July meraba perutnya yang masih rata, ia tergolong kurus saat hamil. Meski jarang mengalami yang namanya morning sickness tak seperti wanita hamil pada umumnya, ia tetap susah makan dan merasa mual jika mencium bau-bau tertentu. Saat makan bersama-sama dengan rekan para sales lainnya, ia berusaha sekuat tenaga menahan diri dan bertahan duduk di rumah makan dengan aneka menu yang dipesan oleh rekan-rekannya. Ia tak mungkin menunjukkan gejala mual di depan teman-temannya, mereka akan curiga kalau ia hamil dan July sendiri tahu, bahwa sebagian dari mereka sudah mengamati kedekatannya dengan Pak Prima di kantor. Hanya saja, kedatangan Amira sang istri sah yang ramah dengan makanan yang sering dibawanya, membuat skandal perselingkuhannya dengan Prima lama-lama tenggelam dan digantikan dengan julukan Prima yang sayang istrinya.
July memikirkan waktu yang pas untuk menemui Mira, jarak kehamilannya dengan Mira hanya berselang dua bulan saja, perut istri pertama dari kekasihnya itu sudah kelihatan dan ia merasa cemburu melihat Mira yang tampak senang dan biasa saja dengan kehamilan yang tak perlu disembunyikannya tak seperti dirinya. Demi menghindari tatapan penghakiman dari tetangga-tetangga kostnya, July lebih sering menghabiskan waktu di rumah kontrakan Prima yang kosong. Prima sendiri jarang menermuinya semenjak ia ketahuan berbohong pada Mira soal hari sabtu dan minggu yang sering lembur.
July jadi penasaran, apakah mereka terlibat pertengkaran hebat setelah hari itu? Karena keesokan harinya, Prima lebih jelas menunjukkan kalau ia menghindarinya.
Kamu tidak bisa bersikap seperti ini padaku, mas!
***
Mira melakukan aktivatasnya di kost seperti biasanya. Ia lebih sering menyulam ketika waktu siang hari sampai sore hari, hasil sulamannya ia potret dan ia jual di market place dan entah ia bersyukur sekali hasil karyanya diminati pembeli, bahkan ada yang memesan untuk beberapa potong. Impiannya k membangun sebuah toko pakaian bayi dan anak-anak yang dari benang rajut semakin besar. Ia terus menekuni karyanya dan mulai tak memedulikan tingkah pola sang suami, apalagi setelah tahu sang suami benar-benar membohonginya. Mira masih ingat pertengkaran mereka petang itu, usai ia menyiapkan makan malam untuk Prima.
“Jadi, kenapa mas harus berbohong? Kemana mas selama libur?” tanya Mira. Kecantikan July yang berada di atasnya, dengan proporsi tubuh yang ideal membuat Mira sedikit insecure dan tak percaya diri dengan dirinya sendiri, padahal meski ia tertutup dengan hijabnya, Mira tak kalah cantik dengan July yang terkesan glamour dan mewah.
“Aku lembur, tapi tidak dengan anak buahku, kamu pikir kalau jadi manager aku tak perlu melakukan penjualan mobil juga?” tanya Pirma.
“Tapi apakah harus sesering itu?”
“Ada target yang harus kita capai, Mira. Membangun relasi dengan calon pembeli atau dengan pembeli yang pernah beli, itu bagus untuk mendapatkan kesempatan dan peluang,” kata Prima yang sebelumnya telah menyedikan jawaban yang pas untuk Mira saat ia nanti pulang.
“Kamu pikir aku bisa percaya, mas?” tanya Mira yang mulai muak dengan sikap suaminya, “hari itu kamu keluar kantor kan saat aku kirim kue siang hari dan menitipkannya ke satpam?” tanya Mira pada sang suami. Prima meletakkan gelas kopi yang baru saja disesapnya, dipandanginya wajah sang istri yang menuntut penjelasan padanya.
“Aku lelah, aku tak mau berdebat, terserah kamu mau percaya padaku atau tidak,” kata Prima pada Mira. Prima merebahkan dirinya di atas kasur, bebannya terasa sangat berat, ia pikir memiliki istri dan simpanan akan menyenangkan, siapa tahu kalau dua-duanya tengah hamil dan sensitive sekali sekarang ini. Entah Mira, entah July, dua-duanya benar-benar membuatnya frustasi dan hampir gila. July yang meminta segera dinikahi, dan Mira yang menaruh curiga di depannya hingga ia harus mutar otak agar sang istri tak tahu perselingkuhannya. Setidaknya, setelah ia membereskan hubungannya dengan July, atau bila perlu menempatkan July di tempat yang jauh dari jangkauan istrinya agar hubungan gelapnya tak terendus.
“Penjelasanmu tidak masuk akal, mas,” kata Mira, “jangan-jangan kamu main api di belakangku?” tanya Mira yang langsung membuat Prima bangkit dari tidurnya dan menatap Mira yang tak berkedip saat memandangnya.
“Kamu bicara apa? selama ini aku bekerja untukmu dan keluargaku!” kata Prima berusaha tenang meski dadanya berdebar-debar, takut sekali kalau sang istri tahu perselingkuhannya dengan July.
“Aku tahu, terima kasih untuk semua usaha kerasmu! Tapi, ingat, kamu berubah sejak naik jabatan,” kata Mira.
“Itu semua karena tanggung jawab yang besar yang harus aku pikul, Mira,” kata Prima membela diri.
“Baiklah, lakukan pekerjaanmu dengan baik. Aku juga akan jadi istri yang baik, mengabdi padamu tak kenal waktu dan tak kenal lelah. Tapi, kamu ingat Amila, kan, mas? Dia tidak tinggal diam ketika Bima mengkhianatinya, akupun juga akan melakukan hal yang sama,” kata Mira tegas. Jakun Prima naik turun mendengar ucapan suaminya, tentu ia tahu apa yang terjadi dengan rumah tangga Amila, sang adik ipar yang akhrinya menghancurkan karir Bima sang mantan suami dan sekarang melejit kaya raya dengan usahanya sendiri. Maka itu, Prima sangat takut karirnya juga redup jika ia ketahuan berselingkuh dari Mira. Prima mendekat, mencoba membujuk istrinya yang tengah diliputi oleh amarah.
“Tidurlah, sayang. Jangan terlalu berpikiran berat-berat, ingat ada janin yang hidup di dalam perutmu,” kata Prima dengan lembut. Mira menarik napas panjang dan melepaskan diri dari dekapan suaminya, entah mengapa ia merasa kalau sang suami benar-benar berselingkuh darinya. Terlalu banyak keganjilan yang terjadi. Tapi, bagaimana caranya ia memergoki sang suami berselingkuh? Ia tak mungkin menemui suaminya terus menerus saat bekerja, kan?
Mira kemudian teringat dengan anak buah salah satu suaminya yang keceplosan bicara kalau Prima tak pernah lembur, ia kemudian berpikir bahwa ia harus menemuinya segera. Mencari tahu lebih dalam soal rekan-rekan suaminya, bila perlu mengundang mereka makan bersama dan mendengarkan mereka bercerita satu sama lain.
***
Berhari-hari Mira bersikap biasa pada Prima, ia menyiapkan makan, menemani Prima makan dan mengantarkannya berangkat kerja. Hari-hari yang dilaluinya tak begitu berarti dan ia lelah bersikap manis seperti itu terus menerus. Ia ingin tahu apa yang dilakukan oleh suaminya. Selama ini, sang suami juga pulang kerja selalu on time, tak pernah telat, bahkan sabtu dan minggu, ia berada di rumah bersamanya. Jika begini terus, bagaimana bisa ia menemukan bukti kalau sang suami berselingkuh dengan perempuan bernama July? Apa yang harus ia lakukan?
“Kamu kenapa, Mir?” tanya mbak Ina saat dilihatnya Mira termenung di kamar kostnya.
“Aku, aku kepikiran mas Prima, mbak,” kata Mira. Ini kali pertama ia buka suara soal apa yang dirasakannya pada orang lain, apalagi soal suaminya.
“Kenapa dengan suamimu? Dia sakit? Atau pindah kerja?” tanya mbak Ina dan Mira menggeleng.
“Aku merasa dia punya wanita lain, mbak,” kata Mira lesu, “tapi aku belum bisa membuktikannya,” kata Mira lagi.
“Kamu yakin? Kulihat dia gak pernah ninggalin kamu loh,” kata Ina heran.
“Aku pernah memergokinya masuk ke motel siang-siang dengan perempuan lain, mbak. Tapi ia tak tahu kalau aku tahu,”
“Apa?”
“Iya, aku menyaksikannya sendiri,” kata Mira.
“Selain itu?” tanya Ina.
“Aku mencium bau parfum wanita lain di pakaiannya, mbak,” kata Mira.
“Ya Tuhan, persis seperti apa yang suamiku lakukan dulu, eh, bukan, mantan suami,” kata Ina meralat ucapannya.
“Lalu apa yang mbak Ina lakukan?”
“Aku cari tahu, Mir. Dia memang sering pulang telat, gak ngasih nafkah sewajarnya, sering marah-marah pada anak-anak dan aku gak disentuhnya, akhirnya aku diam-diam membuntutinya dan menemukannya sedang berdua-duaan dengan perempuan lain di motel,” kata Ina menceritakan kisahnya.
“Aku gak tahu harus bagaimana, setiap siang mas Prima meneleponku dan aku bisa melihat dia memang di kantornya, pulang kerja juga on time, intensitas kami berhubungan juga baik dan kalau libur ia menemaniku di sini, kan? Jadi, aku gak tahu harus bagaimana, mbak. Di sisi lain, feelingku mengatakan kalau mas Prima memang menduakanku,” kata Mira.
“Apa dia takut terjadi sesuatu padamu dan anakmu, Mir?” tanya Ina.
“Entahlah, mbak. Tapi aku bosan jika hidup seperti ini. Aku tidak suka dicurangi, mbak. Makanya aku gelisah,” kata Mira.
“Minta petunjuk, salat istikharah. Bisa jadi dugaanmu salah karena kamu sensitive saat hamil, atau bisa juga feelingmu benar. Gak ada salahnya kamu melangitkan doa, minta petunjuk,” kata Ina dan Mira mengangguk paham.
“Jika kelak mas Prima benar-benar berselingkuh, apa yang harus aku lakukan, mbak?” tanya Mira.
“Kamu akan tahu ketika semuanya terungkap, nanti,” kata Ina.