Pak Leo yang menjadi sopir pribadi Safiya pun merasa aneh dengan tingkah sang majikan. Sebab, ia tahu bagaimana kondisi hubungan antara ayah dan anak ini.
Namun siang ini, dia sudah memarkirkan kendaraannya di pelataran sebuah gedung bertingkat. Menunggu nonanya yang sedang menemui tuan besarnya.
"Semoga tidak ada pertengakaran," gumam Leo merasa khawatir dengan keadaan Safiya.
Sedangkan di ruang kerja Hamzah, Safiya yang sudah tampil cantik duduk dengan anggun di sofa panjang.
"Kenapa kau datang?" tanya Hamzah merasa aneh dengan sikap putrinya.
Tatapan gadis itu tertuju pada pria setengah baya yang silanya masih nampak gagah dan menawan.
"Aku ada pertemuan dengan Samir. Sedangkan aku tak punya baju atau perhiasan yang bisa aku pakai untuk menunjang penampilanku. Apa ayah tidak malu, kalau putrinya tampil lusuh seperti pembantu?"
"Samir yang menelponmu meminta bertemu, atau kau yang gatal ingin menemuinya?" Hamzah masih tak percaya dengan perkataan sang putri.
"Ayah masih saja meragukanku. Padahal aku sudah dengan suka rela mau mengikuti semua kemauan ayah."
Hembusam nafas panjang keluar dari bibir Hamzah. "Kau datang meminta uang lebih untuk belanja?"
Safiya memberikan anggukan sebagai jawaban. "Itu kalau ayah mau memberikan. Kalau tidak pun aku tak masalah."
Safiya bersiap pergi, dia juga harus menemui calon suami. Kalau terlambat, pasti Samir akan memberikan tatapan aneh dan membuat tak punya nyali.
"Ayah akan mentransfer ke rekening kamu, cukup tidak cukup belanjalah barang bagus agar ayah tak malu."
Safiya kembali menoleh, hingga tatapannya beradu dengan dua mata ayahnya itu.
"Kalau ayah memberiku 10 juta, paling aku hanya membeli beberapa baju saja. Tidak dengan perhiasan atau hal lainnya."
Setelah mengatakan itu, Safiya pergi dari ruangan ayahnya. Tak lama, nontifikasi ponselnya berbunyi. Setelah dicek, uang transferan dari ayahnya sudah masuk. Senyum mengembang begitu lebar.
"Kenapa harus membawa nama Samir dulu, baru bisa meminta uang lebih?" Safiya bertanya pada dirinya sendiri.
Beberapa karyawan yang berpapasan dengan gadis manis itu menyapa karena tahu kalau anak petinggi perusahaan. Safiya hanya membalas dengan senyumam saja.
"Pak, ayo jalan ke restoran Bintang!" titah Safiya setelah sampai di mobil.
"Baik, Nona!" Leo melihat dari kaca miror, kalau raut wajah nonanya baik-baik saja. Hal itu membuat sopir pribadi itu merasa lega kalau tak terjadi percekcokan.
Dalam perjalanan ke restoran, Safiya kembali memperhatikan jalan yang sudah sering ia lewati. Dulu saat matanya belum sembuh, dia tak bisa melihat ramainya jalan raya, atau bahkan indahnya sekeliling jalan itu.
"Bapak boleh pulang dulu atau ke mana saja asal, jam setengah dua sudah sampai di sini lagi," ucap Safiya sebelum turun dari mobil.
"Baik, Non. Kalau ada apa-apa pokoknya telpon bapak ya?"
"Iya, Pak. Ini ada sedikit uang buat beli makan siang!"
Safiya menyelipkan uang itu di kantong kemeja yang di kenakan Pak Leo.
Safiya turun dari mobil, berjalan pelan menuju dalam restoran. Matanya awas mencari seseorang yang sejak tadi mengirim pesan.
"Meja no 15. Masih kosong. Kenapa dia begitu cerewet mengirim pesan kalau aku harus segera sampai," gerutu Safiya sambil mendudukkan b*k*ngnya.
Safiya memesan jus mangga sambil menunggu Samir datang. Suasana yang sedikit ramai di jam makan siang. Sekitar lima menit berlalu, jus pesanan Safiya datang.
Bertepatan dengan datanganya Samir, yang menyapa secara tiba-tiba dan membuat Safiya kaget.
"Maaf aku yang telat!"
"Kau ...?"
"Kenapa? Kaget?"
Safiya memutar bola mata sebagai tanda jengah.
"Kita makan siang dulu, baru nanti kita bicara," ucap Samir.
"Terserah kau saja! Karena aku jam setengah dua harus pergi ke kampus," jawab Safiya sambil melihat jam digital di tangan kanananya.
Samir memanggil pelayan, keduanya memesan makan siang. Menunggu beberapa menit, sampai semua menu yang dipesan siap, lelaki berparas tampan itu bertanya mengenai kuliah Safiya.
"Kau ambil jurusan apa?"
Safiya yang awalnya asik dengan ponsel, langsung mendongak menatap wajah tampan Samir.
"Aku ambil jurusan management. Berharap bisa mendirikan perusahaan sendiri suatu hari nanti."
"Sejak kamu mengalami kebutaan itu, kamu tidak mengambil kuliah privat?" Samir mulai penasaran dengan kehidupan calon istrinya.
"Iya. Aku sengaja tak mau selalu di rumah karena merasa bosan," jawab Safiya berbohong.
Karena alasan sebenarnya, dia tak mau terus tertekan dengan setiap kata atau perilaku dari ayahnya. Obrolan terjeda karena makanan sudah siap di meja. Keduanya makan dengan diam. Hanya denting sendok juga garpu yang beradu.
Safiya enggan membuka percakapan, karena tak mau dianggap sok akrab. Hampir sepuluh menit, akhirnya makan siang selesai. Safiya menunggu lelaki berparas tampan ini untuk bicara.
Samir melihat jam di tangannya, baru setengah satu siang. Dan masih ada banyak waktu sampai jam setengah dua.
"Tinggal menghitung hari, pertunangan kita digelar. Aku kemarin berharap, kamu menolak perjodohan ini," ucap Samir menatap serius ke arah Safiya.
Safiya mengerutkan keningnya, saat mendengar kata demi kata yang terucap dari bibir lelaki itu.
"Kita sama-sama dipaksa untuk rela menjalani hubungan yang sama sekali tidak kita inginkan, Samir."
"Iya. Karena kedua orang tua kita punya perjanjian sebelum mereka sukses seperti sekarang," ucap Samir.
"Kita adalah korban, dan aku juga sudah berusaha menolak, agar aku tidak menikah muda," jawab Safiya.
"Aku juga tidak punya rencana untuk menikah muda," ucap Samir.
Keduanya terdiam beberapa saat, Samir punya banyak hal yang harus dibicarakan dengan Safiya. Sayangnya, ia tak tahu cara untuk memulainya.
"Katakan apa maumu, Samir!"
Hembusan nafas panjang keluar dari bibir Samir, sebagai tanda kalau lelaki itu memang kesulitan memulai pembicaraan.
"Baiklah, aku akan mengatakan seluruhnya yang ada di kepalaku." Samir menjeda ucapannya lagi.
"Kita akan tetap melakukan pertunangan, hingga pernikahan, sesuai dengan keinginan orang tua kita. Tapi, Safiya, aku tidak akan menjanjikan apa pun untukmu."
"Aku tidak akan melarang kamu kuliah, bekerja, atau pergi ke mana pun kau mau. Kita akan tinggal satu atap, hanya saja, hubungan pernikahan ini tak akan ada rasa cinta atau keluarga harmonis yang seperti kau impikan.
Mendengar penuturan Samir, jantung Safiya terasa diremas. Sebagai seorang wanita, dia tentu menginginkan pernikahan sekali dalam hidupnya. Jika, menikah saja belum, dan si lelaki mengutarakan keinginannya, tentu saja, Safiya pun tak bisa berbuat lebih.
"Tidak masalah bagiku, Samir. Anggap saja aku bisan dirumah dan ingin keluar dari sana. Mencari dunia baru yang belum pernah aku lakukan sejak aku kecil sampai usia hampir dua puluh tahun."
"Jika hubungan ini bisa bertahan, meski tanpa cinta, biarkan. Kalau tidak bisa, kau boleh menggugat cerai dengan alasan aku bukan istri yang baik," jawab Safiya terdengar enteng tanpa beban.
Kenyataannya, di dalam hati gadis itu tak menginginkan semua itu terjadi pada pernikahannya. Tidak di rumahnya sendiri, tidak juga di sisi Samir, dia menjadi wanita malang yang tak diinginkan.
Berharap memiliki keluarga yang utuh dan saling menyayangi, nyatanya, semua hanya ada dalam mimpi seorang gadis yang haus kasih sayang.
"Kita lihat saja nanti. Hubungan seperti apa yang akan kita jalani ke depannya. Masalah ini, jangan sampai orang lain tahu. Aku akan menjadi suami yang baik di mata keluarga juga orang lain. Tapi, tidak untuk kita berdua," ucap Samir.
Safiya tersenyum tipis, hampir tak terlihat, wajahnya menunduk, menyembunyikan rasa kecewa yang tersirat jelas di dua matanya.
"Mengenai kuliah dan semua cita-citamu, aku akan mendukungmu. Aku juga akan memberikan nafkah yang layak untuk hidupmu," ucap Samir lagi.
Safiya menaikkan pandangan, kali ini, dia sudah bisa menguasai rasa kecewanya. Menatap lurus ke arah mata Samir, "Itu tugasmu sebagai suami yang memang harus memberikan nafkah."
Samir mengangguk singkat, dia melihat lagi jam digital yang ada di pergelangan tangannya.
"Apa masih ada lagi yang akan kau bicarakan?" tanya Safiya.
"Sepertinya tidak. Aku juga masih ada rapat di luar jam dua nanti. Kalau kau akan pergi, silakan!" Samir menjawab dengan menatap lekat ke arah Safiya.
Samir akui jika wajah wanita di depannya ini sangat cantik. Dan punya daya tarik sendiri, untuk membuat orang yang ada di dekatnya merasa nyaman. Namun, saat ini, ia belum ada rasa cinta atau tertarik.
"Kalau begitu, aku akan ke toilet dulu, kemudian langsung ke kampus," pamit Safiya.
"Aku antar sekalian," ucap Samir.
Safiya menggeleng, "Ti-tidak. Aku sudah ditunggu pak sopir."
"Oke. Hati-hati."
Safiya mengangguk, "Terima kasih makan siangnya!"
Samir mengangguk sebagai jawaban, dan Safiya mulai melangkah pergi dari hadapannya. Langkah gadis itu menuju toilet yang ada di restoran. Helaan nafas panjang keluar dari bibir Safiya.
Melihat sekeliling toilet yang sepi tanpa adanya orang lain. Ia merasa lega, karena ia ingin mencurahkan rasa sesak yang menghimpit dadanya.
Tangis itu kembali pecah, semua harapan Safiya terasa hancur lebur karena harapannya tak sesuai. Tapi, semua sudah menjadi pilihannya. Dia tetap akan berjuang mendapatkan kebahagiaan yang belum pernah ia rasakan.
"Ibu ...."
"Ampuni dosaku, Bu. Aku hanya ingin bahagia tanpa adanya luka. Tapi, semua yang ada di dekatku hanya bisa memberiku luka, Bu. Apa yang harus aku lakukan?"
"Aku lelah, Bu. Sampai kapan aku bisa menjalani hidup ini sendirian?"
Safiya meraung sejadinya, dia sengaja mengunci toilet itu agar tak ada yang mendengar dia menangis. Untuk kesekian kalinya, hatinya harus patah dan hancur.
"Meski beribu kalipun diri ini jatuh dan kembali hancur, namun aku akan bangkit dengan harapan yang aku punya. Tidak sekarang, tapi, aku yakin, jika ada secerca bahagia menunggu di masa yang akan datang."