Pertemuan

1373 Kata
“Max, gue mohon jangan bawa gue ke polisi. Gue gak mau di penjara. Gue minta maaf kalau tadi sempat cium punya lo. Gue juga minta maaf kalau pancake keasinan, tapi please jangan bawa gue ke kantor polisi. Gue mau bertemu seseorang, gue juga masih pengen jalan-jalan. Max….” Pria itu hanya diam menatap Kanaya dengan alis tertekuk. Max menggeleng pelan membuat mata Kanaya berair. Max melipat tangannya di depan d**a menikmati drama yang disuguhkan Kanaya. “Kamu sepertinya butuh dokter. Kita ke kantor polisi untuk melaporkan tas kamu yang hilang. Saya tidak mau kamu menginap lagi di rumah ini. Baru sehari kamu di sini sudah membuat saya gila,” kata Max membuat Kanaya mengerjapkan matanya berkali-kali. Kanaya segera berdiri membersihkan celananya setelah bersimpuh tadi. Ia menatap Max sembari mengusap air matanya. “Saya tunggu di mobil.” Max pun pergi meninggalkan Kanaya yang masih diam di tempat.  “Gue nggak punya muka lagi di depan dia,” gumam Kanaya lalu menyusul Max. Ingin rasanya Kanaya menghilang saat ini juga dari hadapan Max. *** Radit coba menghubungi Kanaya beberapa kali, tapi hasilnya selalu sama. Ponselnya tidak aktif. Radit semakin khawatir mengingat saat mereka liburan ke Bali Kanaya sempat kesasar. Pikiran Radit semakin kacau, terlebih sejak semalam pesannya tak dibaca. “Kanaya lo di mana?” gumam Radit gusar. Mirna yang melihat anaknya gelisah mulai tidak tahan. Ia menghapiri Radit. “Kamu kenapa Dit? Pagi tadi kamu sakit dan sekarang kamu gelisah begini, apa ada masalah di kantor?” tanya Mirna. Radit menatapya sejenak sebelum menundukkan kepalanya. “Ini masalah Kanaya, Ma, dia belum baca pesan aku, terus ponselnya nggak aktif. Aku takut kalau dia nyasar atau terjadi sesuatu padanya, Ma. Aku sangat khawatir.” Mirna mengusap lengan Radit agar ia lebih tenang. “Mama tahu bagaimana perasaan kamu. Kanaya pasti baik-baik saja, kalau ada apa-apa dia pasti menghubungi kamu.” Sepertinya kata-kata tidak akan mempan pada Radit sebelum ia melihat  Kanaya dengan mata kepalanya sendiri. “Ma, aku harus cari Kanaya.” “Ke mana kamu akan mencarinya” “Ke mana pun. Aku tidak bisa diam saja. Jika Kanaya datang ke sini tolong tahan dia dan beritahu aku.”  Radit bergegas pergi mengambil jaket dan ponselnya.  Ia harus cepat sebelum terjadi sesuatu pada Kanaya. Bila perlu dia akan sewa polisi untuk mencari keberadaan gadis itu. Walau Radit tahu Kanaya bisa bela diri, tapi perempuan tetaplah perempuan yang merupakan makhluk lemah yang harus dilindungi oleh lelaki. “Kanaya, please angkat telepon gue. Jangan buat gue khawatir,” batin Radit sembari masuk ke dalam taksi. Ia tidak pernah berhenti menghubungi kekasihnya. *** Kanaya terus mencium tasnya yang telah kembali ke dalam pelukan. Berkat bantuan Max akhirnya ia bisa menemukan tas yang berisi ponsel dan barang berharga lainnya. Polisi bilang kalau kemarin sore ada seorang sopir taksi menyerahkan tas itu. Beruntungnya Kanaya tidak kehilangan satu pun barang berharganya. Ponsel Kanya kehabisan daya, selama menunggu Max yang sedang berbincang dengan seorang kawan lama di kepolisian, Kanaya memutuskan untuk menunggu di luar sembari mengisi daya. Tidak perlu ditanyakan lagi berapa puluh pesan yang masuk ke ponselnya. Sebagian besar berasal dari Stefan dan Radit. Kanaya sampai tidak berani membuka pesan dari kakaknya. (Gue ada di kantor polisi) Tulis Kanaya pada pesan yang dikirim ke Radit. Pria itu sudah tahu kalau Kanaya ada di Singapura. Gagal sudah ia memberikan kejutan pada Radit, seharusnya kemarin moment indah itu terjadi saat di mana Radit terkejut melihat Kanaya berada di tempat kerjanya. Selang beberapa saat ponsel Kanaya berbunyi. Radit menghubunginya. “Halo.” “Lo jangan ke mana-mana, gue akan jemput lo di kantor polisi,” ucap Radit. Kanaya tersenyum mendengar nada khawatir Radit. Ia yakin kalau Radit sedang uring-uringan sama seperti dulu saat Kanaya kesasar. “Gue tunggu.” Sambungan terputus. Max keluar menghampiri Kanaya. Segera gadis itu mencabut charger-nya dan memasukkan ke dalam tas. “Terima kasih atas bantuan lo. Gue janji gak akan ganggu lo lagi. Sebagai tanda terima kasih, gue punya sesuatu buat lo.” Kanaya mencari sesuatu dalam tasnya. Ia tersenyum senang saat menemukan benda yang ia cari masih tersimpan dalam tas. “Ini gelang keberuntungan. Gue belinya di Bali,” kata Kanaya sembari memasangkan gelang warna-warni ke tangan Max. Pria itu terdiam melihat gelang pemberian Kanaya. “Harganya memang tidak seberapa, tapi gue sangat yakin gelang ini membawa keberuntungan,” kata Kanaya. Max tidak peduli dengan keyakinan yang Kanaya maksud, yang jelas keberuntungannya hari ini adalah bisa lepas dari Kanaya dan hidup normal kembali tanpa ada orang yang meraba-raba dadanya saat bangun tidur. “Sepertinya kita akan berpisah di sini.” Kanaya mengangguk setuju. Sebentar lagi Radit akan datang, ia tidak mau Radit salah paham kalau Max masih di sini. “Sekali lagi terima kasih dan maaf sudah merepotkan.” “Sama-sama. Saya harus pergi.” Kanaya melambaikan tangannya. Max segera masuk ke mobil, tepat saat itu Radit pun tiba. Kanaya berlari menghampiri Radit lalu memeluknya. Ada rasa lega ketika Radit melihat Kanaya baik-baik saja. “Lo berhutang banyak sama gue,” bisik Radit ditelinga Kanaya. “Iya, Sayang,” jawab Kanaya dengan wajah memerah. Ini pertama kalinya Kanaya memanggil Radit dengan panggilan sayang. Rasa hangat menjalari hati masing-masing. Radit melepas pelukannya lalu menangkup kedua sisi wajah Kanaya. Wanita yang ia rindukan dan juga wanita yang ingin ia hindari. “Jangan buat gue khawatir lagi,” kata Radit hampir manangis. Kanaya kembali memeluk Radit. Ia tidak bermaksud membuat pacarnya bersedih. Max yang melihat drama sepasang kekasih melepas rindu pun hanya bisa terdiam. Ia menatap gelang pemberian Kanaya. “Apa ini bagian dari sebuah keberuntungan?” gumam Max. Tatapannya tidak pernah lepas dari Kanaya dan Radit. “Tolong bawa saya ke tempat syuting,” ucapnya pada sopir. *** Tidak ada hari yang lebih bahagia dari hari ini. Radit menemani Kanaya jalan-jalan seharian. Banyak foto yang mereka ambil untuk kenang-kenangan. Kanaya ingin jika mereka menikah nanti foto ini akan menjadi sejarah perjalanan cinta mereka berdua. “Nanti anak-anak kita bisa tahu bagaimana perjuangan cinta mama sama papanya,” kata Kanaya membuat senyum Radit menghilang. Perasaannya semakin kacau ketika melihat senyum tulus Kanaya. Mata Radit memerah, ia ingin menangis dan meminta maaf pada kekasihnya. Ia ingin Kanaya memukulnya bila perlu. Kanaya menghentikan langkahnya saat menyadari Radit tertinggal jauh di belakang. Ia berlari lalu memeluk Radit erat. Radit terdiam, rasa bersalahnya semakin besar. Pelukan hangat Kanaya membuat ia sadar betapa besar cinta gadis itu padanya. “Dit, lo kenapa? Kok nangis?” Radit mengusap air matanya. Ia tersenyum lalu mencium kening Kanaya. Ai matanya kembali tumpah, rasa sesak atas kesalahannya membuat Radit sulit bernapas. Wajah Kanaya selalu membayangi setiap malam. Radit teringat bagaimana dulu ia diam-diam mencintai Kanaya. Gadis itu mengisi ruang di hatinya. Namun, dengan teganya ia menghianati cinta tulus Kanaya. “Lo tahu, gue bahagia bisa ketemu sama lo. Gue janji akan membahagiakan lo semampu gue.” Kanaya mengangguk lalu menghapus air mata Radit. “Lo tahu Dit, gue bersyukur Tuhan mempertemukan gue dengan pria sebaik lo.” Radit menggenggam kedua tangan Kanaya lalu menciumnya bergantian. Ia bahkan tidak snaggup untuk bicara pada gadis itu. “Lo harus cerita kenapa bisa ada di Singapura,” kata Radit membuat Kanaya mengangguk. “Tapi kita makan dulu, ya.” “Oke.” Radit menggandeng tangan Kanaya untuk mencari tempat maka terdekat. Kanaya begitu senang bisa menggandeng tangan Radit. Kekasihnya tidak berubah sama sekali. Perhatian Radit masih sama seperti dulu dan itu membuat Kanaya semakin mencintainya. *** “Apa? Kak Stefan minta gue hadir di pernikahannya?” Kanaya mengangguk setelah menceritakan maksud dan tujuannya datang menemui Radit di Singapura. Wajah Radit terlihat pucat. Bukan masalah baginya menghadiri pesta pernikahan. Yang jadi masalah adalah perasaannya pada Kanaya. Kalau Stefan tahu apa yang sudah ia lakukan pada Kanaya maka habislah riwayatnya. “Kenapa muka lo pucat?” Radit segera menggeleng. Ia tersenyum tipis lalu melanjutkan menyantap makanan. Tanpa Kanaya dan Radit sadari seorang wanita tengah menghampiri meja mereka. Kedatangan Bianca membuat Radit semakin tertekan. “Bianca,” gumam Radit. Gadis itu terlihat marah melihat Radit bersama Kanaya. Radit segera berdiri membuat Kanaya bingung apa yang terjadi pada mereka berdua. Ingatan Kanaya kembali berputar pada pertemuan pertamanya dengan Radit di restaurant. Ia melihat Bianca bersamanya. “Dit, siapa dia?” tanya Kanaya. Radit tidak menjawab. Pria itu menatap lekat pada sosok cantik Bianca. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN