Dua minggu telah berlalu. Namun, kabar dari Rafael tak pernah di dengar Mayra. Kini Mayra sangat khawatir, ia sering menelpon Rafael. Namun, ponsel Rafael tidak pernah bisa di hubungi. Apa ini akhir dari hubungan mereka? Kenapa sekali saja Rafael tak pernah menelpon, mengapa Rafael menaruh bekas yang begitu terngiang di telinga Mayra.
Mayra kini membayangkan perkataan Raihan, Rafael adalah orang asing yang berasal dari Negara lain, ia bisa saja meninggalkan Mayra dan bisa saja mencampakkan Mayra. Apa itu benar? Namun, mengapa sangat menyakitkan? Meski kenangan hanya beberapa minggu saja terbayang di kepala Mayra.
Mayra tak bisa memungkiri, bayang wajah Rafael selalu datang di setiap ia membuka mata. Mayra sangat bersyukur ketika bayangan kekasihnya itu datang dan ia pun menikmati setiap detiknya. Mayra senang, setidaknya bayangan Rafael masih terlihat jelas walaupun sosok nyata pria bule itu sungguh tak terlihat.
"May, kamu makan dulu donk, aku sudah siapin makanan kesukaan kamu." kata Tari, mencoba membuat Mayra sadar dari lamunannya.
"Aku gak lapar, Tar."
"Aku yakin, kok, Pak El pasti akan kembali."
"Aku merindukannya, Tar." kata Mayra, duduk menutupi wajahnya dengan kedua lututnya.
Tari mendengkus, ia bingung bagaimana membuat Mayra mau makan, sejak dua hari, Mayra tidak pernah mau menyentuh makanan apa pun, di kantor pun ia lebih baik duduk daripada harus bercerita seperti biasa.
Rafael memberikan bekas luka yang dalam untuk Mayra, kenangan itu sebagian dari luka untuk Mayra, ia hanya bisa berharap dan menanti di sini. Meski ia pun tak tahu sampai kapan ia akan menunggu.
"Jarak, memang masih menjadi momok bagi setiap hubungan. Termasuk hubungan kamu dan Pak El. Karena, dengan jarak, masalah lainnya bisa datang. Mulai dari kesalahpahaman masalah yang sepele, rasa cemburu yang sering bermunculan, fikiran negatif, dan lain sebagainya. Masalah inilah yang sering membuat pasangan hubungan jarak jauh menjadi tidak bisa bertahan lama. Namun, aku sangat berharap, untuk hubungan kalian, kalian sama-sama bertahan, saling menjaga komitmen dan berhasil memperpanjang usia hubungan kalian." kata Tari, duduk di hadapan Mayra yang tengah menekuk lututnya dan menenggelamkan wajahnya di sela kedua lututnya.
Dalam kenyataan, jarak menjadi penghalang hubungan Rafael dan Mayra. Namun, rindu itu selalu melukai hati Mayra yang tak tahu sampai kapan ia menunggu. Namun, apa boleh buat, yang Mayra lakukan hanya menunggu semoga waktu cepat berlalu sehingga jarak mereka terasa semakin dekat.
Tari memeluk Mayra, menarik Mayra ke pelukannya, Mayra dengan tangis memecah membuat Tari tak tega melihat sahabatnya itu menangis.
****
Rafael tengah di pemakaman sang Ayah, sang Ayah sudah pergi untuk selamanya, menghadap Tuhan sang pencipta, Rafael sangat sedih melihat tubuh sang Ayah terbujur kakuh.
Rafael pun tengah menyalami para pelayat yang datang memberikan ucapan duka pada Rafael dan sekeluarga, Rafael kini hidup sendirian, karena kekuasaan dan ambisi keluarganya, akhirnya harus mengorbankan nyawa sang Ayah yang selalu berharap sembuh dari sakit yang tak berujung.
"Sabar, El, beliau sudah tenang." kata Damian, menepuk pundak sahabatnya.
Rafael mengangguk.
"Apa rencanamu?" tanya Damian, membuat Rafael mendongak menatap nisan sang Ayah.
"Rencanaku?"
"Kamu harus menggantikan ayahmu sebagai pemilik perusahaan, El, jangan membuat musuh kembali mendekat jika kamu tak bersedia menerima jabatan itu." kata Damian, membuat Rafael berjalan meninggalkan pusarah sang Ayah, mencoba menjauh dari keramaian.
"Aku akan menerimanya." kata Rafael.
"Kalau begitu, pensiun saja menjadi pilot."
"I can not, Dam, aku akan menjalankan perusahaan. Namun, tak bisa meninggalkan pekerjaanku sebagai pilot."
"Bagaimana caranya? Kamu bekerja di Indonesia, bukan di Jerman dan para pegawai perusahaan tidak tahu tentang kamu." kata Damian.
"I know, karena itu aku akan memundurkan diri dari perusahaan Indonesia dan memulai bekerja di sini, aku juga akan membuat pertemuan dengan para pemegang saham juga mengunjungi setiap anak cabang untuk memperkenalkan diri." kata Rafael.
"Itu ide yang luar biasa." jawab Damian.
"Bantu aku, Dam dan selalu lah ada di sampingku." kata Rafael.
Rafael begitu terkejut ketika seorang wanita memeluknya erat, menangis di pelukannya dan berusaha tak melepaskan pelukannya meski Rafael berusaha keras melepas pelukan wanita itu. Dia adalah Shofie Xander, seorang wanita karir yang memiliki perusahaan shorum mobil-mobil mewah.
"Lepaskan, Shof." kata Rafael, membuat Shofir akhirnya melepaskan pelukannya.
"Aku turut berduka cita atas meninggalkan Uncle, El, aku tidak pernah menyangka beliau akan pergi secepat itu." kata Sofhie, menitikkan air mata.
"Baiklah." kata Rafael.
"Kamu gak senang aku di sini? Aku terbang dari Brazil hanya untuk menemuimu." kata Mayra, membuat Rafael menggeleng.
"Kenapa melepaskan pekerjaanmu? Aku baik-baik saja, semua yang hidup akan mati juga, 'kan?" tanya Rafael, membuat Damian menyikut Rafael agar tak berbicara seperti itu pada Shofie, wanita cantik keturunan bangsawan dan dia adalah salah satu anak gadis dari pemegang saham di perusahaan.
Sofhie mendengkus, Rafael memang selalu saja menolak kehadirannya meski ia berusaha sebaik mungkin.
"Ada apa denganmu?" bisik Damian.
"Aku harus pergi, urus Shofie." kata Rafael.
"Baiklah, Shof, aku harus pergi, banyak yang harus ku kerjakan sekarang, karena tugas ayahku sudah menjadi tanggung jawabku." kata Rafael, berlalu meninggalkan Shofie dan Damian.
"Kapan kamu tiba?" tanya Damian.
"Barusan, dan aku langsung kemari, kenapa, sih, pria itu susah sekali di baikin?" dumel Shofie.
"Kamu, kan, tahu, sejak dulu Rafael bagaimana, kamu seperti tidak mengenalnya saja." kata Damian.
"Iya. Namun, aku pikir dia sudah berubah setelah 2 tahun tidak bertemu denganku." kata Shofie, membuat Damian terkekeh.
"Dam, kamu menertawaiku?"
"Kamu terlihat manis jika sedang mengomel." kata Damian, membuat Shofie memukul lengan Damian.
"Ish, apaan, sih? Ya sudah, antarin aku ke rumah." kata Shofie.
"Siap, Bubos." Damian memberi hormat, membuat Shofie tertawa. Karena, sejak dulu Damian selalu memperlakukannya dengan baik, beda dengan Rafael yang selalu mengusirnya dan tidak mau menolongnya.
****
Mayra berjalan memasuki ruangan, membuat semua orang melihatnya, mata panda di sekitaran kelopak mata Mayra sungguh sudah terlihat menghitam, membuat para pramugari dan staf lainnya penasaran pada perubahan sikap Mayra, biasanya Mayra selalu menyapa. Namun, kali ini sudah tak pernah menyapa para pramugari.
Suara ketukan pintu terdengar, membuat Mayra mendongak.
"Pak Harjum?" Mayra berdiri seketika, ketika melihat atasannya itu berkunjung ke ruangannya.
"Kamu harus bersiap, besok berangkat lah ke New York, akan ada rapat dengan para divisi." kata Pak Harjum, membuat Mayra mengangguk.
"Iya, Pak, saya akan berangkat."
"Jangan telat, besok sore kamu harus sudah sampai di New York." kata Pak Harjum, "Dan, ini buku catatan, pelajari saja, agar kamu tak kesulitan." tambahnya.
"Iya, Pak, saya sudah tahu berbahasa Inggris." kata Mayra, membuat Pak Harjum menepuk tangannya.
"Kamu belajar banyak ternyata, ya sudah... kamu tetap harus membawa buku catatan itu." kata Pak Harjum, lalu berjalan meninggalkan Mayra.
Sepeninggalan Pak Harjum, Mayra kembali duduk di kursi kerjanya dan menyalakan layar komputernya.
"May, kamu akan berangkat lagi?" tanya Tari, ketika berpapasan dengan Pak Harjum.
"Iya."
"Bagus, donk, kamu jadi bisa nyantai di sana." kata Tari.
"Iya, Tar, kamu ada jadwal?"
"Hem, iya, jadwalku harus ke Bali."
"Baiklah."
"May, kamu mau makan siang denganku? Di warung Bu Darmi?"
"Kamu, kan, harus berangkat."
"Aku berangkatnya jam 11, jadi aku mau makan siang bersamamu jam 10." kata Tari.
"Jangan berusaha menguatkan dan menghiburku, Tari, aku baik-baik aja kok sekarang, mungkin Rafael bukan jodohku, aku gak di khianatin sekali doank loh, sudah dua kali, kasus Raihan meninggalkanku dan memilih menikah dengan wanita lain membuatku banyak belajar tentang sebuah perpisahan. Jadi, gak masalah, mungkin beberapa hari ini aku nangis. Sekarang, udah gak lagi." kata Mayra, mencoga menguatkan diri, meski kasus Raihan sangat berbeda dengan Rafael. Rafael lebih membekas di hatinya dan tak bisa sembuh begitu saja meski ia berusaha.
"Apa kamu gak ada denger kabarnya dari Ibu Danessa?"
"Aku gak pernah nanyain, sih, gak usah di bahas, ya, sekarang ini aku berusaha ngelupain dia aja." kata Mayra.
"Tapi, kamu masih pakai kalung pemberian dia."
"Ini, kan, bisa jadi uang." kekeh Mayra.
"Ish, uang terus di pikiranmu itu." kekeh Tari, membuat Mayra tersenyum.
"Ya udah, aku gak akan ngajak kamu makan siang, aku harus berangkat." sambung Tari, membuat Mayra mengangguk.
"Iya, aku juga entar malam bakal packing barang, buat berangkat besok."
"Kamu yang kuat, ya, aku tahu, kok, meski kamu berusaha tegar di depanku, tapi aku lebih tahu bagaimana dirimu jika sedang sedih dan lebih baik rawat mata hitammu itu." kekeh Tari, membuat Mayra mengambil kaca kecil miliknya dan melihat wajahnya.
"Aish, kenapa mata hitam ini gak bisa di ilangin sih."
"Gimana mau ngilang, kamu jarang tidur, sih." kata Tari.
"Diam deh, Tar, entar ada yang denger." dumel Mayra, membuat Tari tertawa lalu meneguk segelas kopi milik Mayra yang sudah di buatkan Rahmadi untuknya.
"Haha... apaan, sih, kamu, kenapa takut di denger? Emang salah kalau aku bilang, kamu tidurnya kurang? Ada-ada aja kamu. Kamu pakai masker kantung mata milikku saja buat memudarkan, ada di kamar, supaya besok gak jadi bahan omongan lagi." kekeh Tari, berlalu meninggalkan Mayra yang masih sibuk bercermin.
BERSAMBUNG