Harapanku pupus sudah, hari ini tepatnya di ruang rawat rumah sakit dengan di saksikan keluargaku dan keluarga Lingga lalu ada dua orang dokter dan perawat lalu satu penghulu.
Aku benar-benar akan menikah dengan musuhku sendiri, yaitu Lingga.
Om Hendri masih terbaring di tempat tidur karena keinginan nya sebelum pergi adalah melihat Lingga menikah, tapi kenapa harus aku yang jadi pasangannya?
Aku menatap Lingga yang memakai jas rapih lalu aku memakai dress putih cantik dan sebuah mahkota indah di kepalaku.
Mama, papa aku akan menikah.
"Karena mereka masih sangat muda sebenarnya hal ini belum di perbolehkan dalam peraturan di indonesia tapi saya telah memutuskan mereka hanya akan ijab khobul dan pernikahan ini hanya kita disini yang tau lalu setelah Dewi dan Lingga lulus sma kita baru akan mengadakan resepsi pernikahan agar orang tau Dewi dan Lingga adalah suami istri."
Jantungku oh jantungku ... apa kau baik-baik saja setelah mendengar papaku yang berbicara kayak gitu barusan.
"Lingga, om percaya sama kamu untuk bisa menjaga putri om, apa kamu bisa janji sama om untuk menjaga kepercayaan yang om berikan padamu?"
"Iya om." jawab Lingga.
Lalu akad nikah pun dilakukan.
"Bismillahirahman nirahim, Saya nikahkan engakau, Lingga Rendiantara dengan Dewita Ashari binti Wardana dengan seperangkat alat sholat dan mahar sebesar sepuluh juta rupiah, emas lima gram dibayar tunai."
"Saya terima nikahnya Dewita Ashari binti Wardana dengan seperangkat alat sholat dan mahar sebesar sepuluh juta rupiah, emas lima gram di bayar tunai."
"Bagaimana para saksi sah?"
"Sah!"
Dan secara resmi aku telah menjadi istri Lingga dalam sekejap, kami bertukar cincin lalu Lingga memberikan kecupan di keningku dengan begitu singkat untuk memperjelas status hubungan diantara kita bukan hanya sekedar teman kelas tapi juga teman hidup.
Aku masih tidak menyangka akan menikah secepat ini. Sekarang Lingga adalah suamiku.
Aku akan pulang dari rumah sakit sekitar pukul tujuh malam, hari ini terasa sangat panjang dan melelahkan.
"Dewi kamu mau kemana?" tanya tante Melati e.eh maksudnya mama mertua, kan aku sudah jadi anak menantunya.
"Pulang tante, eh mama mertua." jawabku agak canggung karena tidak terbiasa.
"Kamu sama Lingga udah menikah masa masih tinggal dirumah orang tua kamu terus, jadi kamu sama Lingga pulang kerumah Lingga aja ya lagian dirumah juga lagi kosong." mama Melati menoleh kearah Lingga.
"Kamu pulang sana sama istri kamu, biar mama yang jaga papa disini."
Lingga hanya mengangguk tanpa menolak, lalu berjalan lebih dulu sedangkan aku harus sedikit berlari untuk mengejar langkah Lingga.
Suami macam apa itu yang membiarkan istrinya pontang panting mengejar langkah kakinya yang lebar.
"Kamu suka kan?" ujar Lingga ketus.
"Kalau kamu gak mau kenapa tadi gak ditolak sekarang udah jadi kayak gini kamu mau batalin?" kataku balik.
Lingga menyodorkan helm secara paksa, aku memanyunkan bibir lalu melepaskan mahkota kecil yang aku pakai sebelum memakai helm dan naik ke boncengan Lingga
Rasanya ada yang aneh berboncngan seperti ini, apa itu karena Lingga udah jadi suamiku?.
Wait suami! Aku baru teringat akan satu hal mengenai apa yang akan dilakukan pasangan pengantin baru dimalam pertama.
Lingga tidak mungkin akan meminta itu sekarang kan?.
____
Kami tiba dirumah Lingga dan ini untuk pertama kalinya aku akan tinggal dirumah musuhku.
"Aku pulang aja ya lagian aku gak punya baju ganti disini." aku berbalik untuk pulang kerumahku sendiri yang tidak begitu jauh, mungkin sekitar lima ratus meter.
Tapi Lingga tiba-tiba megang tanganku menarik masuk kedalam rumahnya, aku takut jika Lingga benar-benar akan meminta jatah sebagai suami, aku belum siap.
"Mama kamu udah siapin barang-barangmu disini." Lingga menunjuk koper di dekat tangga.
Barang milikku? Aku langsung berlari membuka isi koper tersebut dan benar semua adalah barang milikku jadi apa ini artinya aku telah di usir dari rumah kedua orang tuaku oleh orang tuaku sendiri.
Rasanya sedih tapi air mataku tidak mau mentes alhasil aku menutup koper itu dan membawanya menaiki tangga.
"Lingga bantuin dong berat nih!"
Cowok itu berbalik berdecak lidah lalu turun lagi dan mengambil koper di tanganku membantu untuk membawa nya naik. Aku pikir Lingga akan membiarkanku membawa koper itu naik sendirian.
Di lantai dua ada dua ruangan, yang satu adalah kamar Lingga dan yang satu ruang kosong hanya ada sebuah lemari disana.
"Aku nanti tidur dimana?" tanyaku.
"Disini." Lingga menunjuk pintu kamarnya, aku langsung mundur.
"Itu kan kamarmu masa kita tidur satu kamar."
Lingga malah berjalan mendekat, aku menyilangkan tangan di depan sambil bergerak mundur sampai mentok di dinding. Lingga menepuk dinding sebelah kepalaku dan wajahnya semakin dekat lengkap dengan senyum iblisnya.
"Kenapa harus pisah ranjang bukannya kita sudah resmi menikah di mata agama?" ucapnya.
Jantungku, ku peringatkan padamu untuk tetap tenang karena Lingga pasti hanya sedang bercanda bukan berniat melecehkanku.
Hembusan nafas Lingga terasa menyapu wajahku aku langsung memalingkan wajah.
"Aku gak mau, meskipun kita udah nikah aku gak mau seranjang sama kamu." kataku.
Ya jelas saja aku menolak, bayangkan saja bagaimana bisa dua orang yang tidak pernah akur tiba-tiba menikah dan tidur satu tempat tidur, yang ada aku tidak bisa tidur.
Lingga bergerak mundur, "Bagus deh kalau kamu gak mau nanti kamu tidur di bawah aja pakai tikar." kemudian cowok itu melepaskan jas nya dan masuk ke kamar.
Aku belum pernah sekalipun masuk ke kamar Lingga dan ini kali pertama aku melihat kamar cowok itu. Di balik wajah dinginnya ternyata kamar itu juga sedingin yang punya.
Kamar Lingga sangat rapih, buku pelajaran tertata sesuai ukuran.
Aku menoleh kearah Lingga yang entah sejak kapan cowok itu sudah melepaskan bajunya.
"Aaa... Jangan dibuka disini dong!" spontan aku berbalik menutup wajahku dengan telapak tangan.
Lingga menatapku dengan kedua alis saling tertaut, "Ini kamarku kenapa aku gak boleh lepas baju di sini, lagian mau mandi kok pakai baju."
Mendengar itu wajahku langsung menghangat, dasar Lingga sialan membuat pikiranku berkelana kemana mana.
Aku keluar dari kamar tadi menghampiri koperku dan mengeluarkan beberapa helai pakaian.
Aku benar-benar di usir dari rumah yang menyaksikan aku dari kecil sampai sekarang, aku bahkan belum sempat mengucapkan selamat tinggal untuk kamar tercintaku.
"Aku mesti gimana sekarang?"
"Ya gak gimana-gimana," sahut Lingga dari belakangku, "Kalau kamu bisa tutup mulut gak ada yang tau kalau kita sudah menikah." lanjutnya.
Aku berbalik. "Kamu kenapa masih belum pake baju sih!" seruku.
"Suka-suka aku dong, rumah juga rumahku kenapa kamu yang sewot." jawabnya yang terdengar sangat menyebalkan.
"Ya udah terserah sekarang bilang kamar mandinya yang mana aku juga mau mandi."
Lingga malah tersenyum miring, "Mandi?" katanya, aku mengangguk lalu Lingga melanjutkan, "Kebetulan aku juga mau mandi, gimana kalau mandi bareng?"
Sontak saja aku langsung menginjak kaki Lingga dengan sekuat tenaga sampai cowok itu mengaduh kesakitan.
"Cuman ada dalam mimpimu!"
Brakk...
Segera aku menutup pintu kamar cowok itu dari dalam karena jika tidak salah tadi aku melihat kamar mandinya ada di dalam kamar.
"Dewi, bukain!"
"Nanti kalau aku udah mandi!" jawabku kesal setengah mati.
_____
Bersambung...