He's Back

1453 Kata
Entah sudah berapa kali pimpinan klan Moreno tersebut menghela napas berat saat suara wanita yang hanya dalam hitungan menit akan resmi dipersuntingnya menjadi istri itu kembali memendar tanpa dikehendakinya. "Tristan, aku mohon bicaralah. Jika memang kamu tidak berniat menikahiku, setidaknya katakan saja terus terang. Aku juga tidak mau jika kamu benar-benar terpaksa menikahiku seperti ini, setelah apa yang kita lewati." "Kamu bisa diam tidak?!" bentak Tristan dengan tatapan dinginnya. "A-aku ..." Caterina benar-benar terkejut. Ia tidak menyangka jika lelaki yang kini sudah tampil rapi dalam balutan tuxedo putihnya itu membentaknya untuk kesekian kali. Mencoba bertahan, Caterina pun tersenyum masam sekarang. Ia menertawai dirinya di dalam hati. Bahkan beberapa hari lalu ia bisa bersabar saat Tristan meninggalkannya tanpa kabar setelah mereka kembali dari Giardini Naxos. Cukup mengerti jika pimpinan mafia termuda dalam sejarah organisasi mafia Sisilia itu masih merasa kehilangan atas meninggalnya sang sahabat sekaligus tangan kanannya. Vitto Dominico. "Masih ada waktu lima belas menit sebelum janji suci pernikahan kita. Kamu masih bisa pergi dan mengakhiri ini." Caterina sakit sekali mengatakan semua itu. Tristan benar-benar tidak mengacuhkannya sama sekali. Hatinya kembali sakit. Dengan gerakan cepat, Caterina yang hari itu tampil memukau dalam balutan white wedding gown-nya itu bangkit dari sofa di salah satu kamar megah kediaman keluarga Patrizio tersebut. Kamar milik Tristan. Ia sudah pasrah jika pernikahannya akan dibatalkan sepihak oleh calon suaminya tersebut. "Mau ke mana kamu?!" hardik Tristan. Ia yang sebelumnya menumpu kedua tangan di atas pahanya itu mendongak saat menyadari pergerakan wanita di sampingnya. "Aku mau ke tempat Padre. Aku akan mengatakan yang sebenarnya," jawab Caterina dengan suara pelan. "Mengatakan apa?" Tristan seketika memicing tajam. Tatapannya begitu dalam ia arahkan kepada wanita cantik tersebut. "Aku ingin membatalkan pernikahan kita. Percuma saja. Kesepakatan ini tidak akan berjalan baik, antara aku, kamu dan juga padre." Caterina menghembuskan napas panjang. Begitu lelah. "Siapa yang menyuruhmu untuk membatalkan pernikahan kita?" tanya Tristan yang kini ikut menegakkan torso jangkungnya. "Ka-kamu ...?" jawab Caterina yang terdengar seperti sebuah pertanyaan saja. "Aku tidak mengatakan apa pun," jawab Tristan cepat. "Bukannya tadi kamu hanya diam saja saat aku ajak bicara? Jadi, aku mengambil kesimpulan untuk mengakhiri ini semua." Caterina memalingkan wajahnya. Netranya memanas seketika. Ia dengan kesusahan menahan buliran hangat itu agar tidak turun dari pelupuk netra hazel-nya tersebut. "Lihat aku jika sedang berbicara, Cate," seru Tristan. Ia menarik pergelangan tangan Caterina hingga perempuan itu terhuyung dan jatuh tepat dalam dekapannya. "T-Tristan ...?" Caterina tidak mampu berkutik. Ia terpaku menatap obsidian kecoklatan milik Tristan yang begitu menghanyutkannya. "Aku paling tidak suka melihat orang yang tidak menatapku saat berbicara. Seolah ada yang disembunyikannya. Apa kamu juga begitu? Apa kamu menyembunyikan sesuatu dariku?" Tristan tidak melepaskan Caterina. Ia masih setia mendekap sekaligus menahan pergerakan calon istrinya tersebut. "Sekalipun tidak ada cinta di antara kita, pernikahan ini akan tetap berlanjut sesuai isi perjanjianku dan Henry. Terima atau tidak, sejak pertunangan malam itu, kamu sudah terlibat semakin jauh