Di Sampingnya

959 Kata
"Mana belanjaanmu?!" Masih dengan kedua alis bertaut, tetapi kilatan mata yang mulai meredup. "Belanjaan?" tanyaku seperti orang linglung. Mungkin dia bertambah kesal, karena aku tidak menciut, malah menatapnya dengan senyuman. "Kamu ke sini akan belanja, kan?" Nada suaranya mulai melunak. Dia menarikku untuk duduk di kursi yang disediakan di depan toko. Aku langsung tersadar, bahwa tadi minta ijin Bulek Ningsih untuk belanja. Tanganku meremas ujung baju, mengalihkan perhatian selagi mencari apa jawaban yang tepat. Kalau aku mengatakan belum belanja, itu pasti mencurigakan. Waktu selama ini belum belanja kan aneh. "Oh, belanjaan saya di mana, ya?" Aku mengedarkan pandangan, pura-pura mencari belanjaan. "Aduh! Saya lupa ambil! Ketika di mobil tadi, belanjaan saya letakkan di lantai mobil. Orang tadi sudah minta tolong, malah belanjaan saya diembat!" ucapku dengan kesal. Aku menunduk dan menepuk dahiku untuk meyakinkan rasa kesal. "Sudahlah! Tidak usah mikir belanjaan. Yang penting kamu selamat!" Aku yang masih menunduk, melirik sekilas Den Langit. Memastikan dia percaya, dan senyum lega terbit, ketika semuanya aman. "Den Langit kenapa ada di sini? Belanja juga?" Aku mengangkat pelan wajah ini, pasang tampang tanpa dosa. Dia melirikku sebentar dan tersenyum. Tidak ada jawaban, dia malah menyunggar rambut dan mengikat di bagian atas. Seandainya aku jadi karetnya, aku akan terikat kuat di sana. Otakku mulai berhalusinasi, bermain kata andai. "Saya membutuhkanmu. Sekarang ikut saya!" ucapnya langsung beranjak, dan berjalan menuju motor Aku menatapnya, tidak percaya dengan apa yang aku dengar. Den Langit membutuhkan aku? Sekarang mengajakku naik motor, itu artinya yang dikatakan Pak Salim benar. Ada yang diincar, dan itu aku. Hei, jangan terlalu cepat menarik kesimpulan. Kalau sudah melayang, nanti terhempas rasanya sakit. Aku menggelengkan kepala mengusir suara hati yang mengganggu. "Tutik cepetan, keburu sore!" teriaknya sambil mengacungkan helm. Ya, itu helm untukku. Kekawatiran lain timbul, apakah sekarang kepalaku muat di helm itu? Aku merasa kepala ini mulai membesar. *** "Kita sudah sampai!" Kami memasuki pelataran bangunan besar dengan astitektur kuno. Di parkir sisi lain, ada tiga mobil box dan berjajar banyak sepeda motor. Den Langit parkir di sisi lain, ada plang kayu bertuliskan pimpinan. "Tutik, mulai di toko tadi, kamu lebih banyak bengong. Jangan-jangan kamu diguna-guna orang mobil tadi. Kok kayak orang linglung," ucap Den Langit sambil menerima helm yang aku pakai tadi. Aku hanya menjawab dengan gelengan. Mulut ini berusaha aku kunci kuat. Kawatir kalau berucap akan merusak penyamaranku. "Ini dimana?" Aku masih mengedarkan pandangan, kemudian terpaku pada tulisan di sebelah pintu masuk. Batik Sasmita. Ternyata, kami di pabrik batik keluarga Baskoro. Pak Salim sering menceritakan pabrik warisan ini. "Ayo ikut aku!" Setengah berlari, aku mengejar langkah panjangnya. Huuft, dia tidak tahu kalau kakiku ini masih pegal. Selama perjalanan, kaki ini menahan untuk tidak merosot ke depan. Tahu kan, sadel motor laki-laki yang mencuat ke belakang. Den Langit sempat menarik tangan ini untuk berpegangan pinggangnya. Namun aku memilih mengeratkan tanganku pada sadel motor--gaya berboncengan kekasih yang lagi bertengkar--walaupun terlihat aneh. Bukannya tidak ingin, tetapi aku sibuk dengan jantung ini yang semakin bertalu menendangkan lagu yang tak biasa. Perasaan karena terlalu lama tidak dekat dengan lawan jenis. Itu kemungkinannya. Terakhir berboncengan seperti ini, aku bersama Mahardika. Dengannya, kami seperti sahabat yang tidak terpisahkan. Kalau dengan dia, aku sudah biasa. Namun, dengan Den Langit ada perasaan jengah. Memasuki gedung besar ini, aku seperti anak ayam yang memasuki lumbung padi. Mata ini liar melihat motif batik yang tergantung rapi. Ide berjubel bermunculan di kepala. Ini bisa menjadi inspirasi design berikutnya. Batik klasik dipadukan gaya modern. Pasti laku keras nantinya. Aku terpaku pada satu lembar batik yang di gantung di ujung ruangan. Tergantung sendirian dengan lampu sorot mengarahnya. Motif dengan dasar warna hitam yang ditoreh motif tinta warna merah dan hijau. Entah kenapa, aku merasa ada kesedihan yang tersirat. Pelan, aku sentuh batik yang berbahan kain sutra ini. Hatiku seperti tertusuk, sakit. "Kamu di sini, Tik? Disuruh mengikuti, kok malah nyaplir!" ucap Den Langit. Dahinya berkerut menatapku. Dia terdiam saat aku mengabaikannya. Kemudian dia berucap, "Kamu bisa merasakan ini?" Aku menoleh ke arahnya, pandanganku kabur tertutup air mata yang mengambang. Den Langit menarik tanganku menuju sebuah ruangan. Masih terasa sisa-sisa kepedihan di hati ini, dan mereda setelah Den Langit menyodorkan minuman dingin. "Itu hasil karya Romo sebelum meninggal." Dia menghela napas dan melanjutkan bicaranya. "Satu minggu sebelum kecelakaan itu, beliau kelihatan gelisah. Menurut sesepuh, Romo sudah merasa akan berpisah dengan kami, dan ini pesan yang beliau buat." Dia menunduk dan meremas kepalanya. Laki-laki di depanku ini, kelihatan sekali memendam beban yang sangat berat. Aku merasa bersalah telah membangkitkan kesedihannya. "Den Langit, maafkan saya." Beberapa waktu kami hanya diam. Ruangan ini dikuasai detak jam dinding saja. . . . . "Huuft! Saya mengajakmu ke sini karena ada maksud," ucap Den Langit mengagetkan. Wajahnya kembali seperti semula, sudah tidak kelihatan kesedihan yang berbayang. "Tutik, selama ini saya sendiri. Tidak ada orang di sampingku." Dia terlihat berpikir sejenak sebelum mengatakan hal yang mengejutkan. "Kamu mau selalu menemaniku, kan?" Tatapanku terkunci ke arahnya, senyum ini mengembang sempurna. Kepalaku mengangguk dengan sendirinya. Ini berarti, aku dan dia.... Aku menghela napas, menyadari bahwa ucapan Bulek Ningsih benar. Menepis keraguan, karena ini terlalu cepat. Hatiku sibuk menendangkan lagu riang. "Bagus! Berarti kamu menerimanya. Kamu tahu, kan, Ibu di Jogja lama. Saya memerlukan orang yang membantuku. Yang pertama, kita rapikan kantor ini. Kita susun semua file seperti yang kamu lakukan di rumah. Aku lemari sebelah sini dan kamu yang sebelah sana. Untung ada kamu, Tik. Kalau tidak, aku bisa stres. Terima kasih, ya!" Perkataannya memberondong tidak henti dengan riang dan mata berbinar. Aku menatapnya lekat, mencerna apa yang terjadi sebenarnya. Bahkan, tepukan tangannya di bahuku tidak membantuku paham. Dia sudah membuat otakku tumpul, bahkan mata ini menjadi buta. Mungkinkah ini karena harapan tak biasa? Duh! ‘Ternyata maksud di sampingnya sebagai tukang bersih-bersih dan merapikan file,’ bisik hatiku membuat geleyar indah meredup seketika. ******
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN