Malam Terburuk

1631 Kata
“Hah … hah …” Gadis tersebut yang tak lain adalah Cindy tampak terengah, sepertinya ia berlari mengejar Raga dan Bian.  Bian menggaruk belakang kepalanya yang tak gata. "E … hehe … ada apa, Cind?" tanyanya. Jujur saja setelah kebohongan kecil Cindy terbongkar membuatnya cukup ilfeel padanya. "Ah, tidak ada. Begini, aku hanya ingin minta maaf soal yang tadi," cicit Cindy yang tampak malu mengakui kebohongannya terlebih pada Raga. "Sebenarnya aku hanya ingin berteman dengan kalian, tapi aku tahu salah satu temanku menyukai kalian jadi aku berniat diam-diam menyembunyikan pada mereka. Aku takut mereka salah paham," kilahnya memberi penjelasan.  Bian dan Raga kembali saling melempar lirikan. "Tidak apa-apa. Sebaiknya kau segera pulang, ini sudah malam. Jangan sampai membuat teman-temanmu menunggu," sahut Raga. "Mereka sepertinya marah padaku. Ah, maksudku, temanku yang menyukaimu itu marah padaku dan mengajak dua temanku meninggalkanku dan sekarang aku menyetir sendiri," papar Cindy dengan menunjukkan raut sedihnya. "Jadi …?" gumam Bian.  "Aku ingin Raga bisa mengantarku. Aku takut pulang sendiri melihat ini sudah cukup larut," jawab Cindy yang menatap Raga penuh harap. "Heee … lalu bagaimana denganku?!" teriak Bian dengan menunjuk wajahnya sendiri. "Kau kan laki-laki, Bi, jadi pasti berani pulang sendiri," sahut Cindy menjawab pekikan Bian.  "Lalu bagaimana aku akan pulang?" tanya Raga. "Ka-- kau bisa menginap. Kedua orang tuaku tidak di rumah. Besok aku akan mengantarmu," jawab Cindy yang tampak malu-malu meski tak menghilangkan raut penuh harap di wajah. "Tsk, gadis ini …." batin Bian. Kemudian ia melirik Raga dan menyuku kecil lengannya.  Raga hanya diam sampai Cindy kembali hendak mengucap kata sampai akhirnya terhenti saat ia bersuara. "Aku lebih khawatir pada temanku jika pulang sendiri." Kemudian merangkul Bian dan mengajaknya berbalik badan lalu melangkah meninggalkan Cindy. "Ta-- tapi, Ga! Raga!" teriak Cindy namun percuma, Raga dan Bian tetap pergi meninggalkannya dimana Raga mengangkat satu tangannya ke udara melambai tanpa menoleh.  "Ash! Sshihss!" desah Cindy frustasi hingga menghentakkan kaki. Ia tidak tahu jika Raga bukanlah kucing biasa yang akan melahap ikan yang disuguhkan tepat di depan mata. Sementara Raga dan Bian yang telah menjauh, tak habis pikir bagaimana bisa Cindy berbuat demikian.  "Brrr … gadis itu mengerikan," ucap Bian dengan berpura-pura bergidik hingga menggigil dimana kedua tangannya memeluk tubuhnya sendiri. "Aku jadi percaya ucapan Zico," lanjutnya. "Zico?" tanya Raga seraya menoleh menatap Bian.  "Zico, mantan pacarnya. Pria itu memang sinting, dia bilang sudah berkali-kali memanfaatkan Cindy. Entah sudah berapa kali dia menggaulinya dulu," ungkap Bian. Zico adalah salah satu temannya dari sekolah lain saat SMA dan sekarang masih menjalin hubungan pertemanan dengan baik meski jarang bertemu.  "Kau yakin?" tanya Raga dimana dahinya tampak berkerut dengan sebelah alis meninggi.  Bian menoleh menatap Raga dan menjawab, "Aku tidak yakin, tapi aku percaya. Zico itu sinting, dia bahkan mengirim fotonya saat tidur bersama pacar barunya sekarang. Jadi kalau dia bilang dulu sudah berkali-kali meniduri Cindy, aku percaya, lah."  "Gila." "Memang." "Maksudku kau yang gila," sela Raga. "Ish. Bagiku berteman dengan siapa saja itu bukan masalah. Mau dia anak kyai, preman, bahkan gigolo sekalipun aku tetap akan berteman selama dia juga mau berteman denganku," papar Bian membela diri. Ia memang tak membeda-bedakan teman, bahkan menurutnya teman yang urakan atau bebas seperti Zico justru lebih mengedepankan yang namanya pertemanan. Ia yang mudah bergaul bisa memiliki teman dimanapun, meski begitu ia tetap bisa menjaga diri agar tetap pada pendirian dan prinsip hidupnya.  Raga terkekeh dan berusaha menahan tawanya. Bian benar, meski ia memiliki banyak teman dari kalangan berbeda-beda, tapi sifatnya tetapnya sama. Sampai sekarang Bian masih menjadi Bian yang ia kenal sejak dulu. "Hei, Ga, kau yang depan, ya," ucap Bian tiba-tiba.  "Tsk." Raga berdecak, namun tetap menerima kunci motor yang Bian berikan. "Hehe. Gitu dong. Kau memang temanku yang paling baik dan tampan," puji Bian yang sengaja layaknya seorang penjilat. "Cih! Cepat naik!" perintah Raga saat ia telah bersiap memakai helm. "Suap, Bos!" Tanpa menunggu Bian segera naik ke atas motor duduk di belakang Raga. Dipeluknya Raga erat dan sontak membuat Raga kesal. "Lepaskan tanganmu atau turun sekarang!" ancam Raga seraya setengah menoleh pada Bian yang menyandarkan kepala di punggungnya. Bian segera menegakkan kepala. "Iya, iya!" jawabnya seraya melepas pelukannya yang tampak menjijikan di mata laki-laki lain yang melihat. Seringai Raga terukir di balik helm yang menutupi wajah tampannya. Dan benar saja, selang beberapa saat teriakan Bian membuatnya menahan tawa.  "Raga! Apa kau gila?!" teriak Bian setelah nyaris saja terjungkal ke belakang saat Raga dengan tiba-tiba menarik pedal gas. Untung saja ia masih bisa berpegangan pada bahu Raga, jika tidak mungkin ia harus ke tukang urut besok karena terjungkal.   * * * Hampir satu jam perjalanan akhirnya Raga dan Bian sampai. Namun Raga sengaja menghentikan motor Bian di depan gang menuju rumahnya. "Kenapa berhenti, Ga? Langsung saja ke rumahmu," tanya Bian setelah sebelumnya tampak menguap. "Sampai sini saja. Cepat pulang sebelum kau tidur di jalanan," jawab Raga seraya turun dari motor dan membuka helm lalu memberikannya pada Bian. Selama perjalanan ia dapat merasakan Bian mengantuk dan sesekali menyandarkan kepalanya yang terlindungi helm pada bahunya.  "Hee … apa-apaan ini?! Ini kan helmmu!" teriak Bian yang sepertinya sudah segar dan sembuh dari kantuk. "Aku malas membawanya. Malam ini kuizinkan helmku menginap di rumahmu.” "Tsk. Dasar!" maki Bian namun pada akhirnya ia tetap membawa helm itu dengan menentengnya di tangan. “Hati-hati,” ucapnya yang kemudian melajukan motornya dengan kecepatan rendah.  “Kau yang harus hati-hati. Jangan sampai terjerumus ke parit,” sahut Raga disertai kekehan ringan. Melihat motor Bian yang mulai menjauh, Raga memutuskan melangkah pulang, lagi pula jarak dari gang ke rumahnya tak begitu jauh jadi ia memutuskan berhenti dan berjalan kaki ke rumahnya.  Entah hanya perasaannya saja atau memang jalanan tampak begitu sepi, bahkan bulu kuduknya merinding saat merasakan embusan angin dingin menerpa kulit. Namun ia bukan penakut yang akan lari seperti anak kecil. Ia masih berjalan santai dimana satu telinganya tertutup earphone. Lagi pula jalanan itu adalah kawasannya dan tak pernah terjadi apapun sebelumnya baik gangguan dari manusia atau bukan manusia.  Tiba-tiba Raga menghentikan langkahnya sejenak dimana satu tangannya terlihat mengutak-atik ponsel di tangan dan satu tangannya yang sebelumnya tersembunyi di dalam saku celana, terangkat untuk memakai earphone yang satunya ke telinga setelah sebelumnya hanya tergantung. Mulutnya terlihat bergerak kala suaranya yang terdengar cukup merdu menyanyikan sebuah lagu sesuai yang ia dengar. Entah sengaja menutupi kedua telinga dengan earphone guna menutupi keheningan malam atau hanya karena ingin mendengarkan lagu kesukaannya dengan jelas.  Duagh! Raga mengerang saat tengkuknya dipukul dari belakang dan saat ia hendak menoleh melihat siapa pelaku, saat itu juga sebuah kain hitam menutupi kepala. Dengan gerakan cepat sepasang tangan meraih kedua tangannya dan menguncinya di belakang punggung lalu menjatuhkannya ke tanah.  "Argh!" Raga mengerang merasakan sakit di tengkuk juga kedua tangannya yang tiba-tiba dikunci dari belakang. Kemudian ia dapat merasakan kedua tangannya diikat dengan seutas tali. Tak sampai di situ saja, ia kemudian merasakan kedua kakinya juga diikat dengan simpul tali mati dan membuatnya tak bisa bergerak. "Argh! Siapa kau! Lepaskan aku!" teriaknya dengan meronta berusaha melepaskan diri namun percuma, ikatan di tangan dan kakinya begitu kuat.  Raga mulai frustasi, ia hendak berteriak meminta pertolongan sampai tiba-tiba orang yang dapat ia rasakan duduk di atas tubuhnya menarik kepalanya ke belakang dan menyumpal mulutnya dengan sebuah kain tanpa melepas penutup kain hitam yang menutupi kepala. Raga ingin berteriak sekencang-kencangnya namun hanya suara tertahan yang lolos dari mulutnya yang tersumpal kain. Perlahan ia dapat merasakan kain yang menyumpal mulutnya ditarik dan diikat ke belakang kepala. Kemudian ia dapat merasakan orang tersebut bangkit dari atas tubuhnya lalu membalikkan tubuhnya hingga menghadap langit malam yang bisu. Perlahan namun pasti Raga merasakan tubuhnya mulai diseret. Ia berusaha meronta namun rasa sakit di tengkuknya masih terasa. Sampai akhirnya ia merasakan tubuhnya diangkat dan seperti dimasukkan ke dalam mobil. Dan dugaannya benar saat kedua kakinya yang terikat diangkat dan dimasukkan ke dalam mobil lalu membuatnya dalam posisi duduk. Raga dapat merasakan jika ia didudukkan di kursi penumpang saat kakinya menendang jok depan. Yang ia tidak tahu adalah, apa maksud dan tujuan orang tersebut melakukan ini padanya.  “Apa aku diculik?” batin Raga. Sampai pikirannya itu teralihkan saat ia merasakan tangan yang sama yang melakukan penganiayaan padanya kini tengah berusaha membuka resleting celananya. Demi apapun Raga ingin menghentikan waktu, menghentikan kegilaan pelaku yang saat ini membuatnya nyaris kehilangan kewarasan. Pikirannya menolak, namun sangat berbeda dengan tubuhnya yang merespon kegiatan pelaku dan menjadikan jiwa kelelakianya timbul.  “Armh--” Raga berusaha memberontak saat merasa tak sanggup lagi menahan kegilaan pelaku yang saat ini tengah melakukan sesuatu yang tak pantas. Keringat pun mulai mengucur dengan hela kelegaan lolos mulut saat pelaku tersebut berhenti. Namun ketegangannya kembali lagi saat merasakan pelaku semakin berbuat lebih jauh.    Raga mengerang, bersamaan saat merasakan kuku-kuku pelaku menancap di punggungnya yang terlapisi kain berbahan cukup tebal. Samar-samar ia juga mendengar rintihan kesakitan dari wanita gila yang saat ini terduduk dalam pangkuan. Tak hanya menancapkan kuku-kukunya, pelaku juga menggigit bahunya kuat-kuat seakan menyalurkan rasa sakit yang ia derita. Dan Raga sama sekali tak bisa melakukan apapun, penyiksaan dan rasa sakit yang ia terima kali ini dibarengi dengan kenikmatan yang membuatnya ingin mati. Ini pertama untuk Raga, dan tak pernah ia bayangkan akan melakukannya dengan cara seperti ini. Padahal rasanya baru sedetik yang lalu ia mengatakan pada Yoga bahwa hanya ingin melakukannya setelah menikah tapi kali ini ia justru melakukannya dengan terpaksa dengan seorang wanita gila. Bagaimana tak gila? Hanya wanita gila yang melakukan pemaksaan pada seorang laki-laki dengan cara seperti ini. Otak dan hati Raga terasa lelah, namun tubuhnya justru merasakan sebaliknya. Bahkan tanpa dirasa lenguhan panjang tertahan lolos dari mulutnya yang tersumpal kala merasakan jutaan kembang api seolah meletup-letup kala ia memejamkan mata merasakan nikmat yang belum pernah ia rasakan. Dan malam itu menjadi malam terburuk baginya. Menjadi malam yang tak akan pernah Raga lupa terlebih saat mendapati dirinya ditinggali segepok uang keesokan paginya kala ia tersadar dari tidur panjangnya semalaman. 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN