“Bagaimana harimu?” tanya Adera penuh senyuman saat Gadis baru mendaratkan bokongnya pada kursi.
Gadis memutar bola matanya, “Apa setiap aku datang kamu harus bertanya seperti ini terus? Tidak adakah pertanyaan lain?” gerutu Gadis, sambil mengeluarkan alat tulis dari dalam tasnya.
Adera terkekeh, ia menarik kursinya mendekati Gadis. “Semalam aku bermimpi” ceritanya.
“Aku tidak mau tau!” potong Gadis, membuat Adera mendecakan mulutnya.
“Apa ada yang bernama Gadis di kelas ini?” suara wanita yang hanya menampakan sebagian tubuhnya di pintu terdengar jelas, “Kamu Gadis?” tanyannya menunjuk ke arah Adera.
“Wah, tidakkah aku terlihat begitu cantik?” gerutunya, ia mencolek pundak Gadis. “Hey, namamu dipanggil” terang Adera, mencoba menyadarkan Gadis yang fokus membaca materi kuis hari ini.
“Apa lagi?!” pekik Gadis, membuat tubuh Adera sedikit terlonjak.
“Astaga! Bisakah kamu sedikit lembut padaku!” gerutu Adera mengelus-ngelus dadanya. “Itu, namamu dipanggil! Sudah ku bilang jangan pura-pura tuli, jadi tuli beneran nanti” gerutu Adera.
Gadis segera bangkit, “Ya, saya Gadis”
Wanita itu tersenyum, “Ada kedua orangtuamu di depan, mereka ingin bertemu” terangnya, lalu pergi.
Gadis membeku, pikirannya menerka-nerka tentang apa yang terjadi. Bagaimana bisa papa dan mamanya begitu akur kemudian datang mengunjunginya di tempat les?
“Gadis! Hey, sadarlah!” suara Adera menyadarkan Gadis dari lamunannya.
Tanpa berbicara, Gadis segera keluar meninggalkan kelas. Langkah kakinya begitu kecil, entah disengaja atau tidak sepertinya Gadis memikirkan sesuatu yang buruk akan terjadi padanya. Langkah kaki Gadis terhenti saat tiba di meja resepsionis, bola matanya seolah akan keluar melihat dua orang yang kini tersenyum kearahnya.
“Sayang ...” sapa tante Tasya, menghampiri tubuh Gadis yang tak bergeming. Tante Tasya memeluk tubuhnya lalu mengusap kepalanya pelan.
“Lepaskan tanganmu!” gumam Gadis dengan kedua tangan yang ia kepalkan demi menahan amarahnya. Tante Tasya segera melepaskan tubuh Gadis dan berlari mendekati sang papa.
“Gadis, apa yang kamu ucapkan? Papa dan Tante Tasya barusan dari gurumu untuk melihat nilai-nilaimu, jangan berbicara kasar padanya!” ucap Papa dengan nada penuh penekanan.
Beberapa pasang mata kini mengamati mereka, termasuk sang resepsionis. Jelas-jelas hampir semua tau, siapa Mama Gadis. Karena selalu melihatnya saat mengantar jemput Gadis. Kini Papanya datang dengan membawa wanita lain dihadapan semua teman-teman dan guru.
“Apa dia pacar Papanya Gadis?” bisik salah satu teman sekelas Gadis saat melewatinya.
“Oh tidak, Gadis mempunyai dua Ibu?” tambah seseorang lagi dan itu terdengar jelas oleh Gadis.
“Ayo minta maaf!” perintah papanya.
Amarah Gadis sudah tidak dapat dibendung lagi, matanya sudah berkaca-kaca. Ia melangkahkan kakinya perlahan. Saat Gadis akan memukul tubuh tante Tasya, Adera menarik lengannya keluar dari gedung.
“Apa kamu tidak bisa berpikiran jernih? Jika kamu sampai memukulnya dihadapan banyak orang, apa yang akan mereka pikirkan! Astaga, betapa keras kepalanya Gadis ini!” cerocos Adera terus menarik lengan Gadis meninggalkan tempat les.
Langkah kaki Adera terhenti karena tidak ada sepatah katapun yang diucapkan Gadis. “Kenapa kamu—“ ia tidak melanjutkan ucapannya saat melihat Gadis yang sudah berderai air mata. “Sudah ku bilang, jangan perlihatkan jika kamu lemah!” secara cepat, Adera melepaskan jaketnya lalu menutupi kepala Gadis dan kembali menarik lengannya menuju taman.
***
“Astaga!! Apa kamu tidak makan dua hari?” pekik Adera melihat Gadis yang sudah menghabiskan dua mangkuk Mie Ayam. “Kamu harus berterima kasih padaku, jika tidak karena aku yang meminta izin, maka tas dan semua peralatanmu tidak dapat diambil dari kelas” ucap Adera.
Gadis menyeruput kembali Mie Ayamnya, “Apa yang kamu bilang pada Pak Ilham?”
“Kamu tembus, jadi aku meminta izin untuk mengantarmu pulang” jawab Adera polos.
“Apa!” pekik Gadis nyaring.
“Hey!” teriak Adera, melemparkan tisu kearah Gadis. “Kupingku masih berfungsi dengan baik! Tidak perlu berteriak!” gerut Adera meneguk kembali Es Teh Manis dihadapannya.
“Dari seribu alasan, kenapa kamu membuat alasan seperti itu! Argh ... mau ditaruh dimana wajahku nanti!” ucap Gadis lesu, “Aku jadi tidak berselera makan lagi”
“Apa katamu? Tidak berselera setelah menghabiskan dua porsi Mie Ayam? Ckckck ... ayo aku antar kamu pulang” ajak Adera.
Gadis menarik lengan Adera, “Tunggu ... apa mataku masih sembab? Wajahku bengkak?” tanya Gadis mendekatkan wajahnya pada Adera yang malah membeku.
Adera mendorong wajah Gadis dengan telapak tangannya, “Bukan hanya wajahmu yang bengkak, tapi seluruh tubuhmu akibat makan terlalu banyak!” cibir Adera terkekeh, terlihat gurat kekesalan pada wajah Gadis saat ini.
‘Bagaimana bisa, dia melakukan hal seperti barusan padaku’ batin Adera berjalan mendahului Gadis. ‘Oh, tenanglah jantung! Kamu harus berfungsi dengan baik, tadi hanya serangan mendadak!’ tambahnya lagi.
“Hey Adera! Mati kau mengatakan tubuhku bengkak!” teriak Gadis segera menyusul Adera.
***
Ada Apa Dengan Bela?
-Author Pov-
Bela tersenyum senang saat melihat namanya tertera pada list calon perwakilan perlombaan akuntansi dari sekolahnya. Ia kembali menatap mading sekolah, membaca dengan seksama nama-nama yang akan menjadi kompetitornya. Ekspresinya tiba-tiba berubah saat menemukan nama Gadis, teman satu bangkunya di urutan lima belas.
“Hey!” Langit menepuk pundak Bela, “Sedang apa?” tanyanya.
Bela tersenyum, “Hampir saja aku mati!” kekehnya. “Lihat, namaku ada diurutan lima” tunjuk Bela bangga pada mading dihadapannya.
Langit mulai memperhatikannya dengan seksama, lalu bertepuk tangan membuat Bela tersenyum malu. “Astaga, betapa hebatnya Gadis! Dia masuk lima belas besar!” pekik Langit begitu senang, namun berbanding terbalik dengan Bela yang terlihat begitu kesal. “Apa Gadis sudah tau soal ini?” tanya Langit.
Bela menggeleng pelan.
Langit tersenyum, ia menepuk-nepuk pundak Bela. “Biar aku yang memberitahunya, aku duluan ya!” pamit Langit berlari menuju kelas Gadis meninggalkan Bela yang masih berdiri di depan mading.
“Apa dia tidak mengucapkan selamat padaku? Jangankan selamat, sepertinya namaku saja ia abaikan!” gerutu Bela kesal, ia menghentakan kakinya lalu berjalan menuju toliet.
***
“Selamat ya, kamu masuk lima besar” puji Gadis mengacungkan ibu jarinya kearah Bela saat berada di kantin.
“Hey, kamu hebat bisa ada diurutan lima belas” Langit mengacak-ngacak rambut Gadis, “Tidak kusangka kamu sepintar ini” ucap Langit terlihat begitu bangga pada Gadis.
Gadis mendelik sebal, ia meniup poninya yang sudah berantakan akibat ulah Langit. “Habiskan makananmu lalu pergilah!” perintah Gadis kembali memasukan Pempek kedalam mulutnya.
“Astaga ... astaga, lihat lah Gadis pemarah ini sangat menggemaskan” goda Langit menangkupkan kedua tangannya pada pipi Gadis. “Makan yang banyak Gadis” tambahnya lagi, lalu berlari meninggalkan Gadis yang akan mencakar habis wajahnya.
“Menyebalkan!” keluh Gadis.
Bela menyimpan garpunya, selera makannya seolah menghilang saat ini. “Apa kamu yakin jika Langit tidak mempunyai perasaan lebih?” tanya Bela tiba-tiba. Gadis mengangguk. “Lalu apa kamu ingin menjadi perwakilan sekolah untuk lomba ini?”
Gadis menatap Bela lekat, “Apa yang sebenarnya ingin kamu katakan?”
Bela merasa tak enak saat ini, ia kembali meneguk air mineralnya. “Ini tidak seperti yang kamu banyangkan, aku hanya ingin menjadi perwakilan sekolah saja supaya Ayahku tidak terus memarahiku setiap hari” cerita Bela.
Raut wajah Gadis berubah, “Apa itu membuatmu ketakutan?” tanya Gadis, Bela mengangguk pelan. “Aku tidak akan mengikuti tes perlombaan selanjutnya, kamu bisa mengalahkan empat belas calon lainnya” ucap Gadis, lalu bangkit meninggalkan Bela.
Bela yang masih kaget akan perkataan Gadis hanya mampu terdiam, langkahnya untuk menjadi perwakilan sekolah menjadi lebih besar saat ini. ‘Jika aku bisa menjadi perwakilan sekolah, maka akan bisa lebih sering bersama Langit’ batin Bela.
Ia tau, jika Langit merupakan salah satu pengurus osis dan ikut menjadi panitia dari sekolah untuk perlombaan ini.
***