Hari sudah terik, kulit pun sudah mulai terbakar rasanya. Konon katanya, panas di dekat pantai dengan panas yang jauh dari pantai berbeda. Lebih panas jika berada di dekat pantai. Farah menurunkan topinya agar wajahnya tidak terpapar langsung cahaya matahari. Hijab saja tidak cukup untuk saat ini.
Di sampingnya, berdiri adiknya, Sarah, yang terus mengipasi wajahnya dengan buku tulis. Di samping Sarah berdiri, ada Kaila, Mamanya. Wanita berkerudung hitam itu bolak-balik melihat jam tangan. Terlihat dari wajahnya sepertinya Kaila sedang kesal. Farah tahu itu. Mamanya sedang kesal karena sudah sejam lebih menunggu, namun Tondi, adik dari Alm. papanya tak kunjung datang menjemput mereka.
Supir mobil box kembali mendatangi mereka.
“Bagaimana, Bu? Sudah satu jam. Kami juga ada tugas menghantarkan barang setelah ini.”
“Maaf, Pak. Atau begini saja, sebentar,” Kaila mengambil buku tulis Sarah, “Mama pinjam sebentar, ya?”
Kaila menuliskan sesuatu kemudian menyobek selembar kertas lalu memberikannya kepada supir itu, “Bapak duluan aja, ini alamatnya.”
“Baik, Bu. Kami akan tunggu di sana.”
“Terima kasih, Pak.”
“Om Tondi kenapa lama sekali, Ma?” tanya Sarah sembari menerima buku tulisnya kembali.
“Mama juga gak tau. Awas aja, tunggu hadiah dari Mama.”
“Ma, sudahlah. Jangan galak-galak sama Om Tondi, kasihan tau.”
Kaila mengangkat jam tangannya mendekatkan ke wajah Farah, “Satu jam kita di sini, kepanasan.”
Farah tertawa kecil, lalu menunjuk halte di sebrang jalan, “Kita tunggu di sana aja ya, Ma?”
“Itu Om Tondi!” teriak Sarah kegirangan menunjuk mobil Alfa Duetto Spider berwarna putih. Mobil klasik keluaran tahun 1970-an yang menjadi kebanggaan Tondi.
“Bagus. Rasain kamu, Tondi!”
Sepertinya Kaila sudah tidak sabar untuk melampiaskan kekesalannya kepada Tondi. Farah hanya bisa tertawa sembari menggelengkan kepalanya melihat tingkah Kaila.
“Kenapa lama sekali?” Dengan begitu geramnya, Kaila menjewer telinga Tondi. Yang dijewer hanya bisa meringis kesakitan sembari mencoba melepaskan tangan Kaila dari telinganya.
Sarah dan Farah tertawa puas melihat tingkah dua manusia dewasa yang ada di hadapan mereka.
“Lebih kuat, Ma. Lebih kuat!” Sarah malah menyemangati Mamanya alih-alih melerai.
“Ampun, Kak, ampun.”
Kaila pun melepaskan tarikan tangannya. Ibu dari dua anak itu menaikkan lengan kemejanya, lalu merubah posisi menjadi berkacak pinggang. Ia berjalan mendekati mobil Tondi dan menendangnya.
“Kami mau naik di mana, ha? Di atas?”
Tondi kalang kabut memeluk mobilnya, “Jangan kasari Alfaro.”
Terdengar helaan napas dari Kaila, “Kamu gak berubah-berubah, ya, Tondi. Gimana mau cepet dapet pacar coba?”
Tin Tin.
“Kakak dan anak-anak naik itu,” Tondi menunjuk mobil Avanza hitam yang mendekat ke arah mereka.
“Farah, Sarah, kalian naik duluan.”
“Baik, Ma. Ayo Sarah!” Farah menggandeng tangan adiknya menuju mobil.
_00_
“Kamu mau ke mana?” Begitu mendengar suara mobil Tondi menyala, Kaila langsung menghampirinya.
“Pulang,” jawab Tondi sekenanya.
“Apa? Pulang?”
Farah yang mendengar teriakan Kaila merasa ngeri di tempat. Sepertinya akan ada perang dunia ketiga sesaat lagi.
“Keluar sekarang. Bantuin angkat barang!”
“Tapi, ka-“
“Gadak tapi-tapi. Turun sekarang, bantuin kakak angkat barang.”
Sepanjang perjalanan dari Pelabuhan menuju rumah, Sarah tertidur pulas. Farah sengaja tidak membangunkan adiknya, ia memutuskan untuk mengeluarkan barang dari bagasi terlebih dahulu, baru kemudian memindahkan Sarah ke dalam rumah.
“Sudah semua, Farah?”
“Sudah, Ma.”
“Kalau sudah pindahin Sarah ke kamar ya. Itu lihat, keponakanmu saja ngangkat barang, lah kamu?”
“Iya, iya. Ini aku bantuin.”
Melihat Mama dan pamannya membuat Farah hanya bisa tertawa kalau mereka berdua sudah berdebat seperti itu. Ya, meskipun ujung-ujungnya Kaila selalu menang, tapi melihat ekspresi Tondi dan upayanya mencoba untuk menang membuat keadaan jadi semakin lucu.
Farah mengangkat Sarah hati-hati agar tidak membangunkannya. Baru saja keluar dari mobil, tiba-tiba ada yang menampung Sarah.
“Udah, biar Nenek aja.”
“Gak papa, Nek?”
“Kamu bantuin Mama kamu aja sana.”
“Oke, Nek.”
Farah menyerahkan Sarah kepada Neneknya dengan senang hati. Ternyata seluruh keluarga Alm. Papanya sudah tiba di sini. Satu lagi pamannya, Agung sudah tiba. Dan Lastri, bibinya juga sudah membantu Mamanya mengangkat barang.
Farah melambaikan tangannya menyapa Paman dan Bibinya. Ia senang sekali melihat keluarganya berkumpul seperti ini. Sudah setahun sejak meninggal Papanya, Farah tidak bertemu mereka.
Tidak ingin lebih banyak waktu terbuang, Farah mulai mengangkat satu persatu koper yang tadi dikeluarkan dari bagasi ke dalam rumahnya.
_00_
Tak terasa satu jam pun berlalu, tidak butuh waktu lama untuk memindahkan dan menyusun semua barang-barang karena memang orangnya juga cukup banyak.
Mama muncul dari dapur dengan sebuah nampan, ada seceret besar teh manis dingin dan beberapa cangkir di atasnya. Farah langsung menerima nampan itu dan menuangkan teh ke dalam cangkir.
“Kamu yakin mau tinggal di sini, Kaila?” tanya Ani, nenek Farah.
“Yakin, Ma. Lagian rumahnya juga lumayan besar, kok.”
“Tapikan lebih bagus kalo kita tinggal di rumah Mama, Kak. Rumah Mama juga banyak kamar kosong, kok,” ujar Lastri.
Agung mengambil teh yang diberikan Farah, “Apa yang dikatakan Lastri benar Kak, Mama sudah tua, kapan lagi coba kita bisa kumpul seperti ini.”
“Aku gak setuju,” Tondi membuka mulutnya.
Mereka semua tahu kalau Tondi dan Kaila memang suka adu mulut.
“Jangan kegeeran kamu, siapa juga yang mau tinggal sama manusia aneh kayak kamu.”
“Maksud Kakak "aneh" apa?”
“Mana ada orang yang ngomong sama mobilnya. Pantesan gak laku-laku, orang gak waras.”
Mereka yang menjadi penonton tertawa lepas melihat mereka berdua. Orang dewasa namun ketika bertemu betingkah kekanakan.
“Udah, udah,” Ani menengahi, “Kalau memang keputusan kamu sudah bulat, Mama terima. Yang penting kalau kamu butuh sesuatu, langsung kabari Mama, ya. Mama cuman minta, tolong jangan segan-segan untuk meminta bantuan kami. Itu saja.”
“Dengar?” Tondi menekankan gaya bicaranya menggoda Kaila.
“Iya, Ma,” jawab Kaila namun matanya menatap tajam ke arah Tondi.
“Kamu Farah? Sudah tahu mau lanjutin sekolah di mana?”
“Belum, Nek. Farah sih maunya di sekolah yang biasa-biasa aja, kayak di kampung.”
“Gak bisa,” Kaila dan Lastri kompak menolak keingingan Farah.
“Kamu itu pintar Farah, Tante gak setuju, pokoknya kamu harus sekolah di SMA Kencana Indonesia.”
“Benar. Mama setuju dengan tante kamu, kamu harus sekolah di sana.”
“Sudah, sudah. Di mana pun sekolahnya, asalkan Farah belajar bagus-bagus pasti berhasil.”
Ani bangkit dari duduknya, “Kalau begitu Nenek pulang dulu ya?”
Farah menyalami Ani dan dua paman beserta bibinya. Kemudian mengantarkan mereka sampai ke depan pintu.
Usai seluruh kerabat pulang, kini tiba waktunya bagi Farah untuk mengemas barang-barangnya. Ia pun langsung menuju kamar. Kamar Farah lumayan luas. Di dalamnya sudah tersedia tempat tidur, rak buku, meja belajar, meja rias, dan lemari pakaian.
Tidak butuh waktu yang lama, semua sudah Farah bereskan, kamar Farah sekarang terlihat bersih sekali. Kamar bernuansa biru muda itu kini sudah terlihat aura kehidupannya yang memancar. Kini hanya tinggal kardus berukuran sedang yang berisi buku saja.
“Farah, kamu sudah siap beresin kamar?” teriak Kaila.
“Belum, Ma. Tinggal beresin buku,” Farah pun ikut mengangkat suaranya agar terdengar Kaila.
“Kalau sudah siap bantuin adik kamu, ya. Mama mau ke kedai depan sebentar.”
“Oke, Ma.”
Satu persatu buku sudah naik berjejer rapi di atas rak. Farah hanya Menyusun beberapa n****+ dan buku-buku non fiksi di rak itu. Sedangkan buku-buku lain yang ia bawa sengaja tidak disusun di rak agar terlihat lebih rapi tidak sumpek. Lagi pula Farah juga sengaja menyisakan tempat untuk buku-buku barunya nanti jika sudah bersekolah.
Selesai sudah pekerjaan Farah. Sekarang adalah waktunya untuk membantu Sarah membereskan barang-barangnya. Sarah dan Farah berbeda usia Sembilan tahun. Sarah yang berusia delapan tahun, duduk di bangku tiga SD. Sama seperti kakaknya, Sarah tidak tinggi. Ia memiliki pipi chubby yang membuat siapa saja yang melihatnya pasti ingin mencubit gemas pipinya.
Farah menyembulkan kepalanya di depan pintu kamar Sarah, “Ada yang bisa dibantu gak, nih?”
“Itu, Kak,” Sarah menunjuk koper yang ada di depan pintu tak jauh dari tempat Farah berdiri.
“Oke. Siap, Bos.”
Tangan Farah terasa mau lepas ketika menarik koper Sarah. Ia tidak mengira koper berwarna pink berukuran sedang akan seberat itu.
“Ini apa sih isinya? Batu?”
“Iya,” jawab Sarah cepat.
“Apa? Batu?” Farah kaget bukan main.
“Iya. Isinya batu.”
Rasanya Farah ingin menangis mendengar kalau koper itu berisi batu. Farah membuka koper dan benar, batu-batuan warna-warni mulai dari ukuran kecil hingga sebesar kepalan tangan memenuhi koper itu.
“Ya, Allah, Sarah. Ini buat apa?”
Sarah menyudahi menyusun bajunya, ia berjalan mendekati Farah lalu memasukkan kembali batu-batu tersebut ke dalam koper.
“Buat ditaruh di akuarium, Kak.”
“Akuariumnya siapa? Kamu kan gak punya akuarium.”
“Sarah mau kerja.”
“Apa?”
“Iya, Kak, Sarah mau kerja buat beli akuarium. Pokoknya kakak gak boleh ngelarang. TITIK,” ucap Sarah penuh penekanan di bagian akhir.
“Mama tau?”
Sarah menggelengkan kepalanya.
“Kan bisa mewarnai batunya di sini.”
“Gak. Itu sama aja buang-buang waktu, Kakak. Ngapain coba warnai lagi kalo Sarah udah punya?”
“Ya udah deh, terserah kamu. Ini mau ditaruh di mana?” tanya Farah. Seluruh batu itu sudah masuk kembali ke dalam koper.
“Di sana kak. Di bawah tempat tidur aja.
_00_
Selepas menunaikan sholat Maghrib berjamaah di rumah, mereka bertiga langsung menggelar acara makan malam keluarga pertama di rumah baru mereka. Dengan lauk ikan nila asam manis dan tumis kangkung, mereka tampak menikmati sekali.
“Enak?” tanya Kaila kepada dua anaknya.
“Enak, Ma.”
“Iya, Ma. Ini enak banget,” jawab Farah antusias.
“Farah boleh nambah gak, Ma?”
“Ya boleh dong. Sini piring kamu.”
Farah lagsung memberikan piringnya kepada Kaila. Satu ekor ikan nila sedang diletakkan di piring Farah, lalu Kaila menyerahkan kembali piring itu kepada Farah.
“Terima kasih, Ma.”
“Sarah gak mau nambah?”
Sarah menggelengkan kepala, “Enggak, Ma. Sarah mau makan klepon aja.”
“Oh iya, Farah. Tadi ada ibu-ibu yang bilang, katanya SMA Kencana Indonesia itu cocok buat kamu.”
“Maksud Mama? Jangan bilang Mama cerita soal Farah?”
“Iya. Katanya SMA Kencana Indonesia itu bukan sekolah sembarangan, itu adalah SMA terbaik ke dua di Jakarta. Kamu cocok untuk sekolah di sana.”
“Farah mau sekolah biasa aja, Ma. Farah gak bakal sanggup belajar dengan orang-orang yang iq-nya di atas rata-rata, Ma.”
“Kalau belum dicoba kan belum tahu, Farah. Pokoknya besok kamu bangun pagi ya. Kita daftar sekolah besok.”
Saat itu Farah tengah minum, seisi mulutnya menyembur keluar. Farah tersedak.
“Besok, Ma? Gak kecepetan?”
“Sarah, Ma?”
“Kamu besok lusa ya, sayang. Biar besok kakak kamu dulu yang daftar. Oke?”
“Oke, Ma.”
“Tapikan, Ma,” Omongan Farah terhenti, ia sedikit takut untuk melanjutkan.
Kaila yang saat itu tengah membereskan piring kotor berhenti, “Tapi apa? Mama yakin kamu pasti bisa.”
Bersambung....