CINTA YANG KURINDU- 7

1888 Kata
“Kamu nggak usah ke studio, tapi kamu ke rumah saya.” Jatah liburnya di jajah sang bos, pagi-pagi Nata sudah telepon setelah kemarin mengatakan langsung agar Saujana masuk kerja. Di awal kalimat Saujana sudah hampir menarik sudut bibir untuk membentuk senyum semeringah, berharap memang Nata batal minta dia masuk kerja dengan begitu Saujana bisa leha-leha seharian. Tapi, ujungnya malah membuat Saujana mengernyit. Pupus sudah harapan Saujana untuk libur tetap di kamar kos. Seandainya yang di hadapi Leo, Saujana tinggal merengek untuk dapat pengertian. Tapi, ini Nata yang jelas tidak suka di bantah terutama jika menyangkut pekerjaan maka Saujana tidak bertanya lagi, langsung mengiyakan perintah bos yang tiba-tiba berubah itu. Sembilan pagi, Saujana keluar kos. Driver ojek Online sudah menunggu. Ini pertama kali Saujana ke rumah Nata hanya mengandalkan lokasi yang dikirimkan bosnya. Karena hari minggu, jalanan tidak padat seperti hari kerja jadi waktu yang di tempuh hanya setengah jam di perjalanan, Saujana masuk ke perumahan mewah daerah Jakarta selatan, keamanan perumahan di sana sangat ketat. Tadi, Saujana sampai harus menunjukkan kartu identitas karena dia tamu. Saujana menatap deretan rumah mewah. Dari satu rumah ke rumah lain ada jarak sekitar tiga sampai lima meter, di sekat taman atau lapangan rumput. Dia pikir laki-laki lajang seperti Nata lebih suka tinggal di apartemen seperti Leo. Tampak Nata pengecualian, selera orang sudah pasti beda-beda. Di Jakarta punya sebidang tanah di perumahan mewah seperti ini jelas lebih mahal di banding punya apartemen. Rumahnya tidak yang besar sekali seperti istana, tapi tetap saja bangunan terlihat di rancang sedemikian rupa sesuai keinginan sang pemilik rumah oleh arsitektur terbaik. Tadi ada yang membuka gerbang di depan, seorang pria yang sepertinya keamanan khusus rumah Nata. Seperti sudah di beritahu Nata jika Saujana akan datang langsung di persilakan masuk. Kini Saujana sekali lagi menekan bel rumah dua lantai yang di tempati Nata. Ceklek. Pintu tidak lama di buka. “Saya asisten pak Nata.” Kata Saujana setelah memberi salam pada wanita yang membuka pintu untuknya. Wanita berusia sekitar empat puluh itu membuka pintu semakin lebar, “Masuk Non, sudah di tunggu.” Saujana melangkah masuk, asisten rumah tangga itu menutup pintu sebelum menuntun Saujana ke tempat Nata berada. Sepanjang jalan, mata Saujana ikut menilai dalam rumah itu. Barang-barang ditempatkan sesuai kebutuhan, tentu bukan benda-benda murah. Di ruang tamu banyak hasil potret yang Nata ambil, di ujung foto ada tanda tangan Nata sebagai identitas pemilik. Ada satu yang paling besar, berada di tengah-tengah. Foto keluarga, orang tua Nata yang pernah Saujana temui dan adik perempuan Nata sedang selesaikan pendidikan S2 di luar negeri. Rumah sangat sepi, dan Saujana jelas tahu ini bukan rumah yang di tempati dengan orang tua Nata. Saujana tahu alamat rumah orang tua Nata, bukan di alamat rumah yang dia datangi pagi ini. “Pak Nata, Non Saujana sudah datang.” beritahu sang asisten rumah tangga. Mereka berdua berdiri di sisi kolam renang yang ada di belakang rumah Nata. Sedangkan lelaki itu berenang di dalamnya. Saujana mulai berpikir, pekerjaan apa yang buat dirinya harus ke rumah sang bos? Nata berhenti disisi kolam dengan dua tangan melipat di pinggir kolam dan tersenyum padanya. Saujana meneguk saliva-nya susah payah melihat Nata hanya pakai celana renang ketat tanpa kaos yang tutupi tubuh atasnya. Meski tidak berotot yang terbentuk seperti atlet, tapi tubuh Nata jelas kencang dan keras terutama di bagian dadànya yang terlihat lebar dan tegap. Saujana jadi berpikir mungkin bersandar di sana rasanya nyaman. Oh, No! Apa yang aku pikirkan?! Batin Saujana begitu sadar sudah melantur terlalu jauh sekali. Bisa-bisanya! Pose Nata itu sangat seksi di mata Saujana, tato dua garis di lengannya membuat tangannya terlihat tegas. Senyum lelaki itu semakin terlihat menawan di tambah rambut dan wajahnya yang basah. “Nggak sulit mencari alamat rumah saya?” tanya Nata setelah minta asisten rumah tangga membuatkan minum untuk Saujana. Saujana masih berdiri di sana. “Terlalu mudah, Pak.” Nata terkekeh sambil mengusap wajahnya lagi. Tetesan air yang jatuh dari rambut malah buat dia semakin seksi saja. Saujana berjongkok agar lebih dekat bicara dengan Nata. “Saya agak terkejut sebenarnya.” Satu alis Nata naik, tidak paham maksud kalimat Saujana. “Saya kira pak Nata tinggal di sebuah apartemen di banding rumah seperti ini.” “Saya ada apartemen.” Kata Nata, dia bergerak keluar kolam. Saujana segera menyingkir dan ikut berdiri. Nata sebelum punya rumah ini tinggal di apartemen yang kini jadi properti pribadi. Dulu dia memang kerap habiskan waktu sehari-hari di sana. Tapi, setahun belakangan dia lebih sering di rumah. Masih sering ke apartemen jika bawa pasangannya untuk bersenang-senang. Tidak pernah sekalipun bawa wanita ke rumah ini, bahkan wanita yang bersamanya tidak tahu alamat rumah selain apartemen. Dan di rumah ini dia hanya seorang diri dengan dua asisten rumah tangga suami-istri. Dia ingin rumah ini jadi bagian privasi hidupnya, hanya keluarga dan teman dekat yang menurutnya bisa di percaya untuk tahu rumah ini. Saujana berada di sini, artinya Saujana bagian orang yang bisa Nata percaya. Saujana masih memperhatikan Nata yang mengambil handuk dan mengusap rambut basahnya tanpa perlu repot menutup tubuhnya. Dengan cepat Saujana memalingkan wajah terutama ketika melihat bokòng seksi Nata yang mirip aktor Channing tatum. Saujana hanya punya pembanding itu saja, film The Vow salah satu favoritnya dan Channing tatum salah satu aktor kesayangannya. Aish bisa-bisanya aku berpikir naughty begini! Batin Saujana. Berusaha menyapu pikiran kotor tapi terlanjur membuat pipinya panas dan merona. “Saujana, kamu nggak dengar saya bicara?” tegur Nata. Saujana segera menatapnya, bisa bernapas lega ketika lihat sang bos sudah pakai handuk kimono meski tidak di ikat. Saujana berusaha keras membuat tatapan matanya tidak turun pada celana hitam ketat Nata, atau dia akan jantungan melihat sesuatu yang menonjol di bawah perut lelaki itu. “Ma-maaf, Pak Nata bicara apa?” Nata menatap Saujana memicing. “Sudahlah, kita bicara lagi nanti. saya mau mandi.” “Eh, terus saya bagaimana pak?” pertanyaan itu lolos begitu saja. Nata kembali menatap Saujana. Sedetik sebelum menyunggingkan senyum jahil “Kamu tunggu di dalam, terserah. Atau kamu mau ikut saya mandi?” Itu hanya pertanyaan iseng Nata, tapi, Saujana melongo dan membuat tawa lelaki itu tergelak. “Kamu baru di goda begitu saja udah merah pipinya!” lanjut Nata dengan ambigu sembari berlalu. Menyisakan Saujana yang terduduk di kursi santai di sana dengan lemas. Nata kenapa suka sekali membuatnya berdebar asing sih?! *** Nata selesai setengah jam kemudian, sudah pakai kaos dan celana selutut yang santai untuk di rumah. Saujana yang menunggu sejak tadi di ruang tengah mengira pekerjaannya bisa di mulai, tapi Nata malah berlalu melewatinya. “Pak—“ “Kita sarapan dulu, habis berenang saya lapar.” Ajaknya santai. Saujana berdiri, meninggalkan tas di atas sofa yang ada di ruang keluarga, melangkah ikuti Nata menuju ruang makan dengan meja makan besar.  Ada sebanyak delapan kursi di sana, lampu hias menggantung di tengah. Meja dan kursi makan berwarna abu-abu dan silver. Sarapan sudah tersaji, “Saya sedang mau makan nasi goreng, jadi saya minta di masakan ini dan kebetulan kamu akan datang.” Seporsi nasi goreng juga di siapkan untuk Saujana. Dengan ragu sampai gerakannya pelan menarik kursi, berhasil menarik atensi Nata. “Kamu sudah sarapan?” tanya Nata. Gadis itu menggeleng kecil, “Roti termasuk sarapan sih, tapi bukan nasi.” Nata terkekeh, “Kamu warga Indonesia sekali, belum makan kalau belum ke tabrak nasi, kan?” Saujana ikut tertawa menarik piring bagiannya. “Pak Nata bisa aja.” Melihat bosnya mulai menyuap, Saujana pun mulai mencicipi sendok pertamanya. Dan Saujana terkejut dengan rasa yang enak mirip nasi goreng spesial di restoran. “Enak?” tanya Nata yang sejak tadi tidak bisa mengalihkan tatapan dari wajah gadis itu. Saujana itu seperti buku terbuka, mudah di baca. Matanya akan membulat dan senyum terlukis di wajahnya kala menemukan sesuatu yang menakjubkan, atau sebaliknya bibir dia akan mencebik jika kesal. “Hm, di rumah pak Nata ada Chef khusus?” “Kenapa berpikir begitu?” “Ini rasanya mirip nasi goreng spesial di restoran.” “Mbak Nila yang masak ini, orang yang sama membuka pintu untuk kamu.” “Oh, wah nanti saya mau tanya resepnya deh pak!” kata Saujana polos bersemangat. “Buat apa?” Nata sampai mengernyit. “Kalau saya mau makan nasi goreng yang enak, bisa buat sendiri. Walau nasi goreng kaki lima pun banyak yang enak.” Nata kembali tertawa, “Boleh. Sekalian kalau Mbak Nila nanti cuti atau udah nggak kerja di rumah saya. Kamu bisa memasak untuk saya.” “Hah?” berganti jadi Saujana yang bingung. “Karena Nasi goreng ini makanan favorit saya. Kamu juga bisa tanya masakan rumah favorit saya yang lain dan resepnya pada Mbak Nila sekalian.” Saujana diam, mengapa dia harus tahu masakan rumah kesukaan Nata dan harus bisa memasak untuk lelaki itu? Nata tersenyum kecil melihat Saujana mematung. “Pak...” panggil Saujana lagi, acara sarapan pagi itu masih berlangsung. “Hm?” gumam Nata masih mengunyah makanan. “Sebenarnya pekerjaan apa yang buat saya sampai di minta datang ke rumah?” Saujana tidak bisa membendung penasaran lebih lama lagi. Tatapan Nata beradu dengan Saujana, lalu senyum misterius muncul begitu pun jawaban yang diberikan. “Setelah ini kamu akan tau.” Jawaban yang tidak memuaskan untuk Saujana. *** Saujana masuk ke ruang lain di rumah ini, ruang kerja Nata. Berbeda, jika ruang kerja lebih banyak buku berjajar di lemari maka ini berbeda, lebih banyak foto koleksi pribadi Nata. Ada buku beberapa, tapi sepertinya tidak jauh dari profesi yang dia jalani. Wanita itu berdiri mengabsen deretan piagam dan sertifikat yang Nata berhasil dapatkan sebagai fotografer terbaik. Saujana berhenti di sebuah foto dengan latar jelas bukan di Indonesia tapi ada burung-burung yang bebas sedang mengepakkan sayap sangat cantik tersorot sinar matahari. “Itu kami ambil di Italia, Roma.” “Perjalanan dengan team KNH?” “Bukan. Dengan komunitas fotografer, saya gabung di sana.” kata Nata yang duduk di sofa menatap Saujana masih berdiri lebih tertarik dengan koleksi foto terpajang di sana di banding menatapnya. Nata menatap lekat Saujana yang tumben dari biasanya pakai dress terusan selutut lengan panjang dengan detail tali di pinggang yang terikat. Dress polos berwarna kuning tampak sangat cocok di kulitnya yang putih, bukan dress ketat malah lebih terlihat manis. Sialnya Nata tidak bisa berhenti, mata Nata tertarik pada betis kecil Saujana yang mulus. Segera dia berpaling kala Saujana berbalik dan menatapnya. “So, pekerjaan apa yang buat saya harus merelakan hari libur?” Nata menyeringai lalu dia bangkit dan berjalan ke satu-satunya meja di sana. Ada kamera dengan lensa Fix, lensa bawaan kamera yang biasa di gunakan untuk pemula atau hanya untuk kegiatan pribadi bukan profesi seperti pekerjaan Nata. “Saya ingin kamu belajar lebih mengenal kamera, kamu ingat pembicaraan kita kemarin?” Saujana mengerjap, terkejut dengan tujuan Nata berbeda dengan yang wanita itu kira benar-benar ada pekerjaan. “Saya pikir, ada pekerjaan.” Cicit Saujana. Nata mengangkat wajah dengan tangan memegang kamera sambil tersenyum. “Ini bagian dari pekerjaan. Lagi pula menjadi asisten saya, kamu harus akrab dengan kamera.” Lelaki itu mengangkat kamera dan suara jepretan kamera menyentaknya. Cekrek! Nata mengambil foto Saujana, setelah dapat mengecek hasilnya. “Nggak buruk meski kamu tanpa ekspresi.” Saujana pernah diajari Leo, harusnya tidak sulit ketika belajar lagi dengan Nata, kan? To be continued... . . Ada yang sudah mulai saling mengamati. Oke, Saujana nakal ya pikirannya Wkwkk. Jangan lupa komentar Dear Love :)
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN