Safiya masih menangis di pelukan Ria, hingga menit berlalu, pundak wanita berusia tiga puluh lima tahun itu sampai basah oleh air mata.
Ria membiarkan Safiya melakukannya. Mungkin setiap hari, gadis ini hanya meredam tangisnya dengan sebuah bantal. Mumpung keadaan memungkinkan, Ria memberikan pundak juga pelukan untuk nonanya.
"Nona, harus semangat menjalani hidup. Tidak ada hal yang tidak mungkin di dunia ini, Non. Siapa tahu, penglihatan Anda kembali dengan kuasa Allah," ucap Ria agar Safiya punya semangat hidup.
"Aku lelah berharap, Mbak. Tiga tahun aku tidak bisa melihat. Bahkan, sejak kecil hidup tanpa kasih sayang orang tua dan saudara. Kenapa Ayah membesarkanku, Mbak? Harusnya lelaki itu memb*n*hku saja."
"Setidaknya, aku tidak selalu disalahkan atas apa yang terjadi. Dengan keadaanku yang sekarang, aku hanya menjadi wanita tak berguna," ucap Safiya dengan suara serak karena terlalu lama menangis.
"Yang sabar, Non. Embak akan jadi teman Nona, jadi, jangan merasa hidup sendiri," ucap Ria menenangkan.
Setelah Safiya tak menangis, Ria memberikan minum dan membawa gadis itu ke kamarnya.
"Nona istirahat saja. Nanti kalau makan malam sudah siap, saya akan menjemput Nona," ucap Ria.
"Aku akan turun sendiri, Mbak. Nanti Mbak Ria malah kena marah," jawab Safiya.
Ria tak lagi menjawab, ia lalu meninggalkan kamar Safiya, kembali ke area dapur. Sebenarnya, semua yang bekerja di rumah megah itu sangat menyayangi Safiya. Hanya saja, mereka takut kena marah bosnya.
Gadis itu beranjak dari tempat duduknya, ia berjalan ke arah jendela, tanpa bantuan tongkat. Hanya memakai insting untuk mengetahui di mana letak jendela kamarnya.
"Apa yang bisa aku lakukan jika ayah dan kakak saja tidak pernah menganggapku ada. Apakah aku harus meninggalkan kuliah dan pergi dari rumah?"
"Tapi, keadaanku begini? Tak bisa melihat dan tak tahu arah untuk pergi," monolog Safiya berdiri di depan jendela.
Semilir angin membelai wajah ayunya, menerbangkan anak rambut yang tak tercepit. Safiya masih berdiri di depan jendela untuk menguarkan rasa sesak di dadanya.
Setiap hari hampir mendapatkan perlakuan tidak adil oleh ayahnya. Membuat hati gadis itu seperti ditikam ribuan jarum hingga membuat banyak luka.
"Ya Allah, apa yang harus aku lakukan?" gumam Safiya.
Helaan nafas panjang keluar dari bibirnya. Betapa rumit kehidupan yang harus gadis ini jalani. Safiya menoleh saat suara pintu terdengar dibuka. Aroma parfum Iqbal menguar memenuhi ruangan.
"Ada apa, Kak?" tanya Safiya dengan suara datar.
Iqbal terpaku di depan pintu kamar adiknya. Masih menatap lurus ke arah gadis cantik dengan rambut dikucir berdiri.
"Dia begitu peka dengan keberadaan seseorang," ucap Iqbal lirih.
"Aku hanya ingin bicara sebentar, sebelum aku lupa," jawab Iqbal.
"Katakan!" Safiya berbalik arah sehingga berhadapan dengan Iqbal yang tak mau masuk ke dalam kamar.
"Mulai besok, jangan lagi pergi ke kampus!"
Safiya mengeryit, "Ada apa? Aku tidak melakukan kesalahan dan kuliahku juga tidak libur."
"Kamu belajar di rumah saja, dengan keadaan kamu yang tak bisa melihat, percuma saja kamu kuliah," ucap Iqbal.
"Aku akan tetap ke kampus, Kak. Selama ini, kamu juga tak pernah peduli denganku, kan? Lalu kenapa sore ini kau begitu berubah?" Safiya mengatakan itu dengan suara lantang.
Iqbal pun tak bisa menjawab, karena tak menyangka adiknya bisa menjawab dengan kata yang begitu lugas. Keduanya pun sempat terdiam beberapa detik, hingga lelaki berwajah tampan itu bersuara.
"Aku memang tak pernah peduli padamu. Aku melarangmu ke kampus karena aku tidak mau sampai semua orang tahu, kalau kau adalah adikku!"
"Kau paham?"
Tatapan Iqbal penuh kebencian ke arah Safiya. Sedangkan gadis itu hanya diam menundukkan wajahnya. Lagi dan lagi, dia dipatahkan oleh kenyataan yang begitu pahit.
"Mama .... Bawalah aku ke tempatmu," ucap Safiya dengan suara bergetar menahan tangis.
Rasanya setiap menit yang Safiya lewati, terasa begitu berat.
"Apakah ayah yang menyuruh kakak mengatakan itu? Aku harus bicara padanya."
___
Makan malam di rumah megah itu hening tak ada obrolan. Hanya denting sendok yang beradu di atas meja. Iqbal dan Hamzah pun seperti orang lain. Tak pernah curhat mengenai apa pun.
Secara bergantian, kedua lelaki itu mulai beranjak meninggalkan meja makan. Safiya tak merasa kaget, karen setiap hari memang dia harus menyelesaikan makan seorang diri.
"Nona, mau sesuatu lagi?" Ria bertanya dengan suara lirih.
Safiya menoleh ke sebelah kanannya, mendongakkan wajahnya, lalu menggeleng.
'Sebenarnya, aku ingin kamu menemani makan, Mbak. Tapi, aku takut Ayah akan marah,' ucap Safiya dalam hati.
Ria membereskan piring bekas makan Iqbal dan Hamzah sambil menunggu Safiya selesai. Ia juga menyiapkan minuman untuk nonanya agar tak kesulitan mengambil saat ingin minum.
"Makasih, Mbak!" Safiya tersenyum tanpa tahu di mana letak berdirinya Ria.
"Kalau tidak ada Tuan, silakan katakan apa saja yang Nona inginkan. Saya akan coba berikan untuk anda," ucap Ria tulus.
"Terima kasih, Mbak. Pokoknya terima kasih karena sudah baik padaku. Ada hal yang harus aku bicarakan dengan ayah. Bisa tolong antar aku ke ruang kerjanya?"
Safiya memang tidak tahu di mana kamar kakaknya, ayahnya dan letak ruangan penting yang lain. Yang dia hafal hanya jalan menuju kamar, ruang tengah, ruang tamu dan dapur.
"Boleh, mari saya antar." Ria menggandeng lengan nonanya.
Safiya sambil mengingat jalan itu agar nanti saat kembali ke kamar, bisa melakukan sendiri.
"Sampai, Non. Mau saya tungguin?" Ria sebanarnya khawatir Hamzah akan marah. Tetapi, dia juga tak bisa mencegah kemauan nonanya.
Safiya menggeleng, "Saya bisa kembali ke kamar sendiri, Mbak. Saya sudah hafal jalannya," jawab Safiya.
"Oke, hati-hati, ya." Ria hanya bisa percaya, kalau nonanya akan baik-baik saja.
Safiya mengetuk pintu besar itu, tak lama, terdengar suara Hamzah yang mengizinkan masuk. Saat Safiya berhasil membuka pintu, lelaki paruh baya itu menghembuskan nafas panjang.
"Ada apa, Safiya?" Hamzah sepertinya tak mau basa-basi.
"Aku ingin bertanya sesuatu, Yah!" Safiya berjalan ke arah meja kerja ayahnya.
Hamzah pun berdiri dari tempat duduknya, dia juga penasaran dengan apa yang akan ditanyakan oleh anaknya.
"Apa, katakan cepat! Karena ayah ada pekerjaan yang belum selesai!"
Safiya mengangguk, "Kakak datang ke kamarku, hanya untuk mengatakan kalau besok, aku tidak boleh ke kampus."
Safiya sengaja menjeda ucapannya, hanya untuk mendengar kalimat bantahan dari ayahnya. Nyatanya, sudah beberapa detik berlalu, tak ada suara dari sang ayah. Sehingga, Safiya melanjutkan bicara.
"Ayah yang menyuruh Kakak untuk melakukan itu? Atas dasar apa, Ayah menyuruhku kuliah di rumah? Jawab Yah?"
Safiya memberikan beberapa pertanyaan untuk ayahnya.
"Jawabannya cuma satu, Safiya. Kau ini cacat, buta, untuk apa kuliah?"
"Yah, tidak usah setiap menit kau ingatkan pun aku tidak lupa ingatan, kalau aku cacat. Orang cacat ini punya impian sama seperti yang lain, Yah. Biarkan aku menggapai itu semampuku." Safiya bicara dengan menggebu, membuat nafasnya memburu.
Sudut bibir Hamzah tertarik ke atas membentuk lengkungan senyum. Sayangnya, senyum ejekan, bukan senyum bangga akan keinginan belajar yang menggebu dari sang putri.
"Sadarlah, Safiya, kau ini tidak bisa melihat. Lupakan mimpi setinggi gunung itu!" Hamzah mengatakan itu sambil menarik kerah kemeja yang dipakai Safiya. Dalam sekali hentakan, tiba-tiba tubuh ringkih itu terdorong karena Hamzah sengaja melakukannya.
Karena tak bisa menyeimbangkan tubuhnya, Safiya jatuh tersungkur dan menabrak sudut meja. Bagian kanan atas matanya membiru bahkan mengeluarkan darah. Safiya meringis kesakitan sambil mengelus pelan keningnya.
Memejamkan mata sejenak karena sakit serta pusing yang mendera. Saat mencoba berdiri dan membuka mata, Safiya kaget karena ada sesuatu di luar nalarnya yang hanya manusia biasa.