dalam kehidupanku. Dan aku tidak akan membiarkan kamu lepas begitu saja. Kamu itu ... satu-satunya pion untuk mengendalikan Henry dan Gustav. Mana mungkin aku akan melepaskanmu begitu saja. Itu tidak akan pernah terjadi," terang Tristan dengan suara begitu tenang. Berbanding terbalik dengan beberapa menit lalu saat ia menghardik Caterina. "Lepaskan aku," ucap Caterina datar. "Apa?" Tristan mengernyit dalam, mencoba mencerna dengan cepat. "Aku bilang lepaskan!" Suara Caterina sudah naik satu oktaf. Ia segera menarik diri dari dekapan Tristan yang terus mencoba menghipnotisnya berkali-kali. "Kamu tidak pantas mengatakan semua itu setelah kamu pergi berhari-hari tanpa pamit dan tanpa memberi kabar kepadaku, Tristan. Di saat aku berpikir kamu tidak akan kembali di hari pernikahan kita, dan ... dengan mudahnya kamu mengatakan hanya memanfaatkanku untuk mengendalikan padre-ku dan Gustav. Pikiranmu sangat picik." Napas Caterina tersengal bersama emosi yang kini memendar. Ia sudah tidak mampu menahan diri. "Astaga, seharusnya aku tidak terkejut mengetahui semua ini. Seharusnya aku tidak pernah mempercayakan apa pun padamu, Tristan. Kamu benar-benar mengecewakanku kali ini. Padahal aku sudah memaafkanmu atas kejadian di Giardini Naxos kemarin lalu. Di mana kamu menyerah kan nyawaku semudah itu kepada musuh. Aku benar-benar tertipu." Caterina menggelengkan kepalanya. "Sudah selesai bicaranya?" Tristan sekarang malah terkekeh dan menggerakkan tungkainya perlahan mengitari torso semampai Caterina. "Aku sebenarnya tidak mau mengatakan ini, tetapi ... dari pada kamu salah paham lalu membatalkan pernikahan kita hari ini, aku terpaksa mengatakan semuanya." Tristan menghembuskan napas panjang setelahnya. "Jadi, saat aku menyuruh musuh untuk melenyapkanmu saat itu, aku sengaja melakukannya untuk memancing amarahmu, Cate. Aku ingin kamu bisa berjuang sendiri untuk bertahan dari intimidasi musuh tanpa mengharapkan bantuanku. Karena ke depannya akan banyak sekali hal-hal yang tidak ditebak akan menyerang kita. Aku dan kamu. Musuh ternyata sudah tahu kalau kamu adalah calon istriku, jadi ke depannya kamu harus siap untuk menghadapi mereka jika tidak ada aku bersamamu. Kamu tentunya tidak lupa jika di luar sana status kita hanya dosen dan mahasiswi, kan?" ujar Tristan panjang lebar. "Dan satu lagi. Aku menghilang beberapa waktu lalu itu karena aku kembali ke Giardini Naxos. Aku bersama anggota klan-ku mencoba mencari jasad Vitto di antara puing reruntuhan apertemenku. Namun, hasilnya nihil. Tidak ada jejak sedikitpun. Apa benar Vitto menjadi abu saat ledakan itu?" Raut wajah Tristan mendadak sendu setelah mengatakan semua itu. Tidak berbeda jauh dnegan Caterina. Ia menguar tatapan prihatin. Tentu saja Caterina merasa bersalah karena sempat meragukan Tristan sebelum ini. "Ma-maaf ... aku—" Ucapan Caterina terputus. Tiba-tiba ia tersentak saat suara ketukan pintu kamar terdengar nyaring memendar dari belakang mereka. Tristan buru-buru membuka pintu kamar tersebut. Dan ia terpaku sekaligus mengernyit saat melihat satu sosok asing dalam balutan setelan jas hitam ditambah topi berwarna senada yang berdiri sembari menunduk di bibir pintu kamarnya tersebut. "Maaf, siapa kamu?" Tristan memicing curiga. Ia jadi ingat musuh yang menyerangnya di Giardini Naxos saat itu. "Siapa, Tristan?" Caterina pun muncul dari belakang Tristan dan ikut memicing ke arah sosok pendatang baru yang terlihat sangat asing tersebut. Apalagi wajah yang terus menunduk hingga keduanya kesusahan untuk mengenali sosok tersebut. Tangan Tristan bergerak perlahan untuk mengambil revolver hitam di balik tuxedo putihnya. Ia bersiaga sekarang. "Maaf, Tuan. Saya hanya membawa pesan dari tuan Henry untuk memanggil Tuan Tristan dan Nona Caterina. Karena janji suci kalian akan segera dimulai. Kalau begitu saya permisi. Dan ... tolong simpan kembali revolver Tuan di tempat yang aman," tutur lelaki itu seraya membungkuk sopan dan membalikkan badan untuk meniggalkan calon pasangan pengantin tersebut. Tristan semakin memicing, ia merasakan ada keanehan dengan suara lelaki asing itu. Terdengar agak familiar. Namun, ia tidak bisa mengingat apa pun. "Tunggu!" Tristan langsung menarik jas lelaki itu untuk menghentikannya. Pada detik ketiga ia pun berhasil melepas topi hitam yang menutup wajah sosok asing itu. "Berbalik!" perintah Tristan dengan suara bergetar. Ia merasa mengenal dengan baik sosok jangkung bertubuh atletis yang kini masih berdiri membelakanginya. "Aku bilang berbalik!" teriak Tristan dengan netra yang mulai memanas. Sosok asing itu pun berbalik perlahan, dan Tristan menegang di tempatnya. Caterina sudah menutup mulutnya tidak percaya. "Ka-kau??" Tristan semakin bergetar, dan dengan rahang yang sudah mengeras sempurna ia langsung melayangkan satu bogem mentahnya ke wajah lelaki itu. Ia pun maju untuk mencengkeram kerah jas lelaki yang kini terus terkekeh tanpa rasa berdosa di depannya. "Berapa lama lagi kau akan memukulku, Tristan? Padahal aku sengaja datang dari jauh ke sini untuk menghadiri upacara pernikahanmu dan Cate. Sudah cukup sambutannya. Lebih baik sekarang kalian turun dan selesaikan janji suci kalian. Setelah itu baru pikirkan mau honeymoon ke mana." Sosok tersebut masih terkekeh dan semakin memancing Tristan untuk kembali menghajarnya. Tristan sudah mengangkat bogem mentahnya dan bersiap mendaratkan ke wajah lelaki tersebut untuk kedua kalinya. Namun Caterina menahannya dengan cepat. "Cukup, Tristan. Tidakkah kamu bahagia melihat Vitto kembali dengan selamat dan sehat?" Caterina mulai berkaca-kaca. Ia pun langsung berhambur ke pelukan Vitto detik itu juga setelah Tristan melepaskan cengkeramannya. "Cate! Lepaskan dia! Aku masih ingin menghajarnya. Berani sekali dia menipu kita semua beberapa hari ini. Aku sampai meninggalkanmu di sini untuk mencari keberadaannya." Tristan masih murka. Caterina langsung melepaskan pelukannya saat Tristan menariknya dengan sengaja. Vitto pun terbahak lanjut berdecih setelahnya. "Hei, aku tahu kau kehilanganku, Tristan. Sudah, akui saja kalau kau merindukanku. Kenapa prestise-mu tinggi sekali, hah?" "Sialan kau, Vitto. Minta dihajar memang. Kau pikir aku bercanda?!" sungut Tristan. "Tunggu, berapa lama lagi upacara pernikahannya? Aku ingin kau menjelaskan semuanya padaku sekarang, bagaimana caranya kau bisa selamat dari ledakan itu?" tanya Tristan yang sudah kepalang penasaran. "Aku rasa masih ada waktu untuk itu," sahut Caterina kemudian yang juga tidak kalah penasaran. "Hmm ... ceritanya sangat panjang. Tetapi yang harus kau tahu, Tristan ... kau masih memiliki dua orang kepercayaanmu sampai sekarang. Karena tidak ada yang mengkhianatimu." Vitto sudah mengembangkan senyumannya. "Maksudmu?" tanya Tristan lagi. Terlalu menggebu. Vitto pun berpaling melihat ke belakang lantas berteriak, "Paballo! Keluarlah! Sudah saatnya kau muncul di depan bosmu." *** To be continued ....
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN