Aku Mencintaimu

1022 Kata
07 Aruna baru selesai membersihkan diri ketika ponselnya berdering. Sambil menggosok-gosok rambut dengan handuk, perempuan berkulit putih itu meraih ponsel yang tengah diisi daya dari atas meja rias. Mencabut kabel terlebih dahulu sebelum mendekatkan benda itu ke telinga kanan. "Halo?' sapanya sembari mendudukkan diri di pinggir tempat tidur. "Hai, Sayang," balas suara pria yang sangat dikenalnya dari seberang telepon. Aruna tertegun sejenak. Sedikit bingung dengan perubahan suasana hatinya. Bila biasanya dia sangat senang bila Sammy menelepon, tetapi kali ini tidak. Rasa rindunya sudah menguap seiring dengan merenggangnya hubungan mereka dalam dua minggu terakhir. "Kok diam?" tanya Sammy. "Lalu aku harus jawab apa?" Aruna balas bertanya. "Nggak kangen sama aku?" Aruna mendengkus tanpa sadar. Sammy yang mendengar hal itu mengerutkan dahi. Dia merasa aneh dengan sikap Aruna yang belakangan ini menghindarinya. Bahkan saat beberapa kali bertemu, Aruna menanggapi kedatangannya dengan ekspresi wajah datar. "Sayang," panggil Sammy lagi. "Aku kangen," sambungnya. "Sorry, Sam. Aku lagi sibuk. Kututup dulu, ya." Aruna meneguhkan hati dan menekan tanda merah di layar ponsel. Kabel penghubung daya dipasang kembali. Selanjutnya Aruna mengabaikan benda itu yang tak henti-hentinya berdering. Bersahut-sahutan dengan tanda masuk pesan yang diyakininya dari pria itu. Perempuan berambut panjang itu meletakkan handuk ke bangku kecil depan meja rias. Menatap pantulan wajahnya dari cermin rias. Selama beberapa detik Aruna termangu. Meratapi nasibnya yang tidak beruntung. Semenjak kedua orang tuanya meninggal dunia akibat kecelakaan lalu lintas saat dirinya baru masuk kuliah, Aruna merasa kesepian. Papanya yang merupakan anak tunggal, membuat Aruna tidak memiliki saudara sepupu. Satu-satunya kerabat yang Aruna punya hanyalah seorang perempuan yang dipanggilnya dengan sebutan bibi Rianti. Perempuan itu adalah adik sang mama, yang sekarang bertempat tinggal di Sydney, setelah menikah. Meskipun tidak terlalu dekat, tetapi Aruna masih sering berhubungan dengan Rianti. Bahkan, perempuan yang memiliki dua orang anak laki-laki itu pernah meminta Aruna untuk ikut tinggal dengannya. Akan tetapi, saat itu Aruna menolak karena sudah telanjur terikat kontrak dengan sebuah agensi, tempat dia mengais rezeki sebagai seorang model. Suara panggilan yang disertai dengan ketukan memutus lamunan Aruna. Perempuan itu berdiri dan jalan menuju pintu. Membuka benda besar itu dan beradu pandang dengan Keven yang tengah mengacungkan paper bag. "Aku beli ini, temenin ngemil, yuk!" ajak Keven. Pria itu sedikit terkejut ketika melihat raut wajah Aruna yang tampak gundah. "Ada apa?" tanyanya. Aruna menghela napas berat, lalu menarik tangan Keven. Menutup pintu setelah pria itu memasuki ruangan dan berdiri di dekat kursi tunggal di sudut kiri tempat itu. "Dia nelepon," ucap Aruna dengan suara pelan. "Sammy?" tanya Keven. "Hu um." "Lalu?" Aruna mengangkat bahu, bertepatan dengan dering ponsel kesekian kalinya. "Aku tutup, dan dia nelepon terus." Keven mengangguk, dia paham, karena hal seperti itu akan selalu terjadi bila Aruna dan Sammy tengah bertengkar. "Kalian berantem?" Aruna kembali mengangkat bahu, kemudian mendudukkan diri di kursi. "Aku ... udah males nanggepin telepon dia." "Kenapa?" Keven mendekat dan mengulurkan paper bag. "Aku nggak mau ... nerusin hubungan kami. Buat apa juga dipertahankan bukan?" Aruna membuka paper bag dan mengambil kentang goreng yang masih hangat itu, lalu menyuapkannya ke mulut. "Yakin?" Aruna mengangguk lemah. "Kamu benar, Kev. Aku juga nggak yakin kalau dia ... akan kembali padaku, nanti." Keven menghempaskan tubuh ke pinggir tempat tidur. Mengunyah kentang bagiannya sendiri sambil memandangi Aruna yang tengah melamun. Keven sadar, saat ini Aruna hanya membutuhkan pendengar, bukan penasehat. "Aku nyadar banget, kalaupun memaksa untuk terus bertahan menunggu, berarti aku jadi racun di pernikahannya. Dan ... aku nggak mau kalau pernikahanku nanti juga ada racunnya. Jadi ... lebih baik ini diakhiri aja," ungkap Aruna. "Aku capek jadi yang kesekian dari prioritasnya. Lelah menjalani kehidupan kayak gini. Ngumpet-ngumpet, kayak maling." "Selain itu, aku juga ... merasa jijik bila dia hendak menyentuhku. Karena tahu bahwa dia dan ...." Aruna tidak meneruskan ucapannya, dan hanya menggeleng pelan. Merasa kecewa sekaligus malu karena pernah begitu menyukai hubungan fisik dirinya dengan Sammy. "Hapemu bunyi mulu." Keven mengarahkan dagu ke meja rias. "Biarkan aja, aku lagi gak mood buat ngobrol." "Ehm, sama aku nggak mood juga?" Aruna tersenyum tipis. "Kecuali kamu, Kev." "Oh, syukurlah. Kirain ke aku juga." "Mana bisa aku ngediamin kamu? Karena saat ini, cuma kamu satu-satunya sahabatku." Keven mengangguk. "Iya, tapi setelah dipikir-pikir, aku pengen lebih dari sekadar sahabat." "Kev!" "Hmm?" "Kita udah pernah ngomongin soal ini kan?" "Yups." "Aku masih butuh waktu. Nggak mau nerima kamu tapi hatiku masih ke dia. Nggak adil buatmu." "Iya, Na, aku paham." Aruna kembali terdiam. Merapikan rambut yang masih lembab dengan menggunakan jari. Pikiran yang penuh membuat otak terasa penat. Tanpa sadar Aruna berulang kali menghela napas panjang, tidak menyadari bila Keven terus memperhatikan gerak geriknya. Detik berubah menjadi menit. Aruna menguap tanpa sempat menutup mulut. Keven yang melihat itu hanya tersenyum, kemudian berdiri dan beranjak mendekat. "Istirahatlah, besok kan kita mau ke Tanjung Benoa," ucapnya. Aruna mengangguk mengiakan. Ikut berdiri dan jalan bersama Keven menuju pintu. Ketika pria itu tiba-tiba berbalik, menarik tubuhnya dan mendekap erat, Aruna merasa terkejut saat menyadari bila dirinya merasa nyaman dalam dekapan pria tersebut. Waktu seakan-akan berhenti berputar. Keven mengusap rambut hingga punggung Aruna, yang memejamkan mata sambil memegangi lengan Keven. Aruna menghidu dalam-dalam aroma parfum Keven yang sangat khas. Sementara Keven menghirup wangi sampo yang sedikit memabukkan. Keven menegakkan kepala kemudian menengadahkan wajah Aruna hingga tatapan mereka bertemu. Keduanya sama-sama menelisik pancaran netra. Mencoba menyelami isi hati dari pasangan. Perlahan Keven merunduk, menyapukan bibir ke dahi Aruna. Bergeser ke mata dan mengecup kedua kelopak yang tertutup. Menyusuri setiap inci kulit halus Aruna sambil menahan diri untuk tidak bertindak gegabah. Aruna menahan napas kala merasakan sentuhan Keven berhenti di sudut kanan bibirnya. Aruna tidak mengerti kenapa saat ini dia membiarkan Keven melakukan hal itu. Aruna hanya tahu bila sentuhan Keven membuatnya merasa sangat disayangi. "Aku mencintaimu," bisik Keven tepat di depan bibir Aruna. Perempuan itu langsung membuka mata dan mundur sedikit. Menatap Keven dengan mata berkabut, kemudian menggeleng pelan sambil menunduk. Keven yang merasa ditolak, akhirnya mengurai pelukan. Menyugar rambut dengan gerakan canggung, lalu mendengkus dan beranjak menjauh. Aruna memandangi punggung pria itu hingga menghilang di balik pintu. Merasa menyesal karena belum bisa membalas cinta Keven. Bulir bening luruh dari sudut matanya. Kian lama kian deras dan membentuk aliran anak sungai membasahi pipinya yang halus.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN