana cara membujuk kakeknya. Hingga dirasa cukup, Shaila memutuskan untuk pulang lalu pergi kerumah kakeknya. Sesampainya dirumah Kakeknya Shaila tidak menemukan siapapun, Bu Tuti bilang bahwa Kakeknya pergi ke Singapura untuk pemeriksaan rutin. Dengan lemas Shaila meninggalkan rumah itu, Shaila merasa sudah hilang harapan. Kakinya terus menapaki jalan aspal dikomplek perumahan elit tersebut dengan pikiran menerawang. Ia bisa saja merelakan rumah itu meskipun kenangannya begitu banyak untuk dirinya pribadi, tetapi mengingat banyaknya pelayan dirumah itu yang sudah lama mengabdi pada keluarganya Shaila merasa tak tega memberhentikan mereka yang sudah tua dan sulit untuk mendapatkan pekerjaan baru. Dan juga ibunya... "Harta yang paling berharga untuk Mama adalah kamu dan rumah ini." Senyum ibunya begitu teduh dan menenangkan hati. "Kamu memang satu-satunya yang mama punya, tetapi rumah ini adalah hadiah paling indah yang Papa berikan untuk Mama. Jadi Shaila harus menjaga rumah ini juga untuk Mama." Jika ditilik kembali, mungkin yang dimaksud hadiah paling indah bagi Mamanya saat itu adalah janji untuk membangun keluarga bahagia dari Papanya. Entah pura-pura tak tahu atau memang tidak tahu Mamanya itu tentang kenyataan Papanya yang mencintai wanita lain. Buktinya Shaila tidak pernah melihat pertengkaran kedua orangtuanya itu, mereka begitu bahagia dan Papanya selalu memperhatikan dirinya juga sang Mama. Seolah rumah itu menjadi bukti Papanya yang berusaha untuk menerima Mamanya saat itu meskipun pada ujungnya takdir berkata lain. Suara klakson mobil mengejutkan Shaila dari lamunannya, saat ia menoleh kesamping wajah sok tampan bos mesumnya terpampang disana. Muncul dari celah jendela mobil yang sengaja dibuka. Mengerutkan kening, Shaila menatap bosnya itu tak suka lain dengan Ken yang tersenyum miring seolah mendapatkan jackpot. "Butuh tumpangan Nona cantik?" "Tidak, terimakasih." Shaila kembali melanjutkan langkahnya diikuti mobil yang berjalan perlahan disampingnya. "Ayolah, sekarang cahaya matahari sangat menyengat. Aku sama sekali tidak keberatan mengantarmu pulang." "Saya yang keberatan." Berdecak pelan, Ken menghentikan mobilnya dan mengejar Shaila. Mengangkat tubuh perempuan itu dan memasukkannya kedalam mobil, tentu saja Shaila terkejut bukan main. Ia melakukan protes dan memberontak tetapi tetap saja tidak dihiraukan, pria ini sungguh berani melakukan penculikan seperti ini disiang bolong. Ken secepat kilat menuju ke kursi kemudi dan menjalankan mobilnya membuat Shaila tak bisa berbuat apapun karena ia sudah terkunci dimobil bersama pria yang paling tidak Shaila inginkan. "Bagaimana dengan tawarannya? Kamu sudah memikirkan nya kan?" Shaila menatap pria itu, ia lupa bahwa pria ini sudah memberinya penawaran yang kurang ajar. Shaila tak menjawab sama sekali, otaknya memikirkan kemungkinan lain. Apa bisa pria ini membantunya? 14 Miliar adalah uang yang sedikit untuk orang kaya, bahkan Shaila yakin seratus persen bahwa pria ini memiliki rumah yang lebih mahal dari itu belum lagi apartemen dan lainnya. "Kenapa hanya diam? Aku hanya ingin kamu menjadi simpananku, kenapa kamu berpikir rumit? Aku akan memenuhi kebutuhanmu keinginanmu apapun itu." Shaila menghela nafasnya pelan pandangannya terlempar kearah jalan, tak menatap Ken lagi. "Saya tidak tertarik menjadi selingkuhan dari istri Anda ataupun tunangan Anda atau kekasih Anda." Ken menaikkan alisnya menatap Shaila yang tak mau menatapnya, membiarkan Ken memandangi leher putih mulus yang benar-benar menggiurkan untuknya. "Kamu tidak jadi selingkuhan. Astaga.." menghela nafas besar Ken menghentikan mobilnya dipinggir jalan. "Aku tidak punya kekasih, tunangan ataupun istri. Begini saja, jika kamu tidak suka disebut simpanan bagaimana jika kita menjadi sepasang kekasih?" "Saya tidak mencintai Anda dan begitu pun dengan Anda, mengapa harus menjadi sepasang kekasih." Ken menggeram pelan, tangannya yang bebas mengapit dagu Shaila agar perempuan itu menatapnya hingga tatapan mereka bertemu. "Aku menginginkanmu." Ken dapat melihat kegugupan dimata Shaila, hal ini sedikit membuat Ken senang karena artinya Shaila berhasil terimidasi olehnya. "Aku menginginkan dirimu, terserah kau ingin menyebut apa. Aku hanya ingin dirimu dan sebagai gantinya aku akan memberikan apapun yang kau mau." "Jalang." Dengan suara tercekat Shaila mengucapkan kata itu, matanya yang agak berkaca menatap Ken. "Wanita yang dibayar setelah berhubungan s*x itu disebut jalang." Ken menjepit wajah Shaila agak kuat karena merasa kesal, kesal karena wanita ini merendahkan dirinya sendiri. Ken sangat tidak suka hal itu. "Aku tidak pernah menyebutmu sebagai Jalang." "Lalu apa?" Dengan agak meringis Shaila masih menantang pria yang berkilat emosi didepannya. "Aku ingin kita menjadi sepasang kekasih." "Yang tidur bersama?" "Ya." "Saya tidak tertarik," Shaila berusaha melepas tangan Ken dari wajahnya. "Anda bisa mencari wanita lain yang mau menjadi kekasih Anda dan memberikan tubuhnya." Satu tangan Ken yang bebas digunakan untuk menggapai tengkuk Shaila hingga ujung hidung mereka saling menempel. "Tetapi aku hanya mau dirimu." Lalu Ken menciumnya dengan bringas seperti malam itu tidak memberi Shaila kesempatan. Tangan yang awalnya berada di wajah Shaila kini beralih mengekplorasi tubuh perempuan itu. Shaila sudah mendorong dan menjambak tetapi usahanya sia-sia, nafasnya hampir habis barulah pria sialan ini berhenti. Ken menatap Shaila yang bersandar lemas di kursinya dengan kaos olahraga yang tersingkap ke atas memperlihatkan bra warna putih wanita itu. "Kau tidak bisa lari dariku kali ini." Lalu Ken menjalankan mobilnya dengan kecepatan yang luar biasa membuat Shaila panik bukan main, ia tidak bisa lari dari pria gila ini. Vote and Comment guys!!!
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN