Max Miller

2119 Kata
Memikirkan bagaimana reaksi Radit membuat Kanaya bahagia. Kanaya mulai menghayal saat bertemu Radit mereka akan berpelukan, jalan bareng dan diakhiri makan malam romantis. Membayangkan saja sudah membuat Kanaya melayang. Mirna melirik Kanaya yang sedang asyik dengan pikirannya. Senyum-senyum sendiri seperti orang kurang waras. Ia menggeleng melihat reaksi Kanaya setelah ia menjanjikan alamat kantor Radit. Cinta memang berjuta rasa. *** Radit merapikan meja kerjanya sesegera mungkin. Ia benar-benar lelah. Semalam ia tidak bisa tidur karena memikirkan Kanaya. Banyak pekerjaan yang belum selesai, mungkin hari ini dia akan lembur. Fokusnya sedikit terganggu pagi ini, barangkali benar yang mamanya katakan kalau ia hanya merindukan kekasihnya sampai-sampai bayangan Kanaya selalu muncul dalam pikiran Terlebih dia mulai berhalusinasi kalau Kanaya ada di Singapura. “Gue bisa gila kalau lama-lama seperti ini,” gumamnya lalu duduk di kursi untuk menenangkan pikiran. Beberapa rekan kerja mulai berpamitan. Tinggal dirinyalah yang berada di ruangan. Pintu ruang kerjanya diketuk. Radit mendapati Bianca berdiri di ambang pintu. Gadis cantik itu berjalan anggun mendekati Radit yang terpaku. Jujur saja, Bianca sangat cantik di mata Radit dibandingkan dengan Kanaya. Namun, entah kenapa Radit tidak bisa melepaskan Kanaya walau ia tahu mungkin saat ini hatinya sudah berpaling. “Kamu tidak pulang?” Bianca bersandar pada meja kerja Radit. Kedua tangannya terlipat, matanya menatap Radit dalam. “Tentu, tapi aku masih ada sedikit pekerjaan. Kamu pulang duluan saja.” Radit ingin beranjak, tapi Bianca dengan cepat menarik tangan pira itu hingga terduduk kembali. “Kamu menghindari aku? Kenapa sikapmu tiba-tiba berubah sejak kemarin?” tanya Bianca membuat Radit terdiam. Tidak mungkin ia menceritakan tentang Kanaya. Radit tidak mau Kanaya terlibat dalam hubungan rumit ini. Biarlah Kanaya tidak tahu apa pun tentang dirinya dan Bianca. Setelah semua ini selesai Radit sendiri yang akan pulang ke Indonesia menemui Kanaya. “Kenapa kau berpikir seperti itu?” Radit meraih tangan Bianca, menggenggamnya erat lalu mencium punggung tangan gadis itu. “Kau berubah. Kau sering menghindar sejak pagi tadi. Aku sangat khawatir.” Radit berdiri, menarik Bianca dalam pelukannya. Ia sendiri tidak mengerti bagaimana cara bersikap pada Bianca. Ia terlalu takut melukai hati dua wanita yang berarti dalam hidupnya. Bianca membalas pelukan Radit lalu mendongkak kepalanya agar melihat wajah tampan pria itu. “Aku mau makan malam sama kamu,” kata Bianca membuat Radit tersenyum. “Tentu, aku akan bersiap sekarang.” Mereka melepas pelukan. Bianca menunggu Radit di luar ruangan sementara pria itu membereskan mejanya dari kertas dan dokumen. Bekerja sebagai administrasi di sebuah perusahaan hospitality. “Mungkin gue butuh hiburan,” kata Radit lalu menghembuskan napas panjang. *** Kanaya berdiri di depan sebuah gedung tinggi. Lebih tepatnya di sebuah hotel berbintang. Inikah tempat kerja Radit di Singapura? Kanaya tidak berhenti berdecak kagum melihat hotel mewah itu. Menurut informasi yang Kanaya dapatkan dari Mirna bahwa Radit bekerja di office hotel ini. Sesekali Kanaya melihat jam digital yang ada di ponselnya.  Seharusnya para karyawan kantor sudah pulang, tapi Kanaya belum melihat Radit keluar. Kanaya menunggu di luar, enggan masuk hotel mewah karena takut. Bagaimana kalau dia dituduh seorang penjahat karena terlihat mencurigakan? Nasihat Santi masih begitu melekat dalam pikiran Kanaya. Singapura negara yang ketat, jadi jangan sampai ia berurusan dengan polisi hanya karena masuk ke hotel sembarangan. Kanaya sangat takut. Beberapa menit sudah terlewati, tapi Radit tak kunjung muncul. Saat Kanaya berjongkok tanpa sengaja ia melihat gadis yang semalam bersama Radit masuk ke dalam mobil hitam. Kanaya berdiri berusaha melihat siapa pria yang ada di mobil itu.Ia tertegun saat melihat Radit berada di belakang kemudi. “Radit!” teriaknya membuat semua mata menatap. Tidak peduli dengan tatapan aneh orang di sekitar Kanaya justru semakin lantang meneriaki nama Radit. Kanaya berlari berusaha mengejar mobil itu, tapi ia tidak sanggup menyusulnya. Dengan nekad gadis itu menghentikan sebuah taksi di tengah jalan. Tanpa pikir panjang Kanaya masuk ke dalam taksi. Ia melepas tas selempangnya, menyimpan benda berharga itu di samping tempat duduk. Tatapan Kanaya lurus ke depan. “Please… please… follow the car,” ucapnya pada sopir taksi bule sambil menunjuk mobil hitam yang lumayan jauh di depan. Kanaya panik tak mengerti apa yang dikatakan sopir bule itu. “Ya, ampun Mas, jangan banyak ngomong, dong. Mobilnya sudah keburu jauh tuh,” ucap Kanaya frustrasi. Terlebih taksi berbelok ke arah yang berlawanan dengan mobil Radit. “Lah, mau ke mana, Mas? Mau culik saya, ya? Percuma mas, saya nggak punya apa-apa,” ucap Kanaya membuat sopir itu menggeleng. Tiba-tiba ada seseorang menepuk pundak Kanaya. Ia menoleh. Ternyata ada seorang pria yang duduk di sampingnya. Alias ada penumpang lain di dalam mobil. Sebuah kebetulan yang tak terduga terjadi. “Max?” ujar Kanaya tidak percaya. Pria itu menurunkan kaca mata hitamnya. Wajah tampan Max terlihat nyata di depan Kanaya. Sungguh, ia tidak menyangka bisa bertemu Max di Singapura. Apa ini adalah rencana Tuhan? “Apa kamu bisa diam? Telinga saya sakit dengar suara kamu,” ucapnya membuat Kanaya cemberut. “Max, please katakan pada Mas sopir ini untuk putar balik. Ini penting,” desak Kanaya. Max mengangkat bahunya sebagai tanda enggan menuruti permintaan Kanaya. “Max, tolong sekali saja.” “Tidak. Kenapa tidak cari taksi yang lain saja?” “Tidak sempat. Max, tolong.” Kanaya merajuk sementara Max tetap menolak. Perdebatan terjadi antar kanaya dan Max membuat sopir bule itu menepikan taksinya. Entah apa yang Max dan sopir itu katakan yang jelas perasaan Kanaya tidak baik. Pria bule itu membuka pintu mobil lalu meminta Kanaya dan Max untuk keluar. “Gak mau. Cari si Radit dulu,” ucap Kanaya membuat sopir taksi itu menarik tangannya agar keluar. Max yang melihat Kanaya memohon pada pria bule itu hanya terdiam. Ia tidak pernah menyangka akan bertemu Kanaya di Singapura. Dunia sangat sempit, pikir Max. “Gara-gara lo sopir taksinya marah,” ujar Kanaya membuat Max menatapnya tajam. “Justru karena kamu kita ditendang keluar.” “Kenapa gue? Harusnya lo mengalah sama cewek pasti kejadiannya tidak seperti ini.” “Oh, jadi kamu suruh saya mengalah? Siapa yang lebih dahulu ada di taksi? Kamu apa saya?” Kanaya terdiam. Ia mengaku salah untuk hal itu, tapi tetap saja pria harus mengalah pada perempuan. Kalau saja Max mau mengikuti keinginan Kanaya mungkin hal ini tidak akan terjadi. “Tunggu. Tas gue di mana?” Kanaya tersentak sambil mengingat di mana ia meletakkan tasnya. Max terdiam menatap Kanaya yang panik. Pria itu penasaran apa yang akan dilakukan Kanaya selanjutnya. Gadis ini penuh kejutan yang tak terduga. Seperti misteri box. “Tas gue masih di dalam taksi.” Kanaya memekik. “Mas, balikin tas gue. Balikin tas gue,” teriak Kanaya. Max menggelengkan kepalanya melihat Kanaya yang mulai belingsatan dan mungkin sebentar lagi menangis. Wanita memang cengeng, batin Max. Dilihatnya rolex yang melingkar di pergelangan tangan. Max mendesah panjang. Ia sudah terlambat cukup lama dan itu karena Kanaya. Gadis yang tiba-tiba menyabotase taksinya lalu mereka bertengkar dan akhirnya dikeluarkan dari taksi. “Max,” panggil Kanaya dengan mata berkaca-kaca. Max memejamkan matanya enggan menatap Kanaya. Ia tidak mau luluh dengan rayuan gadis itu. Jangan sampai Kanaya tahu kalau ia tidak bisa melihat wanita menangis. “Max, bantuin.” Kanaya terus mengguncang lengan Max sampai pria itu menyerah lalu membuka matanya. “Apa lagi? Kamu tidak puas membuat saya terlambat bekerja? Jangan merengek seperti anak kecil,” kata Max membuat Kanaya menangis. Ini pertama kalinya ada orang yang membentak. Seumur hidup keluarganya belum pernah bicara dengan nada tinggi padanya. Max yang melihat Kanaya menangis sesenggukan mulai salah tingkah. Beberapa orang kini menatap mereka berdua. Max mengacak rambutnya frustrasi. “Baiklah, saya akan membantu kamu, jadi tolong berhenti menangis. Kamu membuat orang-orang menatap kita.” Kanaya mengusap air matanya. “Lo bilang nggak boleh merengek, ya, sudah gue nangis.” Max menundukkan kepalanya dalam-dalam. Andai dulu ia tidak mengenal Kanaya, mungkin hari ini akan menjadi lebih baik. Max merogoh saku dalam jasnya. Ia menghubungi seseorang untuk menjemput. Kanaya yang sudah berhenti menangis hanya diam menatap Max yang sedang menelepon. “Di mana hotel kamu?” tanya Max setelah memasukkan ponselnya ke saku dalam. “Lupa, gue nggak ingat alamatnya.” “Nama hotelnya?” Kanaya terdiam. Bola matanya bergerak ke atas mengingat nama hotel tempat menginap.Tidak butuh waktu lama ia tersenyum menatap Max. “Lupa juga.” Max menghembuskan napas panjangnya. Ia merasakan firasat buruk. “Nanti juga ingat. Gue yakin bisa mengingatnya.” Mobil putih berhenti di samping mereka. Seorang pria bule bertubuh tinggi menghampiri. Ia bicara dengan Max sementara Kanaya hanya diam di belakang pria itu. Max membuka pintu belakang mempersilakan Kanaya masuk. Sebuah keberuntungan bagi Kanaya karena ia tidak perlu repot-repot menyewa taksi. Tiba-tiba ia teringat tasnya. Sayangnya ponsel, uang dan kartu berharga seperti guest card tersimpan di sana. Tanpa guest card Kanaya tidak yakin bisa kembali ke kamarnya, karena hotel tempatnya menginap masih menggunakan kunci manual. Maklum, hotel kecil. “Kamu mau ke mana, biar saya antar.” Kanaya bingung harus bicara apa. “Gue boleh numpang di tempat lo nggak? Nanti gue akan pergi setelah ingat nama hotelnya.” Max menatap Kanaya sejenak lalu mengangguk. Kanaya cukup terkejut melihat reaksi Max. Berbeda sekali dengan beberapa saat lalu Max menolak kehadiran Kanaya. Selama perjalanan Max dan Kanaya lebih banyak diam. Kanaya yang tidak enak hati merepotkan memilih membisu, sementara Max yang memang tidak ingin dekat dengan Kanaya pun bungkam. Kanaya menatap takjub sebuah gedung yang menjulang di depannya. Apa ini rumah Max? Indah dan mewah seperti hotel. Max segera turun dari mobil sementara Kanaya masih sibuk menatap kagum rumah yang ada depannya. “Kamu mau di mobil seharian?” tanya Max. Kanaya tersadar lalu keluar dari mobil mengikuti Max masuk. Rumah besar itu sangat sepi membuat Kanaya berpikir kalau Max hidup sendiri. Apa mungkin dia tidak memiliki saudara atau orang tua? Pikiran itu terlintas saat Kanaya tidak melihat foto keluarga di dinding. Hanya ada foto Max sedang berpose tanpa atasan. Perutnya kotak-kotaknya terpahat sempurna ditambah wajah tampan yang ngeselin adalah perpaduan yang indah di mata Kanaya. “Aduh!” Kanaya memundurkan langkahnya saat menabrak tubuh tegap Max. Pria itu menatapnya tajam membuat Kanaya memalingkan wajahnya. “Kenapa lihat-lihat. Gue emang cantik,” ujar Kanaya membuat Max tertawa kecil. “Kalau kamu butuh kaca, di kamar saya ada kaca besar yang bisa dipakai,” kata Max sedikit menyindir. Kanaya yang kesal mencoba untuk tidak terpancing. “Di mana kamar lo, gue mau ngaca,” balas Kanaya. Max menunjuk sebuah kamar membuat Kanaya berlari ke ruangan itu. Ia tersenyum miring melihat isi kamar mewah yang pintunya sedikit terbuka. Kanaya menoleh ke belakang melihat Max berjalan santai mendekatinya. “Ini pembalasan gue,” gumam Kanaya. Ia langsung masuk ke kamar, naik ke kasur lalu meloncat-loncat di atasnya. “Wowwowow,"  teriak Kanaya kencang. Max berlari masuk. Kanaya memang menyebalkan. Max sangat marah saat Kanaya naik ke tempat tidurnya dan meloncat-loncat. “Hai, apa yang kamu lakukan? Cepat turun!” Kanaya tidak menghiraukan ucapan Max, ia tetap meloncat di atas kasur. Tujuannya saat ini adalah menguji ketahanan kasur mewah itu. Kanaya sangat kesal saat Max menyindirnya tidak menarik. Kanaya akui ia bukan orang yang masuk kategori good looking. Dasar nyebelin, batin Kanaya. Max yang terganggu dengan suara Kanaya kemudian ikut naik ke tempat tidur. Ia berhasil membuat Kanaya tumbang. “Lepaskan!” Kanaya memberontak saat kakinya dibelit dengan kaki Max. Belum lagi kedua tangannya di tahan di atas kepalanya dan Max menindih tubuh Kanaya. Jika ada orang yang melihat mereka mungkin akan mengira Max sedang memaksa Kanaya untuk berhubungan. “Aku nggak akan lepaskan kalau kamu belum janji tidak akan mengulangi,” kata Max tegas. Kanaya memalingkan wajahnya. “Iya, janji.” Baru saja Max melepas tangan Kanaya, gadis itu kembali membuat ulah. Kanaya bernyanyi tidak jelas dengan suara lantang. Max dengan cepat membekap mulutnya dengan tangan. Kanaya sepertinya tidak akan menyerah untuk membuatnya kesal. Mereka baru bertemu beberapa menit, tapi sudah melancarkan perang. “Kau…” Max sangat geram sementara Kanaya hanya mampu mengedipkan matanya. “Excuse me, Sir….” Ucapan seorang pria berjas abu itu terhenti saat melihat Max dan Kanaya di atas tempat tidur. Pria itu sepertinya syok, terbukti ia cukup lama terdiam. “I’m sorry, Sir.” Pria itu langsung pergi setelah meminta maaf. Max mengalihkan tatapannya kembali pada Kanaya. Ia baru menyadari bahwa tangannya masih membekap mulut Kanaya dan mengunci kedua tangan gadis itu. Max segera bangkit dari atas tubuh Kanaya. Tanpa mengucapkan sepatah kata ia pergi begitu saja sembari menutup pintu kamar. Kanaya merapikan rambutnya yang berantakan. Jantungnya berdebar kencang. Ini pengalaman pertamanya sedekat itu dengan pria. Meski ia sudah pernah berciuman, tetap saja ia merasa aneh ketika seorang pria menyentuhnya. “Kamar cowok, tapi rapi banget.” Kanaya kembali merebahkan tubuhnya di kasur. Mungkin terlalu lelah atau karena kasur itu sangat nyaman membuat Kanaya langsung terlelap. Ia bahkan tidak peduli kalau pemilik kamar akan marah. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN