Rindu

1308 Kata
Satu bulan setelah kepergian Radit membuat Kanaya merindu. Beberapa foto sang kekasih hanya bisa ia lihat di sosial media. Pesan yang ia kirim seringkali terlambat dibalas. Kanaya memaklumi, karena Radit sibuk bekerja untuk masa depannya atau mungkin masa depan mereka berdua.  Memikirkan itu membuat Kanaya tersipu malu. “Nyet, buka pintu,” ujar Stefan sembari mengetuk pintu kamar Kanaya. Hayalan Kanaya buyar mendengar suara Stefan. Senyumnya menghilang digantikan wajah kusut yang tak sedap dipandang. Dengan berat hati Kanaya membuka pintu kamarnya. “Lo kenapa?” tanya Stefan ketika Kanya menatap tak suka padanya. “Gak kenapa, emang gue kenapa?” “Mana gue tahu. Muka lo kayak orang habis nginjek kotoran,” kata Stefan membuat wajah Kanaya memerah. Hubungan keduanya belum juga membaik. “Mau lo apa sih?” tanya Kanaya membuat Stefan tersenyum. Raut wajah pria itu berubah bahagia. Tanpa permisi Stefan menerobos masuk ke kamar Kanaya, duduk di depan meja rias sembari menuangkan body lotion ke tangannya. “Ambil saja, gue masih sanggup beli,” sindir Kanaya. “Lo kira gue nggak bisa beli. Sini duduk, gue mau bicara sesuatu.” Kanaya menurut. Ia duduk cukup jauh dari Stefan. Berada di dekat pria itu adalah pilihan buruk. Setelah membalurkan body lotion ke tangannya Stefan pun mulai bicara. “Tiga bulan lagi gue nikah. Karena pacar lo di luar negeri maka sebagai hadiah pernikahan, gue mau Radit pulang ke Indonesia. Gue mau minta dia jagain lo secara resmi,” kata Stefan membuat Kanaya terdiam. Meminta Radit pulang ke Indonesia bukan hal yang mudah. Radit harus meminta izin dari atasannya kemudian ia harus membeli tiket pesawat. Kanaya yakin Radit tidak akan keberatan, tetapi ia malu memberitahu Radit. Ada rasa sungkan meminta pria itu pulang. Ia tidak mau merepotkan pacarnya. “Kak jangan buat masalah deh, nanti kalau Radit dipecat gue juga yang rugi nggak dinikahi sama dia. Nggak cukup video call saja?” “Tidak! Gue harus memastikan lo ada yang jagain. Gue mau Radit sendiri yang datang. Jadi cowok harus tanggung jawab. Toh, masih dekat di Singapura, belum di Eropa dan Amerika.” Keputusan Stefan tidak bisa diubah. Ia tetap bersikukuh dengan keputusannya. Perdebatan mereka pun percuma karena Stefan mengancam batal nikah kalau Kanaya tidak datang dengan pacar. “Oke, gue akan minta Radit pulang, tapi nggak janji kalau dia bisa.” “Terserah lo, gue hanya minta di hari pernikahan gue nanti lo datang dengan pasangan. Jangan bohongi gue, paham?” Stefan mengedipkan matanya lalu beranjak pergi. Berbeda dengan Stefan yang terlihat bahagia, Kanaya justru merasa sebaliknya. Ia harus berpikir keras agar Radit mau pulang ke Indonesia. Kanaya beranjak ke lemari mencari sesuatu di antara lipatan pakaian. Dia menarik sesuatu dari lipatan tengah. Sebuah buku tabungan yang ia sembunyikan. Walau gaji yang ia terima pas-pasan, tapi Kanaya bukan orang yang boros dan suka mengikuti gaya yang sedang tren. Sifat Kanaya yang seperti ini kadang membuat Santi—Sahabatnya—geram. Santi selalu memaksa Kanaya untuk memberikan dirinya self reward karena telah bekerja keras, tapi Kanaya lebih memilih menabung uangnya. “Mungkin ini saatnya gue liburan,” gumam Kanaya. *** Santi hampir tersedak setelah Kanaya mengucapkan keinginan untuk mencari Radit ke Singapura. Ada rasa khawatir dalam hati Santi mengingat Kanaya belum pernah ke luar negeri. Namun, ia menyembunyikan rasa khawatirnya. Bagaimana kalau Kanaya nyasar, atau ada orang jahat yang melukainya. Segala macam pikiran buruk hinggap di kepalanya. “Lo yakin mau nyusul Radit?” tanya Santi setelah meletakkan minumannya. Warung makan yang mereka kunjungi saat ini cukup ramai. Entah kenapa Kanaya meminta Santi bertemu di tempat seperti ini. Bukan karena Santi tidak suka makan di warung lesehan melainkan tidak ada menu makanan yang bisa Santi cicipi. Semua makanan berlemak sementara dia harus menghindarinya. Jadilah Santi hanya makan tumis sayur dan kentang rebus. Sungguh, bukan makanan yang ia suka. Beda dengan Kanaya yang bebas makan sesukanya. “Gue yakin, sekalian mau jalan-jalan. Gue sudah lama nggak liburan,” jawab Kanaya. Santi mencondongkan tubuhnya agar suara terdengar jelas mengingat suasana sekitar yang semakin berisik. “Gue takut sepulang lo dari Singapura lo justru puasa berbulan-bulan. Gue nggak mau lo jadi gembel dadakan,” kata Santi membuat bibir Kanaya maju beberapa senti.  “Lo doa’kan gue miskin? Tenang saja, tabungan gue masih cukup untuk makan dua bulan setelah pulang dari luar negeri. Lo sendiri tahu kalau gue bukan orang konsumtif. Ini untungnya kalau dari dulu nggak boros.” Santi menghembuskan napas pelan. Ia harus mencari cara agar Kanaya mengurungkan niatnya pergi ke Singapura. Santi tidak ingin Kanaya menjadi gembel di negeri orang lain. Terlebih Singapura adalah negara yang sangat ketat. Datang baik-baik saja bisa diperiksa polisi kalau dilihat mencurigakan. Terlebih Kanaya tidak punya kerabat yang tinggal di sana. Santi benar-benar khawatir. “Nat, dari pada lo keluar negeri habisin uang lebih baik lo liburan di Indonesia saja, ya. Uang tiket bisa lo pakai check out barang-barang yang numpuk di keranjang belanja lo di market place. Lebih bermanfaat, ya, ‘kan?” Kanaya menatap sinis pada Santi. Sahabatnya ini antara peduli atau menghina beda tipis. Kanaya memiliki kebiasaan baru setelah tujuh bulan lalu kembali ke tubuh aslinya. Ia jadi suka memilih barang di aplikasi belanja, hanya saja ia membiarkan barang-barang itu tersimpan di keranjang belanja tanpa ada niat untuk membayarnya dan Santi tahu hal itu. “Keputusan gue sudah bulat,” ujar Kanaya penuh keyakinan. “Lo bikin gue khawatir, Nat. Bisa-bisanya lo ke luar negeri tanpa gue.” “Lo mau ikut?” “Gue mana bisa? Ngurus kerja sama nikahan bikin gue sibuk.” Kanaya mengangguk pelan. Santi akan menikah pertengahan tahun depan. Sementara Kak Stefan akan menikah 3 bulan lagi, sedangkan Kanaya masih menanti jodohnya pulang. “Lo harus doa’kan gue supaya bisa bertemu Radit.” Santi mengaduk makanan tanpa niat untuk memakannya. Ia sangat khawatir dengan nasib sahabatnya di negeri orang. Andai bisa, Santi ingin sekali menemani Kanaya ke Singapura agar sahabatnya ini ada yang menjaga. Santi mulai memberi informasi pada Kanaya ada saja yang boleh dan tidak boleh dilakukan. Kanaya mengangguk pelan sembari mengingat apa yang dikatakan Santi. Ini akan menjadi bekalnya di Singapura nanti. *** (Radit, kamu lagi apa?) Kanaya meletakkan ponselnya di atas meja. Ia duduk di kursi sembari memeluk kedua lututnya. Pesan itu sudah satu jam yang lalu ia kirim. Namun, tak kunjung dapat balasan. Kanaya yang bosan kini meraih album foto mini yang ada di atas meja. Ia bernostalgia setiap kali mengingat moment itu. Masa awal ia berpacaran dengan Radit. Mereka bahkan pernah menyewa villa untuk berlibur di Bali. Kanaya tidak akan melupakan kenangan indah itu. “Lo pria pertama yang merebut ciuman gue, dan lo juga pria pertama yang jadi pacar gue. Gue harap lo bukan pria pertama yang jadi mantan gue,” gumam Kanaya. Ada rasa khawatir yang menyusup dalam relung hatinya. Ponsel Kanaya berdering. Dengan semangat gadis itu membuka pesan dari Radit. Akhirnya, setelah sekian lama penantian Kanaya membuahkan hasil walau hanya pesan singkat dari Radit. (Gue baru pulang kerja. Lembur.) (Semangat kerjanya Sanbong. Lo istirahat saja, kalau senggang hubungi gue, ya.) Tidak ada balasan lagi dari Radit membuat Kanaya kecewa. Ia pikir LDR tidak semenderita ini. Dia merindukan Radit sekarang, meski beberapa kali hatinya terus menyangkal kalau dia tidak rindu pria itu. Kanaya beranjak ke balkon kamar, menatap langit cerah bertabur bintang. Ada tempat kosong di hatinya membuat Kanaya gelisah. “Radit, apa lo melihat langit yang sama seperti gue? Apa lo nggak rindu sama gue?” gumam Kanaya.  Cukup lama ia berada di balkon sampai akhirnya ia merasa bosan. Kanaya kembali ke kamarnya. Dilihatnya sekali lagi ponsel putihnya sebelum tidur. Senyum Kanaya semakin lebar saat membaca balasan dari Radit sampai membuat ia meloncat kegirangan. Berkali-kali ia baca pesan itu sampai lupa membalasnya. (Gue kangen lo) “Gue juga kangen lo, Radit,” kata Kanaya depan ponselnya seolah Radit bisa mendengar suaranya. Setelah menenangkan diri Kanaya mulai membalas pesan dari Radit dan meminta pria itu untuk beristirahat.  
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN