Mira berjalan menyusuri halaman belakang, mencoba menemukan titik lemah dalam pengawasan. Setiap sudut halaman tampaknya dirancang untuk mempersulit pelarian. Pengawasan kamera tersebar di berbagai tempat dan beberapa penjaga tampak berjaga-jaga di dekat gerbang utama.
Dengan jantung yang terus berdegup kencang, Mira melangkah menuju pagar tinggi yang memagari sisi timur halaman. Ia tahu itu mungkin satu-satunya jalan keluar tanpa melewati gerbang utama yang dijaga ketat. Namun, pagar itu cukup tinggi dan dilengkapi dengan kawat berduri di bagian atasnya. Mira tidak punya pilihan lain selain melompatinya.
Mira memanjat dengan hati-hati, kakinya menjejak pada besi-besi yang menonjol, tangannya berusaha tidak terluka oleh kawat berduri. Setiap gerakan terasa seperti perjuangan besar, tetapi tekadnya lebih kuat dari rasa sakit. Saat ia akhirnya mencapai puncak pagar, Mira menarik napas panjang, lalu melompat ke sisi lain.
Tangan dan kakinya mendarat dengan kasar di tanah berbatu di sisi luar pagar. Rasa sakit menjalar dari pergelangan kaki hingga lutut, tapi ia tidak punya waktu untuk merasakannya. Dengan cepat, Mira bangkit dan berlari menjauh dari rumah yang telah menjadi penjaranya. Napasnya berat, kakinya berlari sekuat tenaga.
Mira tahu ini belum berakhir. Ia belum sepenuhnya bebas. Dan ia tahu, Connor tidak akan tinggal diam setelah mengetahui pelariannya.
Ketika ia akhirnya mencapai jalan utama, Mira berhenti sejenak, menarik napas panjang sambil menoleh ke belakang. Rumah besar itu kini tampak jauh, seperti bayangan menakutkan dari masa lalunya. Namun, Mira tidak bisa merasa aman. Ia tahu Connor akan segera mencarinya.
Dengan hati yang berdebar kencang, Mira mulai berjalan lagi, kali ini dengan langkah yang lebih pasti. Ia tidak tahu ke mana ia akan pergi, tapi yang jelas, ia harus terus bergerak. Kebenaran harus ditemukan, apapun risikonya.
Temperatur mulai hangat, dan musim semi terasa lebih menyengat menyelimuti kota Silvercrest. Mira berlari di sepanjang jalan. Deru napasnya terputus-putus, langkah-langkahnya terdengar samar di trotoar yang ramai. Rumah besar Connor, yang menyerupai penjara mewah, kini semakin jauh di belakangnya. Akhirnya, dia bebas—atau setidaknya itulah yang ia harapkan.
Perasaan lega yang ia pikir akan datang dengan kebebasan malah digantikan oleh kecemasan yang tak kunjung reda. Setiap suara gemerisik di sudut jalan, setiap bayangan yang bergerak dalam pandangan pinggirannya, terasa seperti ancaman. Berulang kali, Mira menoleh ke belakang, seakan membayangkan sosok-sosok misterius yang menguntitnya.
Namun, belum lama ia berjalan dengan gugup di antara lorong-lorong kota yang terasa padat, pandangannya menangkap sosok pria dengan postur tubuh yang familier. Seketika jantungnya berdebar lebih kencang. Light.
Mata Mira membelalak. Dia menghentikan langkahnya dan dengan cepat berbelok ke arah lain, menghindari kemungkinan pertemuan dengan pria itu. Ia tidak ingat banyak, tetapi satu hal yang jelas—Light adalah bayangan yang terus menghantuinya. Ia tidak tahu apa yang pria itu inginkan, tapi Mira yakin, ada keterkaitan erat antara dirinya, Light, dan semua misteri yang berkelindan di seputar hidupnya yang kini terhapus dari ingatan.
Saat Mira mempercepat langkahnya, melewati gang sempit yang berkelok, aroma daun-daun yang baru tumbuh di setiap pohon di sepanjang jalan bercampur dengan wangi makanan yang menguar dari restoran-restoran kecil di sekitarnya. Tiba di ujung jalan, penciuman Mira disuguhi aroma khas yang biasa ditemui di restoran Jepang, campuran antara kecap asin dan sup ikan.
Di depan restoran itu tampak seorang pria paruh baya sedang berdiri. Rambutnya sebagian telah memutih, tapi tatapannya penuh keyakinan. Dia mengenakan jas formal dengan kemeja terbuka di bagian leher, seperti seseorang yang sedang bersiap untuk meninggalkan pekerjaannya setelah seharian bekerja. Pria itu tersenyum padanya, dan entah kenapa, senyuman itu terasa menenangkan, meskipun Mira tidak mengenalnya. Atau ... apakah dia mengenalnya?
“Mira!” Suara pria itu menyapa dengan keras tapi lembut, membuat langkah Mira tertahan di tempat.
Mira terkejut. Bagaimana pria itu tahu namanya? Mira tak pernah ingat bertemu dengan orang ini sebelumnya.
“Siapa Anda?” tanyanya dengan hati-hati.
Pria itu tetap tenang, menatap Mira dengan penuh perhatian. “Aku Ryan Gotaro,” jawabnya, “kau mungkin tidak mengingatku, tapi aku ada di rumah sakit saat kau terbangun dari koma.”
Nama itu membangkitkan sesuatu di benak Mira, memicu bayangan-bayangan samar dari ingatan yang hilang. “Ryan ... Gotaro?” Mira mengulanginya dengan suara lirih, seolah berusaha meraba kenangan yang tersembunyi di balik tirai kabut.
Ryan mengangguk. “Aku pemilik restoran Jepang ini. Kita pernah bertemu beberapa kali, tapi mungkin kau tidak ingat sekarang. Aku melihatmu saat kau pertama kali sadar di rumah sakit. Kau tampak sangat kebingungan waktu itu, tapi ada semacam tekad di matamu. Seperti hari ini ... kau masih mencari jawaban, ‘kan?”
Mira merasa darahnya mendesir. Entah mengapa, kata-kata Ryan meresap dalam ke dalam dirinya, seolah pria ini tahu lebih banyak tentang hidupnya daripada dirinya sendiri. Bayangan rumah sakit mulai muncul samar-samar di pikirannya—ruang steril dengan cahaya putih yang menyilaukan, detak monitor yang monoton, dan rasa kekosongan yang menggerogoti kesadarannya.
Namun, Mira masih merasa ada yang tidak beres. Dia melangkah mundur, mengalihkan pandangannya ke jalan yang penuh dengan kebisingan kehidupan Silvercrest. “Aku ... tidak ingat,” katanya lirih, suaranya nyaris tenggelam oleh suara keramaian di kejauhan.
Ryan menghela napas panjang, seolah memahami kesulitannya. “Tidak apa-apa, Mira. Kau tidak perlu memaksakan diri untuk mengingat semuanya sekarang. Namun, aku pikir kau harus tahu. Banyak yang terjadi sebelum kau kehilangan ingatan. Ada banyak hal yang mungkin tidak kau sadari saat ini. Jika kau butuh bantuan, aku ada di sini.”
Kata-kata Ryan menggantung di udara, menambah berat beban di pundak Mira. Di antara rasa kehilangan yang tak terucap dan ketidakpastian yang membungkus hidupnya, kini muncul pertanyaan yang terus menggema dalam benaknya, siapa sebenarnya dirinya sebelum ingatannya hilang? Dan mengapa pria ini, seorang yang nyaris tak dikenalnya, tampak begitu peduli padanya?
Tapi sebelum Mira bisa menjawab, tatapan matanya teralih pada bayangan yang muncul di belakang Ryan—Light. Dengan tubuh yang tinggi dan tegap, pria itu berdiri seperti hantu dari masa lalu yang muncul untuk menghantuinya. Panik seketika merayap dalam d**a Mira.
Ryan menyadari perubahan ekspresi Mira dan berbalik perlahan. Light berdiri tegak, tenang, tapi aura ketegangan menguar dari pancaran matanya. Pandangan tegas Light dari mata hijaunya pun langsung tertuju pada Ryan, kemudian pada Mira.
“Light …,” ucap Mira lirih. Tubuhnya seketika menegang, tak tahu apa yang akan terjadi. Ada ketidakpastian yang merayap dalam benaknya.
Dengan langkah pelan tapi pasti, Light mendekat hingga akhirnya berdiri di antara mereka. Ryan mengangkat alis, tapi tidak bergerak. Atmosfer berubah menjadi lebih dingin. Sementara itu, Mira merasakan jantungnya berdetak lebih cepat, penuh dengan keraguan dan pertanyaan yang tak kunjung terjawab.
“Ryan,” kata Light dengan nada datar dan sarat akan peringatan. “Sebaiknya kau jangan banyak bicara.”
Ryan tidak langsung bereaksi, tapi tatapannya tetap tajam pada Light. Dia tahu ada sesuatu yang lebih besar dari yang tampak di permukaan, tapi tak ada gunanya menantang Light di saat seperti ini. Ryan hanya melirik ke arah Mira sejenak, menyadari bahwa wanita itulah yang paling terlihat bingung.
“Mira,” suara Light tiba-tiba berubah lembut, meskipun tetap tegas. “Kau harus pulang. Connor sedang menunggu.”
Mira terdiam sejenak. Ia ingin menolak, keinginan untuk menjauh dari rumah yang menyerupai penjara itu begitu kuat, tapi tatapan Light memerangkapnya, seakan ada sesuatu di balik mata pria itu yang memaksanya menurut. Ketidakpastian melanda diri Mira. Ada sesuatu dalam diri Light yang membuatnya merasa bahwa ini bukan waktu untuk melawan.
“Aku tidak ingin pulang sekarang,” ucap Mira pelan, meskipun suaranya terdengar ragu.
Light menghela napas dalam-dalam, lalu mendekati Mira dengan hati-hati, seperti seseorang yang mencoba menenangkan orang dalam tekanan yang sangat besar. “Percayalah, Mira. Ini bukan tempat yang aman untukmu. Pulanglah bersamaku.”
Mira menatap Light dengan bingung. Kenapa setiap orang seolah-olah ingin mengontrol hidupnya? Tapi ada sesuatu dalam cara Light berbicara yang menenangkan sebagian dari ketakutannya.
Melihat Mira yang ragu-ragu, Ryan membuka mulutnya, mencoba memberi peringatan kepada Light. “Jika kau membawa Mira pulang, katakan pada Connor bahwa dia tidak kabur,” ujarnya tegas. “Kau tahu Connor lebih baik dari siapa pun, Light.”
Light menatap Ryan dengan dingin, bibirnya terkatup rapat sebelum akhirnya ia mengangguk. “Aku akan mengurusnya,” jawab Light dengan nada rendah, seakan tak ingin perdebatan ini semakin panjang.
Mira merasa makin heran. Mengapa sepertinya semua orang sibuk melindunginya dari Connor? Dan kenapa mereka berbicara seolah-olah dia adalah sebuah masalah yang harus diselesaikan? Sebelum ia bisa bertanya lebih jauh, Light menggenggam pergelangan tangannya dengan lembut tapi kuat, membawanya menjauh dari Ryan.
“Tidak perlu khawatir, Mira. Semuanya akan baik-baik saja,” kata Light, suaranya terdengar menenangkan, tetapi tetap saja meninggalkan banyak keraguan dalam hati Mira.
Mira hanya bisa mengikuti langkah Light, sementara pikirannya penuh dengan kebingungan dan teka-teki yang belum terpecahkan. Perasaan ganjil terus menghantui Mira sepanjang perjalanan mereka kembali ke rumah Connor. Kenapa semuanya terasa begitu salah, begitu tidak masuk akal? Dan siapa sebenarnya yang bisa dia percayai dalam situasi ini?