Kebenaran Yang Dipertanyakan

1214 Kata
Light berdiri tegap di depan Connor, tubuhnya sempurna dalam balutan seragam militer yang bersih dan rapi. Mata birunya, tegas dan penuh hormat, mengunci pandangan pada Connor yang berdiri dengan postur tenang tapi mend0min4si. Suasana siang itu terasa sedikit menegangkan, meski sinar matahari musim semi menembus tirai jendela, menerangi ruangan dengan kelembutan hangat. “Tugasku sudah selesai, Mayor,” ucap Light dengan tegas, lalu menghentakkan kaki kanan ke belakang, dan memberi hormat dengan gerakan presisi yang sempurna. “Izin keluar, Sir!” lanjutnya. Connor membalas hormat dengan lebih lambat, tapi tatapannya masih mengawasi Light dengan seksama. “Izin diberikan,” tutur Connor. Light menurunkan hormatnya, lalu melangkah mundur satu langkah sebelum berbalik dengan penuh disiplin. Tanpa menoleh lagi, dia meninggalkan ruangan dengan gerakan yang terkendali. Saat pintu menutup perlahan, ada sesuatu dalam diri Mira yang seolah ikut hilang bersama kepergian Light. Mira merasakan kekosongan yang aneh, sebuah kekosongan yang dia tak pernah bayangkan sebelumnya. Perasaan itu seperti angin yang dingin menyelusup di antara celah jiwanya, menusuk dengan pelan tapi cukup tajam. Jantung Mira berdetak lebih cepat, tapi entah mengapa terasa hampa, seakan-akan sesuatu yang tak terlihat telah direnggut dari dalam dirinya dan mengikuti langkah Light pergi. Kenapa aku merasa seperti ini? Kepala Mira berputar-putar dengan perasaan bingung. Hatinya merasa sakit secara tiba-tiba, seperti ada yang menancapkan belati diam-diam. Mira berusaha menenangkan diri, tetapi bayangan Light terus menghantuinya. Ada sesuatu tentang pria itu, sesuatu yang tak terdefinisikan. Mira berusaha mengabaikan perasaan aneh itu. Sayangnya, hati Mira justru merasa semakin sakit. Aneh. Connor, yang berdiri di samping Mira, memperhatikan perubahan mendadak pada wajah Mira. Senyum manis yang tadi menyambutnya kini tergantikan oleh raut wajah kosong yang seolah jauh dan tak dapat dijangkau. Mata Connor menyipit, amarahnya yang terpendam perlahan mulai mendidih di bawah permukaan ketenangannya. Connor tidak bisa lagi menahan dirinya. "Kenapa?" tanya Connor dengan nada yang tak lagi lembut. "Kenapa kau pergi tanpa izin dariku?" lanjutnya dengan suaranya dingin dan ada nada marah yang jelas tergambar. Mira terkejut mendengar perubahan nada suara Connor. Dia menoleh, dan tatapannya langsung bertemu dengan mata Connor yang berkilat marah. "Aku ... aku hanya ingin keluar sebentar," jawab Mira pelan, suaranya hampir tidak terdengar di tengah-tengah ruang besar itu. Connor beringsut mendekat, kemudian mendekatkan wajahnya ke samping wajah Mira. "Keluar sebentar?" ulang Connor dengan ketus. "Tanpa memberitahuku? Tanpa izin? Apakah kau lupa siapa dirimu sekarang?" Ucapan Connor semakin tajam, tiap kata menekan seperti belati yang diputar di dalam luka. Mira mundur sedikit, matanya melebar, berusaha memahami ledakan emosi yang tiba-tiba dari pria yang mengaku mencintainya itu. "Aku tidak berniat membuatmu marah, Connor. Aku hanya butuh waktu untuk sendiri," gumamnya dengan nada yang lemah. Namun, kata-katanya seolah hanya menambah api dalam kemarahan Connor. "Tidak berniat membuatku marah?" Connor tertawa pendek, penuh dengan kemarahan yang terselubung. "Kau pikir dengan kabur dari rumah ini tanpa pengawalan, tanpa memberitahuku, itu adalah hal yang kecil?" Connor meraih pergelangan tangan Mira dengan keras, membuat Mira meringis. Tatapan mata Connor tajam dan penuh kecurigaan. "Apa yang sebenarnya kau pikirkan, Mira? Apa yang kau sembunyikan dariku?" Mira merasa tubuhnya menegang. Ada sesuatu yang sangat tidak beres dengan Connor saat ini, sesuatu yang membuat hatinya semakin gelisah. "Aku ... aku tidak menyembunyikan apa-apa. Aku bahkan tidak tahu apa-apa.” Mira mencoba melepaskan pergelangan tangannya dari genggaman Connor, tapi cengkeraman Connor terlalu kuat. Connor menghela napas panjang, berusaha mengendalikan dirinya. Namun amarahnya masih terlihat jelas di matanya. "Kalau begitu, jangan pernah melakukan itu lagi," ucapnya dengan nada rendah yang mengancam. Connor melepas pergelangan tangan Mira dengan kasar, membuat Mira terhuyung sedikit ke belakang. Mira menggigit bibir bawahnya, mencoba menahan air mata yang mulai menggenang di pelupuk mata. Meski tubuhnya terasa gemetaran, Mira berusaha keras menjaga ketenangan. "Aku hanya butuh sedikit kebebasan, Connor," katanya pelan, hampir seperti permohonan. “Aku merasa seperti tahanan di rumah ini. Kau sendiri tidak pernah mengatakan dengan jelas siapa aku, apa yang terjadi pada diriku, dan ….” Mira melihat ke sekeliling ruangan, kemudian menfokuskan kembali pandangannya pada Connor. “Jika benar kita suami-istri, kenapa tidak ada satu pun foto pernikahan kita di rumah ini? Dan jika itu tidak ada, setidaknya ada foto kita berdua di sini? Apakah kau benar suamiku, Connor?” Connor tidak menjawab. Dia hanya berdiri dan mengamati Mira dengan pandangan yang tidak terbaca. Connor menatap Mira dalam-dalam, seolah menyelidiki hingga ke dalam jiwa wanita itu. Ruangan itu terasa penuh oleh ketegangan yang membara, seperti badai yang siap meledak kapan saja. Suara napasnya yang teratur menjadi satu-satunya hal yang memecah keheningan di antara mereka. Setelah beberapa detik yang tampak seperti selamanya, Connor akhirnya berbicara. “Kalau begitu, biar aku tunjukkan sesuatu,” ucapnya dengan suara rendah, nyaris berbisik, tapi penuh kontrol. Tanpa menunggu jawaban dari Mira, dia menariknya keluar dari ruangan itu dengan langkah cepat, tangannya kembali menggenggam pergelangan Mira, tapi kali ini lebih lembut. Sayangnya, Mira masih bisa merasakan kekuatan di balik genggaman itu, kekuatan yang tak ingin dibantah. Mereka menuruni tangga menuju bagian belakang rumah besar tersebut, area yang tampak jarang dijamah, penuh dengan ruangan tertutup yang belum dipakai. Udara di sini lebih dingin, sedikit pengap, seolah menahan napas dari sejarah yang belum terungkap. Connor membuka pintu besar dengan sentakan ringan, mengungkapkan sebuah ruang penyimpanan besar yang dipenuhi dengan kotak-kotak dan barang-barang yang tertata rapi tapi belum dibongkar. Ruangan itu sedikit gelap, hanya diterangi oleh lampu gantung kuno yang berayun pelan. Sinar lembut menyelimuti ruangan dalam nuansa kekuningan. “Kita baru saja pindah ke rumah ini,” Connor berkata dengan suara serak. “Ada banyak hal yang belum selesai di sini, termasuk menata barang-barang kita.” Mira memperhatikan ruangan itu dengan hati-hati, mata hazelnya menyisir setiap sudut, mencari sesuatu yang familiar di antara tumpukan barang-barang tak tersentuh. Di sudut ruangan, Mira melihat sesuatu yang menarik perhatiannya. Sebuah foto berbingkai emas besar yang tergeletak di atas meja kayu. Perlahan, Mira mendekati meja itu, seolah-olah ia takut bahwa apa pun yang ada di dalam bingkai tersebut bisa mengubah segalanya. Tangannya gemetar saat dia mengangkat bingkai tersebut. Dan ketika dia melihat foto di dalamnya, hatinya tercekat. Itu adalah foto pernikahan mereka. Connor tampak tampan dan gagah dalam seragam militernya, sementara Mira, dirinya tersenyum bahagia dengan gaun pengantin putih, menatap Connor dengan penuh cinta dan kebanggaan. Foto itu adalah gambaran yang sempurna dari cinta yang murni dan tulus. Tapi bagaimana mungkin? Mira tidak ingat pernah berdiri di samping Connor, apalagi mencintainya sampai sedalam itu. Di samping foto pernikahan berbingkai emas itu, ada foto-foto lain yang menampilkan mereka berdua dalam berbagai momen kebersamaan. Mereka tersenyum, tertawa, terlihat bahagia, bahkan mesra. Di satu foto, mereka duduk bersama di sebuah taman, tangannya melingkari bahu Connor, dan di foto lain, Connor sedang menggendong Mira dengan penuh tawa. Mira menatap gambar-gambar itu dengan perasaan bercampur aduk. Hatinya bergolak. Kenapa aku tidak bisa mengingat ini semua? Connor melangkah mendekat pada Mira dan berhenti tepat satu langkah di belakang Mira, lalu dengan lembut meletakkan tangannya di bahu wanita itu. “Kau memang tidak ingat apa pun, bukan?” tanyanya pelan, hampir terdengar seperti rasa sakit yang tersembunyi dalam suaranya. "Aku sudah menduga hal ini akan terjadi, tapi melihatmu begitu ... kosong, itu lebih sulit dari yang kubayangkan." Mira terdiam. Pertanyaan itu kembali muncul dalam benaknya, menghantui setiap langkahnya, siapakah dirinya sebenarnya? Apa yang telah terjadi padanya? Apakah dia benar-benar istri dari pria ini, atau hanya pion dalam permainan besar yang belum diketahuinya?
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN