“Di mana aku?”
Mirabel Bennette membuka matanya perlahan, menyingkap dunia yang samar-samar di depannya. Untuk sesaat, segala sesuatunya tampak kabur seperti mimpi yang belum sepenuhnya memudar. Cahaya putih yang terpantul dari dinding-dinding steril rumah sakit terasa begitu menyilaukan, memaksanya untuk menyipitkan mata. Suara mesin monitor yang berdetik ritmis dan aroma antiseptik yang tajam memenuhi udara, menegaskan kenyataan di mana ia berada.
Namun, ada sesuatu yang tidak beres. Ada kehampaan yang mencekam, menyelimuti pikiran Mira dengan jubah kegelapan yang tak tertembus. Mira mencoba menggerakkan tubuhnya, merasakan dinginnya seprai di bawah tangan yang lemah. Namun, tidak ada kehangatan atau kenyamanan dari sentuhan tersebut. Semuanya terasa asing.
Mira menoleh perlahan ke samping, ke sisi ranjang. Di sana, berdiri seorang pria yang tampak berwibawa dalam balutan seragam militer yang rapi. Bahu pria itu terlihat kokoh dan kuat seakan sedang membawa beban yang tak kasat mata. Iris birunya yang dingin menatap Mira dengan intensitas yang sulit diabaikan. Tapi siapa dia? Nama dan wajahnya melayang-layang di batas kesadaran Mira.
"Siapa kau?" suara Mira serak, hampir tak terdengar, tenggelam dalam kekacauan yang bergolak di dalam d4d4nya. Pertanyaan itu meluncur begitu saja, tanpa filter, dan tanpa rasa takut. Semuanya muncul dari kepolosan seseorang yang benar-benar tersesat dalam pikirannya sendiri.
Pria itu, Connor Sullivan, menatap Mira dengan tatapan yang penuh keprihatinan, tetapi tetap terjaga dalam wibawa. "Mira, ini aku, Connor. Jangan khawatir, kau aman sekarang," suaranya lembut dan tegas, seakan kata-kata itu seharusnya membawa kenyamanan dan kelegaan.
Namun, bukannya merasakan kedamaian, d4d4 Mira justru semakin sesak. Nama Connor menggema di telinganya, tapi tidak memunculkan bayangan atau kenangan apa pun. Hanya kekosongan. Mata Mira bergerak liar, menatap sekeliling ruangan yang dipenuhi alat-alat medis dan peralatan rumah sakit, mencoba mencari sesuatu, apa saja, yang bisa memberinya petunjuk. Kendati demikian, tidak ada satu pun yang berhasil menghubungkan pikirannya dengan dunia yang nyata.
"Aku tidak ... aku tidak tahu siapa kau," ucap Mira, suara itu keluar dengan nada nyaris frustrasi. "Di mana aku? Mengapa aku di sini? Apa yang terjadi?" Pertanyaan demi pertanyaan meluncur tanpa henti, semakin memperlihatkan kekalutan yang mulai menggerogoti batinnya.
Connor menghela napas panjang. Matanya yang dingin kini menampakkan secercah kehangatan yang jarang terlihat. Ia meraih tangan Mira yang gemetar, menggenggamnya erat seolah itu adalah jangkar yang bisa menahan mereka berdua dari arus kehancuran. "Mira, kau mengalami kecelakaan. Kau tidak ingat apa pun?"
Mira menggeleng, air mata mulai menggenang di sudut matanya. "Aku tidak tahu. Aku tidak ingat apa-apa. Siapa aku? Siapa kau? Mengapa aku di sini?" Keterpurukan itu semakin dalam, seperti pasir hisap yang menariknya ke dalam jurang tanpa dasar.
Connor mencoba tersenyum, meskipun senyum itu lebih menyerupai topeng yang rapuh. "Kau Mirabel Bennette dan sekarang sudah menjadi Mirabel Sullivan," ujarnya lembut, "kau istriku. Dan kau aman sekarang. Itu yang terpenting."
Mira menatap pria itu, Connor, dengan rasa takut yang semakin menumpuk di dalam hatinya. Suaminya? Bagaimana mungkin? Bagaimana mungkin ia tidak mengingat pria yang seharusnya menjadi orang terdekatnya? Perasaan asing itu membuatnya merasa seolah-olah ia terjebak dalam tubuh orang lain, dalam kehidupan yang bukan miliknya.
Kemudian, seorang pria lain memasuki ruangan, wajahnya cemas dan penuh kehangatan yang nyata. Pria itu—Ryan—berdiri di samping ranjang, tatapannya penuh dengan rasa sayang dan keprihatinan. "Mira," panggilnya lembut, "apa kau baik-baik saja?"
Mira hanya bisa menatapnya dengan pandangan kosong, kebingungan dan ketakutan semakin menumpuk. "Aku tidak mengenal kalian," gumamnya, suara yang bergetar itu hampir hancur oleh tangis yang tertahan. "Siapa kalian? Mengapa aku tidak ingat apa-apa?"
Ryan dan Connor saling bertukar pandang, keheningan yang menekan menggantung di antara mereka, seolah-olah ada sesuatu yang tidak bisa mereka katakan di depan Mira. Sesuatu yang lebih dalam dari sekadar hilangnya ingatan.
"Aku tidak berpura-pura," ucap Mira lagi, hampir seperti memohon kepada mereka untuk percaya padanya, untuk tidak menyalahkannya atas kekosongan yang mengisi pikirannya. "Aku sungguh-sungguh tidak ingat apa pun."
Connor mengusap wajahnya dengan kasar, lalu menatap Mira dengan intensitas yang membuat jantung MIra berdebar.
"Aku tahu kau tidak berpura-pura, Mira," kata Connor, suaranya rendah dan dalam, seolah-olah ia sedang berbicara lebih kepada dirinya sendiri daripada kepada Mira. "Kita akan melewati ini bersama. Aku akan membantumu mengingat."
Mira hanya bisa menatap Connor tanpa berkata apa-apa, rasa takut yang semakin besar menelan dirinya. Kehilangan ingatan ini bukan sekadar kabut di dalam pikirannya, tapi sebuah jurang yang memisahkannya dari dirinya sendiri, dari dunia yang ia tidak lagi kenali.
Waktu seakan berhenti bagi Mira, dunia di sekitarnya berubah menjadi kabut yang tidak dapat ditembus, meninggalkan dirinya sendirian di dalam kehampaan yang tak berujung. Air mata yang panas mengalir di pipinya tanpa henti, dan suara hatinya tenggelam dalam keraguan yang menyakitkan.
Dan di tengah kabut itu, satu pertanyaan terus berputar dalam pikiran Mira, siapa sebenarnya dia dan mengapa semuanya terasa begitu salah?
Setelah berdiskusi alot dengan Ryan, akhirnya diputuskan bahwa Mira akan dibawa pulang. Sore itu juga Connor membawa Mira pulang ke rumah mereka.
Mira duduk di tepi ranjang megah yang terlalu asing untuk disebut kamar. Jari-jarinya meraba seprai sutra yang dingin, mencoba mencari kenyamanan di tengah kebingungan yang melingkupi. Ruangan itu penuh dengan kemewahan yang seakan-akan ingin menekannya. Lantai marmer, dinding putih yang bersih, dan jendela-jendela besar tampak terawat dengan sempurna.
Connor berdiri di dekat pintu, mata birunya berkilat menatap Mira. "Ini rumah kita, Mira," ucapnya lembut, suaranya seperti belaian yang berusaha menenangkan badai di dalam diri Mira. "Di sini kau akan aman."
Meski demikian, dalam hati Mira ada sesuatu yang bergejolak, sebuah firasat yang tidak bisa ia abaikan. Biarpun senyuman Connor tampak tulus, ada bayang-bayang di matanya yang tak bisa ia baca, sebuah kedalaman yang gelap dan penuh rahasia.
Mira menggelengkan kepala, tatapannya jatuh ke lantai yang berkilau di bawah kakinya. "Aku tidak ingat," bisik Mira. Suaranya hampir tenggelam dalam keraguan. "Aku tidak merasa ini rumahku."
Connor mendekat, duduk di samping Mira dengan gerakan yang hati-hati, seolah-olah ia takut akan memecahkan sesuatu yang rapuh. Tangannya menyentuh punggung tangan Mira dengan kehangatan yang aneh, seperti sentuhan yang seharusnya Mira kenali tapi terasa asing. "Kau hanya butuh waktu," kata Connor, “dan aku akan ada di sini untukmu, Mira. Aku akan menjagamu."
Mira menarik napas dalam-dalam, tetapi udara yang masuk ke paru-parunya terasa berat, seperti beban yang tidak bisa ia hilangkan. Setiap inci dari ruangan ini, dari kehadiran Connor yang terlalu dekat, terasa seperti jerat yang perlahan menutup, membuatnya terjebak dalam dunia yang bukan miliknya.
Dalam keheningan yang menyiksa itu, hanya satu pikiran yang terus berputar dalam benaknya, bisakah ia benar-benar mempercayai pria yang mengaku sebagai suaminya? Mata Mira menatap tajam ke jendela, berharap menemukan jawaban di balik hamparan langit yang mulai gelap, tetapi yang ia temukan hanya kekosongan yang semakin dalam.