BAB 11

1501 Kata
Mayra Pov. Aku mengerjapkan mataku beberapa kali, ketika merasakan cahaya terang dari jendela kamar, aku membuka pejaman mataku dan merasakan hangat tanganku, Rafael kini tidur di sampingku dengan menggenggam tanganku, aku merasakan suhu tubuhnya yang begitu hangat. Aku terbangun dan menyentuh puncak kepalanya, Rafael demam. Apa karena banyak kehilangan darah semalam? Hari ini adalah hari ketigaku di New York, hari ini juga hari pertamaku sebagai seorang kekasih pria bule ini, pria bule yang nan tampan dan mempesona. Aku melepas genggaman tangan Rafael, lalu beranjak dari pembaringanku, aku mengambil handuk kecil dan merendamnya, ku kompres pria asing ini, pria asing yang telah mengakui perasaannya terhadapku. Bangga? Apa yang harus ku banggakan? Bangga karena memikat hati pria bule? Haha. Aneh! Rafael bergerak begitu gelisah, ketika merasakan sesuatu yang basah di atas kepalanya. "Kamu demam, El, aku akan mengompresmu." kataku, membuat Rafael mengangguk. Namun, berat membuka pejaman matanya. "Aku akan memesan bubur." kataku, mengambil telpon dan menelfon layanan kamar. Setelah menelpon layanan kamar, sesaat Kemudian Rafael lagi-lagi menggenggam tanganku, aku merasakan kehangatan menyeruak hebat sampai kerelung hatiku, demi melindungiku, pria ini mengorbankan dirinya terluka parah karena sabetan pisau tajam. Sesaat kemudian suara bel pintu terdengar, aku bergegas membukanya dan melihat dokter tengah berdiri di depan pintu bersama pelayan gotel yang kini membawa dua bubur di atas nampan. Aku memang memesan dua bubur dan meminta tolong untuk di panggilkan dokter. Aku lalu mempersilahkan mereka masuk. "Bagaimana keadaan Tuan?" tanya dokter. "Ketika bangun, badannya jadi hangat." jawabku. Dokter lalu memeriksa Rafael yang sangat berat membuka pejaman matanya. Aku yakin, dokter ini tak mengerti apa yang aku katakan. "Tuan Wilson demam, suhu tubuhnya mencapai 39derajat, itu di karenakan beliau banyak kehilangan darah semalam, beliau butuh istirahat dan makan yang cukup, jangan lupa memberikannya obat ini, saya sudah meresepkannya sebelum kemari." kata dokter itu, membuatku melongo karena tak paham. "Maksud dokter, ia sudah meresepkan obat itu sebelum beliau kemari, Tuan Wilson demam, beliau membutuhkan makan yang cukup dan istirahat yang cukup." kata pelayan hotel, membuat Mayra mengangguk ketika mendengar pelayan hotel berbicara menggunakan bahasa Indonesia. Sepeninggalan dokter dan pelayan hotel tersebut, aku langsung duduk di tepian ranjang tepat di samping Rafael. "El, bangun dulu, kamu harus sarapan." kataku, mencoga membangunkan Rafael. Namun, Rafael hanya membuka matanya sedikit, lalu kembali menggenggam tanganku. "Bangun dulu, ya, aku akan menyuapimu." kataku, membuat Rafael menggeleng. "Apa kamu mau melihatku khawatir? Bangunlah, aku akan menyuapimu." kataku, entah, apa Rafael mau bangun atau tidak. Namun, ini usaha terkahirku. Rafael lalu membangun kepalanya dan bersandar di kepala ranjang dengan bantuanku. "Aku akan menyuapimu." kataku, membuat Rafael mengangguk. "Kamu sudah sarapan?" tanya Rafael. "Sudah." jawabku, sengaja berbohong. Suap demi suap ku layangkan sendok makan ke dalam mulut Rafael. Pria ini menikmatinya dan sesekali memijat pelipis matanya. Karena merasakan pusing. **** Entah sejak kapan aku tertidur di ranjang besar ini, aku terbangun dan tak melihat Rafael di sampingku, aish.. kenapa aku berakhir di ranjang? Meski aku masih memakai baju. Namun, ini bukan kebiasaanku tidur bersama seorang pria. Aku beranjak dari tidurku dan melihat sore menunjukkan pukul 6, aku melangkah keluar kamar dan melihat Rafael tengah terbaring di atas sofa, aku menghampirinya. "El, kamu kenapa di sini? Seharusnya kamu di kamar, coba ku cek suhumu." kataku, lalu menyentuh kepala Rafael "Hem? Kamu sudah bangun? Aku bete menunggumu bangun." keluh Rafael, membuatku terkekeh, karena pria ini sudah membaik. "Aku akan memesan makanan." kataku. "Tidak perlu, Sayang, aku sudah memesannya." kata Rafael, lalu memposisikan dirinya duduk di sofa. Rafael menarikku dan aku duduk menghadapnya. "Terima kasih, karena kamu sudah merawatku." kata Rafael sambil membelai pipiku, membuatku menganggukkan kepala, Rafael lalu mengecup bibirku. "Apa aku benar-benar gak perlu ke kantor?" tanyaku. "Aku sudah bilang, kan, gak perlu, aku sudah mengurus laporan rapatnya." jawab Rafael, membuatku semakin yakin. "Makasih, ya, kamu menyelamatkanku dari para penjahat itu dan menyelamatkanku dari omelan Pak Harjum." kataku, membuat Rafael terkekeh. "Aku tidak akan membiarkan siapa pun mengomeli wanitaku." kata Rafael, membuat pipiku memerah padam, Rafael memang sangat tahu membuatku merona. "Apa yang kamu sukai dariku?" tanyaku, membuat Rafael terlihat berpikir. "Bukankah ketika aku menyatakan perasaan semalam, aku mengatakannya? Aku menyukaimu, karena kamu wanita yang apa adanya, yang selalu menjadi diri sendiri, yang selalu membuatku tertawa, tak ada wanita yang ku temui seperti dirimu." kata Rafael, membuat hatiku bersorak gembira. Rafael memelukku, aku merasakan hembusan napasnya mengenai leherku, Rafael memang pria yang tampan. Namun, ada perasaan takut menjalin hubungan dengannya, aku takut suatu saat ia meninggalkanku. **** Beberapa hari telah berlalu, aku dan Rafael kini sudah di Indonesia, aku kembali mengerjakan pekerjaanku di perusahaan dan Rafael masih beristirahat pasca terluka waktu menyelamatkanku. Aku berjalan memasuki ruangan Pak Harjum dan memberikan laporan rapat yang sudah di berikan Rafael untukku. "Ini, Pak, saya sudah menyelesaikannya." kataku. "Taruh saja di situ." kata Pak Harjum, tanpa menoleh melihatku. "Saya permisi, Pak." "Iya." Aku berjalan meninggalkan Pak Harjum yang masih sibuk memeriksa sesuatu. Tari menarikku dan membawaku ke pantry. "Ada apa, Tar?" tanyaku, heran. "Jujur deh sama aku, aku melihat waktu penerbanganmu semalam. Namun, kamu gak pulang ke kost, kamu nginap di mana?" tanya Tari. Aish, wanita ini memang selalu saja menyelidikiku. "Aku menginap-" "Jangan bilang kamu menginap di apartemen Pak El." kata Tari, membuatku membungkam mulutnya memakai satu tanganku. "Sstt, jangan keras-keras, Tari, kamu apaan, sih?" "Jadi, bener?" "Iya, aku memang menginap di apartemen Rafael. Tapi, semua itu karena ada alasannya kok." kataku, mencoba menepis pikiran Tari yang akan mengarah kemana-mana. "Terus, Pak El ada di mana?" "Di apartemennya." "Jadi, kalian tidur di atap yang sama?" "Dih, jangan mikirin hal yang tidak-tidak, Tari." "Udah deh, May, jangan menyembunyikan apa pun dariku, kamu selalu saja merahasiakannya, sedangkan aku ini bukan orang asing loh, aku ini sahabatmu." ngambek Tari, membuatku menghela napas, karena tak ada pilihan lain selain menceritakannya kepada Tari. "Sebenarnya, selama di New York, aku bertemu dengan Rafael." jawabku, membuat Tari membulatkan matanya penuh. "Apa? Jadi-" "Aku menginap di hotelnya karena seseorang hampir saja membunuhku, para penjahat itu datang seketika, lalu menanyakan sebuah USB padaku, karena merasa gak aman, aku menginap di hotel Rafael." "Terus? Kalian udah tidur bareng?" "Iya, tapi kita gak ngapa-ngapain kok." "Terus?" "Rafael dan aku-" "Terusin, donk, jangan membuatku penasaran." "Kami sudah jadian." kataku, membuat Tari histeris dan berteriak. "Ish, apaan, sih, Tar? Jangan seperti itu, kamu bisa membuat orang lain mendengarnya loh." kataku, mencoba menghentikan kehisterisan Tari. "Jadi, kamu sudah jadian? Yang bener kamu?" tanya Tari, mencoba meyakinkan pendengarannya. "Iya, Rafael ngambil cuti karena terluka setelah menyelamatkanku." jawabku, tak ada yang bisa ku sembunyikan jika sudah berurusan dengan si centil ini. "Baiklah, aku bahagia atas hubungan barumu." Tari memelukku, membuatku terkekeh. "Ya udah, kita ngobrolnya lanjutin nanti, aku harus bekerja." kataku, mencoba mengalihkan pembicaraan, ketika melihat Sonia dan Rahmadi masuk. "Baiklah." Tari mengangguk. "Son, Di, kalian mau minum?" tanyaku. "Iya, sekalian ngobrol." jawab Rahmadi. "Ya udah, aku ke ruangan dulu, ya." kataku, berlalu meninggalkan Sonia dan Rahmadi. Aku duduk di kursi kerjaku, menatap layar komputerku dan mengambil satu persatu dokumen yang sudah di kumpul sejak beberapa hari yang lalu ketika aku berada di New York, suara ponselky terdengar, membuatku menoleh ketika ada pesan teks masuk. - Sayang, lepas kerja jam berapa? - tanya Rafael, membuatku tersenyum, aku sudah terbiasa mendengarnya menyebutku sayang. - Aku lepas sore sekitar jam 4, aku akan langsung ke apartemen - jawabku. - Baiklah, aku tunggu. - Setelah saling membalas pesan, aku kembali menekuri layar komputerku dan mulai menginput data satu persatu, tak lupa pula sesekali aku meneguk segelas kopi yang sudah ku buat tadi. Setidaknya, hariku lebih berwarna ketika Rafael menjadi kekasihku. **** Aku masuk ke apartemen Rafael selepas kerja. Rafael tengah menonton serial drama asia yang tengah di tayangkan di salah satu siaran televisi. "Akhirnya kamu pulang juga, Sayang." kata Rafael, menyambut kepulanganku. "Apa yang sedang kamu lakukan?" "Aku sedang menonton TV." "Sudah makan?" "Belum." jawabnya, membuatku bergegas ke dapur, untuk membuatkan sesuatu untuk Rafael. Aku merasakan rangkulan di pinggangku, membuatku memekik seketika, Rafael kini memelukku dari belakang dan menyelusupkan kepalanya di bahuku. Aku sudah terbiasa dengan gaya pacaran seperti ini. Rafael mengangkat tubuhku dan aku terduduk di atas meja dapur, sedangkan Rafael berdiri tepat di hadapanku. "Aku merindukanmu, Sayang." kata Rafael. "Segitunya kamu merindukanku?" "Sehari saja gak akan mampu buatku tak melihatmu." kata Rafael. Rafael menatap wajahku, hangat menyeruak hebat, aku sangat menyukai pria ini, pria yang memberikan warna baru dalam keseharianku, sungguh berbeda sewaktu aku menjalaninya dengan Raihan. "Aku akan membuatkanmu makan, apa kamu mau terus seperti ini saja?" tanyaku, membuat Rafael tak berhenti menatapku, aku merona. "Kita jalan-jalan saja, bagaimana? Kita makan malam di luar." kata Rafael. "Apa kamu bisa mengemudi?" "Tentu saja, Sayang, aku bisa mengemudi. Aku sudah lama sembuh. Hanya saja kamu memaksaku untuk cuti." jawab Rafael, membuatku mengangguk, lalu merangkulkan tanganku ke lehernya, aku memeluk Rafael, merasakan hangat menyeruak hebat sampai ke relung hatiku. "Baiklah." Aku melepas pelukanku, Rafael membelai rambut belakangku, lalu mencium bibirku, seperti biasa, tanpa izin, Rafael selalu menciumku, aku pun menikmatinya. Di menit kemudian, Rafael melepas ciumannya, membuatku bernapas lega setelah menghirup udara. "Aku akan berganti pakaian, tunggu aku." kata Rafael, lalu memeluk pinggangku dan menurunkanku dari meja dapur. BERSAMBUNG
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN