Pagi ini Kanaya sudah bersiap. Mama dan Santi tidak hentinya menangis saat Kanaya menyeret koper dan memasukkannya ke bagasi. Belum juga ia masuk pesawat, tapi dua wanita itu sudah menangis duluan.
“Lebay banget,” gumam Kanaya.
“Nat, lo harus telepon gue kalau sudah sampai di hotel. Lo juga harus kasih tahu gue ke mana lo pergi. Jangan sampai lo nyasar,” kata Stefan membuat Kanaya memutar bola matanya. Sudah berkali-kali ia mendengar peringatan Stefan pagi ini.
“Iya, Kak, gue tahu. Nggak perlu diulang lagi. Gue paham,” jawab Kanaya berulang kali. Mereka berlima masuk ke dalam mobil. Sialnya, Kanaya harus duduk berhimpitan dengan Santi dan mamanya. Belum lagi kedua wanita itu masih menangis sesenggukan. Kanaya sampai menutup kedua telinganya pakai kapas.
Sampai di bandara, Santi dan mamanya kompak memegang koper Kanaya. Saat ia akan menariknya, mereka berdua justru menahannya. Panggilan kedua terdengar kembali membuat Kanaya takut ketinggalan pesawat.
“Kalian lepasin dong kopernya. Bisa ditinggal pesawat, nih,” kata Kanaya. Dengan berat hati mereka berdua melepaskan koper Kanaya sehingga ia bisa menariknya.
“Gue pergi dulu, mama sama papa nggak perlu khawatir. Kakak juga nggak perlu nelpon gue setiap jam dan lo Santi berhenti menangis. Gue akan pulang segera.”
Keempat orang itu kompak mengangguk. Kanaya jadi bingung apa yang sebenarnya terjadi pada keluarganya dan Santi. Biasanya mereka cuek. Perasaannya jadi tidak enak. Kanaya memeluk mereka satu per satu sebelum melambaikan tangan tanda perpisahan.
“Nat, cepat pulang,” teriak Santi membuat Kanaya malu. Kanaya mempercepat langkah kakinya agar keluarganya dan Santi tidak mengatakan hal aneh lagi. Sejak duduk di pesawat hingga akhirnya sampai di Singapura tidak sedikit pun Kanaya memejamkan matanya. Ia terlihat menikmati perjalanan pertamanya sendiri.
Tidak sabar rasanya bertemu Radit. Pagi tadi ia mengirim pesan pada Radit, tapi pria itu belum membalasnya. Kanaya ingin memberi kejutan pada sang kekasih. Membayangkan bagaimana ekspresi gembira Radit nanti membuat Kanaya semakin bahagia.
“Dit, sebentar lagi kita akan bertemu. Lo tunggu gue, ya.”
Kanaya merogoh saku celananya mengambil secarik kertas berisi alamat apartemen Radit. Kanaya memeluk kertas itu erat seakan itu adalah benda paling berharga di muka bumi.
Taksi yang Kanaya tumpangi membawa gadis itu ke sebuah hotel kecil yang akan ia tinggali selama satu minggu. Kanaya menyeret kopernya setelah melakukan registrasi di receptionist. Sampai di kamar Kanaya menjatuhkan tubuhnya ke kasur.
“Ah, rasanya sangat melelahkan. Akhirnya gue bisa lepas dari Kak Stefan.” Kanaya berguling ke samping hingga telungkup di atas kasur. Ia lupa mengaktifkan ponselnya lagi setelah sampai di Singapura.
Baru saja ponselnya aktif, puluhan pesan masuk menghujani tanpa henti. Semua pesan itu dari Stefan yang menanyakan apakah Kanaya sudah sampai di Singapura atau belum. Kanaya sampai bingung ingin membalas yang mana. Setelah menjawab pesan dari Stefan, Kanaya memutuskan untuk membersihkan diri. Ia memilih untuk istirahat di hotel dan mulai mencari tempat tinggal Radit besok.
***
Stefan terlihat gelisah di kamarnya. Beberapa kali ia menghubungi Kanaya, tapi tak kunjung dapat balasan. Ia benar-benar khawatir dengan adiknya.
“Stefan,” panggil Shita dari ambang pintu. Melihat anak lelaki satu-satunya gelisah membuat Shita mendekat, menenangkan Stefan.
“Kanaya belum ada kabar, Ma,” ujar Stean sebelum Shita bicara.
“Kamu harus sabar, mungkin saja dia kelelahan dan tertidur. Tahu sendiri jika Kanaya bertemu kasur lengketnya bukan main. Kamu jangan khawatir berlebih.”
Stefan berjalan ke jendela menatap pemandangan luar. Harinya tanpa Kanaya terasa hampa. Terlebih tidak ada orang yang bisa dijahili. Sungguh, Stefan merasa bosan.
“Stefan, lebih baik kamu jalan-jalan sama Silvi biar pikiran kamu lebih tenang.”
Stefan menatap mamanya lalu mengangguk. Ada beberapa hal yang ia harus diskusikan dengan Silvi mengenai pernikahan mereka.
“Iya, Ma. Aku siap-siap dulu.”
Setelah kepergian Shita dari kamarnya, Stefan bergegas mengambil handuk. Ponselnya yang ada di atas tempat tidur bergetar membuat Stefan dengan cepat menyambar benda persegi pajang itu.
Ia tersenyum setelah mendapat balasan pesan dari Kanaya. “Anak itu benar-benar bikin khawatir.” Stefan kembali meletakkan ponselnya di atas tempat tidur lalu masuk ke kamar mandi.
***
Malam pertama Kanaya di Singapura. Ia sangat menikmati kesendiriannya. Sayangnya ia merasa ada yang kurang. Kurang pasangan. Kanaya meghembuskan napas panjang. Berada di negara orang ternyata tidak selamanya menyenangkan. Setiap orang yang ia temui sangat sibuk dengan urusan mereka. Saat Kanaya ingin bertanya letak supermarket tidak satu pun dari mereka yang bersedia menjawab. Mereka terlalu sibuk. Waktu sangat berharga bagi mereka. Setelah berjalan kaki beberapa meter akhirnya Kanaya bisa melihat restaurant kecil.
Seorang pelayan menghampirinya dan memberikan daftar menu. Kanaya hanya membolak-balik daftar makanan tanpa memilih satu diantaranya. Dia bingung karena harga makanan lebih mahal dari di Jakarta. Hanya sepotong ayam, sup dan nasi harganya bisa mencapi puluhan dollar.
“Kangen masakan padang yang nasinya banyak bikin kenyang harga murah,” gumam Kanaya.
Dengan berat hati, demi perut yang minta diisi akhirnya Kanaya memesan makanan paling murah. Masalah rasa urusan belakangan, yang ada di pikiran gadis itu adalah bagaimana cara agar perutnya tidak berbunyi lagi. Mungkin setelah ini ia akan membeli roti, selai dan beberapa cup mie instan untuk persediannya di hotel. Lumayan penghematan.
Benar kata Santi, dia bisa jadi gembel dadakan setelah pulang dari Singapura. Sembari menunggu pesanan, Kanaya kembali berbalas pesan dangan Radit. Pria itu bilang ada di luar sedang makan. Kanaya tersenyum lalu menyimpan kembali ponselnya.
Tepat saat pelayan datang menyajikan makanan untuknya dua pengunjung lain masuk. Pelayan itu menyapa dengan ramah membuat Kanaya mengalihkan tatapan ke pintu. Kanaya tertegun melihat Radit dan seorang wanita cantik masuk ke restaurant sambil berpegangan tangan. Cepat-cepat Kanaya menutup wajahnya dengan buku menu.
“Radit pergi sama cewek? Apa itu rekan kerjanya?”
Kanaya tidak ingin berburuk sangka. Radit yang ia kenal tidak mungkin berhianat. Meski beberapa bulan terakhir ini Radit sangat sibuk dan jarang membalas pesannya bukan berarti dia sedang berselingkuh.
Kanaya yang ingin membuat kejutan untuk Radit terus menutup wajahnya dengan buku menu. Dari sekian banyaknya restaurant di Singapura kenapa ia bisa bertemu Radit di sini?
Sesekali Kanaya mengintip Radit dan wanita itu. Mereka terlihat akrab terlebih Radit tertawa lepas ketika bicara. Tidak ada yang mencurigakan. Mereka makan dan sesekali berbincang layaknya teman.
“Radit bukan pria seperti itu, gue yakin dia pria baik yang bisa jaga perasaan gue.”
Kanaya terus bergumam menyemangati diri dan menenangkan hati yang mulai gelisah. Setelah makan, dua orang itu akhirnya pergi. Kanaya ingin menyusul mereka, tapi seorang pelayan mencegatnya. Hampir saja ia lupa membayar tagihan makanan.
Sayangnya saat Kanaya keluar Radit dan wanita itu sudah menghilang dari pandangan. Kanaya mendesah kesal. Ini kesempatannya untuk membuntuti Radit dan mencari tahu di mana apartemennya. Sayang sekali ia harus kehilangan jejak.
Kanaya memutuskan untuk kembali ke hotel. Sambil tiduran ia mulai membalas pesan yang dikirim Santi dan keluarganya. Tatapan Kanaya tertuju pada room chat Radit yang sengaja ia sematkan. Pesan itu belum dibaca sejak dua jam lalu.
(Lo di mana Dit?)
Kanaya mengirim pesan lagi. Kali ini Radit langsung membacanya.
(Lagi di apartemen. Lo lagi di mana? Sudah makan belum?)
Kanaya tersenyum membaca pesan dari Radit. Pria itu selalu peduli padanya. Belum lagi perhatian Radit padanya dan ditambah ia tidak berbohong. Mungkin Radit sudah di apartemen setelah makan bersama temannya.
Kanaya meletakkan ponselnya setelah mengirim pesan balasan untuk Radit. Rasa rindu pada sang kekasih belum terobati walau tadi sempat melihatnya. Kanaya ingin sekali memeluk Radit dan mengatakan kalau dia rindu.
“Sampai bertemu besok Radit,” gumam Kanaya sebelum terlelap.