Hukum Sebab Akibat

1800 Kata
"Saya lagi kena hukuman, Mbak." Rori akhirnya memutuskan untuk berterus terang. Rori pernah mendengar sebuah kalimat bijak. Terbuka pada orang asing jauh lebih mudah dibanding terbuka dengan orang terdekat. Sekarang Rori benar - benar merasakannya.    "Hukuman? Maksudnya?" Vanila merasa bingung.    "Saya ngelakuin banyak banget kesalahan. Sekarang saya kena karma. Keluarga saya udah nggak percaya lagi sama saya. Sahabat saya marah sama saya. Saya didisipilinin sama Ayah. Disuruh tinggal di sini. Padahal ...."    "Padahal?"    Rori menatap Vanila, bingung harus menjawab apa. "Mbak tahu sekarang ini lagi marak fenomena youtuber, kan? Tiba - tiba semua orang menjelma jadi vlogger."    Vanila mengangguk. "Mas salah satu di antaranya, kan?"    "Lhoh, Mbak udah tahu?"    Vanila mengangguk lagi. "Baru banget saya tahunya. Dikasih lihat sama adek saya yang bercita - cita jadi youtuber. Eh, terus saya ketemu Mas di King Kong siang itu. Tapi saya nggak langsung ngenalin Mas. Soalnya tahu awal di Youtube, terus tiba - tiba lihat langsung di dunia nyata, jadinya agak disorientasi."    "Bagus deh kalo Mbakv- nya udah tahu saya. Saya jadi nggak perlu jelasin banyak - banyak."    Vanila tersenyum mendengar jawaban Rori, meski sebenarnya ia masih bingung. "Jadi apa hubungannya youtuber sama karma?"    Rori menarik napas dalam. "Karena Mbak udah pernah lihat video saya, Mbak pasti udah tahu apa tema yang saya angkat dalam video, kan?"    "Ya gitu, deh," jawab Vanila sekenanya. Memang iya, ia sudah tahu. Dan itu adalah tema yang sama dengan tema yang sangat Vanila suka.    "Karena tema yang saya angkat itu ... Tuhan jadi hukum saya, Mbak." Rori berhenti sejenak. Sesak itu kembali memenuhi dadanya. Perasaan tak terima yang dirasakannya kembali mendominasi. "Mbak waktu itu anterin saya ke rumah sakit ...."     "Iya, lalu?" Vanila mengantisipasi jawaban Rori setelah ini. Pasti tentang diagnosa yang ia dapat setelah pemeriksaan. Apakah ia akan berterus terang, atau justru memutuskan untuk tetap bungkam.    ~~~~~ Y S A G ~~~~~ Vanila mendapat sebuah panggilan dari nomor asing. Ia tentu saja ragu untuk menerima. Foto yang terdapat dalam profil si penelepon pun tak jelas. Ia menggunakan gambar kartun dua orang laki - laki yang tersenyum menghadap kamera. Vanila memutuskan untuk mengabaikannya.     Sekarang sudah hampir sore. Tapi Vanila belum juga pulang. Ia masih bertahan di rumah Rori.    Demi apa?    Seorang Vanila yang selama ini anti berlama - lama berinteraksi dengan laki - laki -- apalagi laki - laki yang asing -- tiba - tiba mau - maunya menemani Rori, yang sekali lagi belum ia kenal dengan benar. Sampai saat ini Rori bahkan belum tahu namanya, bukan?    Rori sudah menceritakan semuanya tadi. Tentang karma buruk yang ia dapat. Tentang penyakitnya yang datang di saat yang sangat tepat. Maka dari itu, Rori menyebutnya sebagai hukuman.    Saat ini Rori tertidur pulas di hadapan Vanila. Masih di sofa panjang yang sama dengan yang ia gunakan tadi pagi. Rori sudah sempat membersihkan salah satu kamar saat Vanila pergi untuk UAS. Tapi kamar itu masih belum bersih sepenuhnya.    Rori akhirnya makan dengan benar setelah menyelesaikan rentetan ceritanya. Setelah minum obat, ia segera tertidur. Dan belum bangun sampai sekarang.    Vanila ingin pulang tentu saja. Ayah dan Ibu pasti sudah menanti - nantikan kepulangannya, karena tidak ada yang membantu mereka di rumah.    Tapi di sisi lain, Vanila juga tak bisa meninggalkan Rori. Mana ia tega? Setelah Rori menceritakan tentang rentetan penderitaannya, tentang penyesalannya, tentang kesendiriannya.    Mendadak Vanila merasa bersalah. Rori telah mendapat karma dari hobinya. Sementara Vanila yang selama ini menikmati konten yang serupa dengan yang diangkat oleh Rori -- bahkan masih aktif menulis dengan tema yang sama -- ia sama sekali tak mendapat balasan apa pun.    Atau ... belum mungkin?    Rori mengernyit dalam tidurnya. Entah karena merasa sakit atau mimpi buruk. Vanila datang menghampirinya untuk melihat lebih dekat. Vanila menghapus peluh yang memenuhi kening Rori dengan tisu. Ia lalu dikejutkan oleh getaran dari ponsel yang ia masukkan dalam saku kemeja putihnya.    Tak ingin menggangu Rori dengan suara getaran lain jika ada pesan baru lagi, Vanila memutuskan untuk menjauh. Ya ... Vanila bisa saja segera mengganti mode ponsel menjadi diam. Tapi ia menjauh karena refleks. Ia beranjak, keluar dari rumah, duduk pada undakan di teras.    Orang asing yang tadi meneleponnya lah yang mengirim pesan. Vanila ragu. Tapi ia tetap membuka pesan itu.    Mbak Vanila, saya Ardi. Yang tadi nggak sengaja Mbak tabrak di lorong deket BAU.    Jantung Vanila berdetak lebih cepat sekarang. Aduh, kenapa orang ini mengontaknya? Apa ponselnya rusak parah? Jadi ia mau minta ganti rugi?    Iya, ada apa, Mas? Apa HP Mas rusak parah?    Orang itu sedang mengetik pesan sekarang.    Nggak, Mbak. HP saya baik - baik aja.    Vanila heran sekali. Kalau ponselnya baik - baik saja, lalu kenapa tadi ia telepon? Sekarang malah mengirim chat pula!    Orang itu sedang mengetik pesan saat ini. Entah apa. Sepertinya panjang sekali karena tidak selesai - selesai.    Oh, ia sudah berhenti mengetik. Tapi tidak mengirimkan apa pun. Ia mungkin merasa ragu dengan apa yang sudah ia ketik, kemudian segera menghapusnya kembali, dan tidak jadi mengirim apa pun.    Vanila berinisiatif untuk membalas pesan yang sudah ada saja. Semoga ini adalah obrolan terakhir mereka. Mengingat tidak ada after effect apa pun setelah insiden tadi pagi. Habis perkara.    Alhamdulillah HP Mas baik - baik aja. Sekali lagi maafin saya ya, Mas. Lain kali saya bakal lebih hati - hati.    Vanila menambah emoticon di belakang pesan, lalu segera mengirimnya.    Orang itu sedang mengetik lagi. Cukup lama pula. Dan berakhir tidak mengirim apa - apa lagi. Uhm ... aneh! Sebenarnya apa maunya?     Vanila mendengar suara berisik dari dalam rumah, ia berusaha melihat dari tempat berdirinya, namun tak berhasil. Apa yang sedang terjadi di dalam berada di luar jangkauan matanya.    Vanila mematikan ponselnya yang lowbath, memasukkan dalam saku, lalu bergegas kembali masuk ke rumah.     Ia melihat Rori yang berusaha meraih sebuah baskom yang tak jauh darinya. Vanila tadi yang meletakkan baskom itu di sana.    Sebenarnya Vanila sudah menduga apa yang akan terjadi pada Rori setelah ia bangun tidur. Ingat bahwa Vanila memiliki pengetahuan lebih tentang banyak jenis penyakit, bukan?    Dari informasi yang ia dapat dalam forum pasien kanker yang pernah ia masuki, Rori memiliki salah satu jenis obat yang mengakibatkan sebuah reaksi setelah diminum. Dan sekarang reaksi itu sedang terjadi.    Vanila berlari mendekat, ia juga mendekatkan baskom itu pada Rori agar pemuda itu tak kesulitan lagi.     Rori terlihat luar biasa mual, bersiap memuntahkan semua isi perutnya. Vanila sebenarnya merasa sayang karena bubur ayam pemberiannya tadi akan mubazir. Aduh ... Vanila bahkan masih sempat memikirkan hal seperti itu di saat genting seperti ini.    ~~~~~ Y S A G ~~~~~ "Mbak, makasih, dan maaf." Suara Rori hampir tak terdengar saking lemahnya. Saat sehat saja, suaranya itu sudah lembut dan lirih. Apalagi dalam keadaan lemas tanpa tenaga seperti ini.    "Mas Rori mau nambah piring cantik, ya? Udah berapa ratus kali bilang gitu tadi? Mending tenaganya disimpen. Kali aja nanti muntah lagi." Vanila khawatir sekaligus gemas dengan kekeraskepalaan Rori.     "Tapi saya beneran nggak enak banget sama Mbak - nya. Tamu nggak disuguhin apa - apa. Malah dikasih lihat yang jijik - jijik. Tadi pagi tikus. Sekarang malah muntahan."    Sudah diberi tahu untuk hemat energi, Rori malah bicara panjang lebar lagi. Padahal ia sudah terkulai tanpa tenaga. Nyaris tak bisa bergerak karena tubuhnya bahkan lebih lowbath dari ponsel Vanila.    "Vanila!" seru gadis itu kemudian.    Rori mengernyit. "Maksudnya, Mbak?"    "Nama saya Vanila, Mas. Jangan panggil saya Mbaknya - Mbaknya terus! Kan kesel!" Vanila mencak - mencak. Sekarang sudah adil. Akhirnya kini mereka mengenal satu sama lain. Bukan hanya Vanila yang mengenal Rori.    Jawaban Vanila berhasil membuat Rori tersenyum geli. Meski senyuman itu sangat tipis nan samar karena kondisi Rori sekarang. "Maaf, ya, Mbak. Kita emang belum kenalan dengan benar, dan akhirnya saling kenal dengan cara yang antimainstream. Harusnya saya lebih peka."     "Alhamdulillah, akhirnya sadar kalau situ kurang peka."     Vanila menatap keluar jendela. Sekarang hari benar - benar sudah sore. Vanila harus segera pulang. Tapi bagaimana ia bisa meninggalkan Rori dalam keadaan seperti ini?    "Mas Rori?"    "Iya, Mbak."    "Sebenernya saya mikirin hal ini sejak tadi. Tepatnya sejak Mas Rori nyeritain semuanya ke saya."    "Mikirin apa, sih, Mbak?"    "Sebuah cara untuk ... untuk ngembaliin kepercayaan keluarga dan sahabatnya Mas Rori."    Rori terkejut tentu saja. Apa yang membuat Vanila sampai sepeduli itu padanya? Sampai - sampai memikirkan cara untuk menyelesaikan masalah terbesarnya saat ini.    "Mas Rori pasti bertanya - tanya kenapa saya repot-repot mikirin masalahnya Mas, kan?"    Tepat seperti apa yang Rori pikirkan. Vanila menembak tepat pada sasaran. Rori segera mengangguk setelahnya.    "Karena saya merasa bersalah dan merasa bahwa ini semua sangat nggak adil." Vanila mengatakannya dengan tegas.    "Maksud Mbak Vanila apa?" Rori semakin bingung dibuatnya.    "Bukan hanya Mas Rori yang melakukan kesalahan. Saya juga. Tapi kenapa hanya Mas Rori yang dihukum? Itu lah kenapa saya merasa bersalah dan merasa ini semua nggak adil."    "Mbak, saya benar - benar nggak ngerti."    Vanila menggigit bibir bawahnya. Ia lalu menatap Rori lekat. "Mas Rori tahu aplikasi Innovel atau Dreame?"    "Dreame? Pernah denger, sih. Kalau Innovel kayaknya belum."    "Jadi Dreame sama Innovel itu satu perusahaan, Mas. Kalau Dreame sifatnya internasional. Nah kalau Innovel adalah tempat naskah Dreame yang bahasa Indonesia doang. Kalau kita posting cerita di Dreame, otomatis masuk juga ke Innovel. Demikian sebaliknya. Itu aplikasi buat baca n****+ online, Mas. Para author bebas nulis apa pun di sana, dan pembaca tinggal milih cerita mana yang sesuai selera mereka. Asal Mas Rori tahu aja. Saya adalah salah satu author di Dreame. Tema dari cerita - cerita saya sangat identik dengan tema konten Mas di Youtube. Saya sangat menikmati tema - tema seperti itu sejak dulu. Demikian pula Mas Rori, para subscriber Mas Rori, dan juga para pembaca saya. Jadi ...."    "Jadi?"    Vanila semakin menatap Rori dengan lekat. "Saya bakal ngomong hal ini dengan cepat. Karena setelah itu saya harus segera pulang mengingat ini sudah sore. Maka dari itu Mas Rori harus denger semuanya dengan baik, dan memikirkannya matang - matang. Besok saya bakal dateng ke sini lagi buat denger jawaban Mas Rori. Semoga Mas Rori setuju, sehingga saya nggak akan merasa bersalah lagi."    "Mbak ... sebenernya Mbak Vanila nggak perlu berbuat sejauh ini. Saya sakit, itu bukan salah Mbak. Jadi Mbak nggak perlu ikut merasa bersalah."    Vanila menggeleng. "Saya sudah telanjur terlibat, Mas. Seperti yang Anda katakan, nggak ada yang kebetulan di dunia ini. Semua pasti ada hukum sebab akibatnya. Anda pikir Tuhan bikin saya berada di sini sekarang, bukan tanpa tujuan?" Vanila memberi jeda. "Bagaimana jika karma yang Mas Rori dapat, sebenarnya adalah karma saya juga? Makanya, Tuhan melibatkan saya dalam urusan ini."    Rori sepertinya mulai menangkap maksud Vanila. Masuk akal. Mereka memang bertemu semenjak karma Rori dimulai, bukan?    Karena ... ini bukan hanya karma untuk Rori. Tapi juga untuk Vanila.    Mengerikan sekali. Rori sampai merinding.    "J - jadi ... apa sebenarnya rencana Mbak Vanila?"    Vanila semakin mendekat pada Rori. Ia menarik napas dalam, lalu mulai mengatakan rentetan pemecahan masalah yang sudah ia susun, untuk mendapatkan kepercayaan orang - orang terdekat Rori kembali.    ~~~~~ Y S A G ~~~~~ -- t b c -- 
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN