Pagi Pertama
Athar mengerjap. Ia mengucek matanya lalu melirik jam weker di nakas. Sudah jam lima pagi. Saat ia melayangkan tatapan ke sebelah kanannya, hanya ada ruang kosong. Ia bertanya-tanya, kemana Nabira. Apa ia kabur? Dia menyeringai, tak mungkin, pikirnya. Penjagaan rumahnya begitu ketat. Cctv dimana-mana dibarengi tenaga security yang terlatih dan profesional siap berjaga.
Suara pintu yang bergeser membuat Athar terkesiap. Ia melirik Nabira memasuki kamar dengan menenteng sajadah dan mukena. Mimik wajahnya berganti bengong dan merasa takjub dengan pemandangan barusan. Seorang lesbian masih ingat untuk beribadah.
“Habis sholat? Di mana?” tanya Athar datar.
“Di ruang sebelah,” jawab Nabira tak kalah datar.
“Kenapa tidak di sini?” tanya Athar dengan suara yang lebih keras.
Nabira menatap suaminya tajam dan menghunjam.
“Sholat di kamar ini? Aku bahkan tak tahu bagaimana liarnya kamu sebelum kamu memboyongku ke rumah ini. Bisa jadi kamu sering membawa pulang perempuan dan tidur dengan mereka di sini.”
Athar tak menyangka, Nabira berani bicara sepedas itu.
“Jangan menuduhku sembarangan. Aku cukup tahu aturan.” Athar menegaskan kata-katanya. Ia tak suka dihakimi.
“Tahu aturan? Termasuk aturan bagaimana menghargai orang lain? Untuk satu ini kamu tak tahu aturannya.” Nabira bersedekap dan melempar senyum sinis.
Athar beranjak dari posisinya lalu melangkahkan kaki untuk memperpendek jaraknya pada Nabira. Ia kesal dan menatap Nabira dengan geram. Gadis ini selalu menilainya begitu buruk seolah dia orang paling suci di dunia.
Athar mendorong tubuh istrinya hingga mepet ke dinding. Seperti yang ia lakukan semalam, kedua tangannya mengunci pergerakan Nabira. Nabira berusaha bersikap setenang mungkin. Ia tak mau terprovokasi oleh tingkah Athar.
“Sebelum menilaiku apa kamu pernah menilai dirimu sendiri? Atau perlu aku ingatkan identitasmu sebagai lesbian? Apa menurutmu menjalin hubungan sesama jenis itu bisa dibilang tahu aturan? Sekarang ceritakan padaku, apa ada ayat di Al-Qur'an yang membolehkan seseorang menjalin hubungan sesama jenis?”
Jleb...
Nabira menelusuri detail wajah Athar yang menatapnya dingin.
“Apa fungsi sholatmu selama ini? Kalau kamu masih saja berhubungan dengan pacar lesbianmu? Kamu pikir aku tak tahu kelakuanmu selama enam bulan terakhir? Sejak ayah mengatakan bahwa aku akan dinikahkan denganmu, aku mencari tahu semua informasi tentangmu. Kadang aku minta bawahanku untuk mengikutimu. Jangan berpura-pura polos dan sok suci di depanku, Nab.”
Nabira mengenyit. Ia tak pernah berpikir sejauh itu. Athar mencari informasi tentangnya sampai menyuruh bawahannya mengikutinya?
“Bahkan aku sendiri masuk ke night club dan melihatmu di sana. Kamu tahu apa yang aku lihat? Kamu ciuman panas dengan Ara, menjijikkan. Aku bahkan mual membayangkan bagaimana liarnya kamu dan Ara saat di ranjang, di depan orang saja berani berciuman seperti itu.”
Nabira speechless, tak tahu harus membalas apa. Ia tak bisa menyangkal.
“Selama aku pacaran dengan mantan pacarku, aku tahu diri untuk nggak pernah berciuman seperti itu di depan umum. Dia bukan orang yang suka clubbing. Dan aku juga nggak pernah membawanya ke ranjang. Bagaimana bisa aku membawa pulang perempuan ke rumah seperti yang kamu tuduhkan? Siapa sebenarnya yang tak tahu aturan?”
Lagi-lagi Nabira membisu.
“Jika ayah tidak mengancam akan memberikan perusahaan pada Alzen tentu aku tak akan pernah mau menikahimu. Dan jika kamu pikir aku mempertahankan perusahaan hanya karena uang, kamu salah besar. Orang tahu bagaimana kelakuan Alzen dan ibunya yang gemar berfoya-foya. Apa jadinya jika perusahaan ini diberikan pada orang tak bertanggung jawab seperti Alzen? Ayah merintis perusahaan itu sejak masih lajang.”
Nabira terpekur. Athar menjauhkan diri dari hadapan Nabira. Ia duduk di ujung ranjang, sementara Nabira masih mematung di sudut yang sama.
“Aku dan Ara tidak seliar seperti yang kamu bayangkan. Ya, mungkin kami pernah beberapa kali menghabiskan malam berdua... Tapi...” suara Nabira terdengar mencekat di ujung. Entah kenapa dia malu sendiri mengingat kelakuannya dan Ara sebelum menikah.
“Tapi apa?” Athar menatap Nabira tajam.
Nabira tak melanjutkan kata-katanya.
“Kamu mau bilang kalau kamu masih perawan? Dan apa itu penting buatku?” Athar kembali berjalan ke arah Nabira. Ia menyandarkan sebelah tangan di dinding dengan terus menelisik wajah Nabira yang tidak lagi memancarkan arogansinya.
Jari-jari Athar melepas salah satu kancing baju Nabira. Nabira terhenyak. Ia merutuki kebodohannya yang hanya membeku saat Athar mencoba membuka kancing bajunya satu per satu. Tentu ia sadar benar ini bukan pelecehan. Athar sudah menjadi suaminya dan berhak atasnya meski mereka telah sepakat untuk tidak ada kontak fisik. Dan entah kenapa ia merasa bersalah karena sudah menuduh Athar berbuat sesuatu yang b***t. Gambaran seorang CEO mapan dan tampan yang hobi berpetualang di ranjang seperti kebanyakan CEO dalam cerita-cerita yang pernah ia baca seketika menguar. Athar mungkin pengecualian.
Athar masih sibuk dengan jari-jari tangannya yang sudah tiba hingga di kancing baju Nabira yang paling ujung. Ia berbisik lirih, “Buktikan padaku kalau kamu masih perawan. Aku juga ingin anak darimu. Anak yang akan mewarisi perusahaan Bumi Pramudya.”
Telinga Nabira meremang seiring dengan kecupan Athar di lehernya. Kecupan itu berulang hingga Nabira merasa sedikit nyeri karena Athar meninggalkan beberapa tanda di sana. Ia tak merasakan getaran meski sedikit gugup. Sensasi yang diberikan Ara jauh lebih bisa menerbangkannya dibanding dengan apa yang Athar lakukan sekarang.
Athar menghentikan aksinya. Kini ia memfokuskan perhatiannya pada bibir ranum Nabira yang seakan memancingnya untuk mendaratkan kecupan di sana. Athar menyapukan jari-jarinya pada bibir Nabira. Lagi-lagi Nabira membeku. Ia rasa tak mengapa membiarkan Athar menciumnya sebagai penebus rasa bersalahnya yang telah menuduh suaminya begitu rendah. Ciuman laki-laki tak akan pernah berarti untuknya karena ia memang tidak tertarik pada laki-laki.
Athar masih terpaku, seakan ragu apa ia akan benar-benar melakukannya pada Nabira? Apa ia bisa melakukan seks tanpa melibatkan perasaan di dalamnya? Bukankah ia hanya menginginkan anak dari Nabira? Ia bisa melakukannya tanpa cinta sekalipun.
Saat ujung bibir Athar hendak menyentuh ujung bibir Nabira, dering ponsel mengagetkannya. Athar berbalik menuju nakas, mengambil ponsel dan mengangkat telepon.
Nabira mengembuskan napas lega. Dengan sigap ia pasangkan kembali kancing bajunya yang sudah dilepas Athar.
Nabira bisa mendengar perbincangan Athar dengan seseorang di ujung telepon yang sepertinya membahas urusan penting.
Setelah selesai berbicara, ia letakkan kembali smartphone itu lalu melirik Nabira yang diam membisu. Ia bahkan tak lagi fokus memperhatikan kancing baju Nabira yang sudah terpasang lagi.
“Aku akan mandi. Aku harus ke kantor secepatnya. Selama aku bekerja, kamu bebas mau apa saja di rumah. Tapi kalau kamu ingin keluar rumah, kamu harus izin padaku.” Athar masuk ke kamar mandi tanpa menunggu tanggapan dari Nabira.
Nabira turun ke bawah. Dia berpikir pekerjaan apa yang bisa dilakukan di rumah sebesar ini. Meski ia tak menginginkan pernikahan ini, ia sadar benar statusnya sudah berubah sekarang. setidaknya ia bisa memulai dengan memasak di dapur seperti yang sering ibunya lakukan. Meski dia tak pintar memasak, tapi dia tahu dasar memasak dan ia rasa bisa belajar dari bermacam resep yang berseliweran di internet.
Saat menapakkan kaki di dapur, sudah ada dua orang asisten dan seorang berseragam chef. Salah seorang asisten melihat kedatangannya dan menundukkan wajahnya, "Selamat pagi Nyonya."
Dua orang lainnya menyusul menyapanya.
“Selamat pagi,” balas Nabira dengan senyum ramah.
“Apa saya bisa membantu memasak?” tanya Nabira polos.
“Tidak perlu, Nyonya. Tuan khusus memanggil Chef Gavin untuk memasak sarapan spesial untuk Nyonya. Jadi Nyonya tak perlu membantu.” Salah satu asisten menjawab dengan berhati-hati agar tak salah ucap.
Nabira menghela napas. Athar sampai memanggil chef untuk memasak menu spesial. Ia kembali ke ruang tengah dan duduk merenung di sana. Dalam semalam hidupnya seolah berubah 180 derajat. Ia seperti seorang ratu yang tinggal di istana megah tapi hatinya serasa hampa. Mungkin tinggal di rumah sebesar ini dengan banyak asisten yang siap membantu adalah impian banyak orang. Namun tidak dengannya. Ia merindukan kehidupan lamanya. Satu harapan terbesarnya, ia hanya ingin bersama Ara dengan tenang, tanpa penghakiman publik. Di-judge sebagai pendosa dengan kelakuan lebih rendah dari binatang sudah sering ia terima dari teman-teman yang tahu akan identitas dirinya sebagai lesbian.
Ya, di mata orang homoseksual memang sebegitu rendahnya. Ia juga tak bisa menepis akan serangkaian ucapan yang singgah di telinganya tentang bagaimana agama memandang homoseksual sebagai sesuatu yang haram.
******
Sarapan pagi ini berlangsung begitu kaku. Nabira mengenakan home dress yang bagi Nabira terlalu mewah meski modelnya simple. Namun ia tahu, dress yang dikenakan saat ini adalah baju berkelas berharga mahal. Ia seperti dipaksa menjadi orang lain. Sejujurnya ia tak suka berpenampilan seperti ini. Ini sama sekali bukan dirinya.
Athar sama sekali tak mengajaknya berbincang. Mungkin memang seperti ini aturannya. Ketika makan, tak boleh ada yang berbicara apapun.
Seusai makan, Athar bersiap menuju garasi. Melihat Nabira yang duduk mematung, ia pun kesal sendiri.
“Bagaimana bisa seorang istri diam saja sementara suaminya hendak berangkat kerja?”
Nabira bengong dengan tampang innocent-nya.
“Apa yang harus aku lakukan?” tanya Nabira polos.
“Hal begini saja kamu tidak tahu. Attitude kamu sebagai istri itu benar-benar nol. Atau aku harus mengundang guru kepribadian untuk mengajarimu bagaimana harus bersikap.” Kata-kata Athar begitu menusuk.
Nabira beranjak dengan kesal. Ia mengantar Athar hingga ke teras. Setiba di sana, Pak Hendi, supir pribadi Athar sudah membukakan pintu mobil menyambut atasannya.
Nabira menyeringai, “Dasar manja. Kamu bisa nyetir sendiri, kan? Kenapa harus pakai supir?”
Athar melirik istrinya dan menatap sinis, “Manja? Bisakah otakmu sedikit digunakan untuk berpikir secara logis dan mendalam? Bukan asal nyeplos dan mengambil kesimpulan sepihak. Kamu tahu kan tentang konsep time is money? Kalau aku nyetir sendiri itu artinya, I will waste my time. Aku bisa menyelesaikan pekerjaan atau mempelajari dokumen dan notulen rapat yang belum aku baca saat dalam perjalanan. Belum lagi jika terjebak macet. Memiliki supir pribadi itu sangat membantu.Orang sibuk sepertiku sudah memperhitungkan semua secara matang.”
Nabira tersenyum mengejek, “Dan sekarang kamu sudah membuang banyak waktu karena berbicara panjang lebar, menyuruhku berpikir secara mendalam. Itu artinya kamu menuduhku selalu berpikir dangkal. Kamu nggak sadar, kamu juga sering berpikir dangkal.”
“Kamu selalu berpikir negatif tentangku,” balas Athar.
“Kamu yang memulai dulu.” Nabira tak mau kalah.
“Apa kamu nggak ingat, tadi pagi kamu yang merendahkanku lebih dulu. Skor satu sama.” Athar memperpendek jaraknya.
“Kalau dihitung secara keseluruhan, kamu yang lebih sering merendahkanku.” Nabira masih berusaha membela diri.
Karena gemas, Athar menarik tubuh Nabira hingga menempel di tubuhnya dan ia mencium bibir Nabira tanpa Nabira siap menerimanya. Athar mencumbunya begitu brutal seolah ada kombinasi antara menikmati dan rasa kesal di saat yang bersamaan.
Pak Hendi, sang supir pribadi mengalihkan pandangan ke arah lain. Ia merasa malu sendiri melihat kelakuan bosnya setelah menikah yang menggelikan seperti anak-anak ketika bertengkar di satu sisi, dan di sisi lain seperti orang kesurupan yang sudah lama tak mencium orang.
Athar melepas ciumannya dengan napas terengah-engah. Begitu juga dengan Nabira. Ia kaget luar biasa. Ciuman itu memang begitu hangat dan panas, tapi terasa aneh untuk Nabira. Bibir laki-laki ternyata tidak selembut bibir perempuan. Bahkan ia sedikit terkejut saat tangannya refleks memegang lengan Athar, terasa begitu keras, tak selembut lengan Ara.
Mata mereka beradu. Atmosfer terasa begitu canggung. Masing-masing berusaha menstabilkan napas yang masih saja bergemuruh.
“Dua-satu untuk keunggulanku. Yang barusan kamu merendahkanku.” Nabira menatap wajah Athar yang tersenyum sinis.
“Yang namanya merendahkan itu kalau kamu tak suka. Kamu membalasnya, artinya kamu menyukainya. Ciuman pacar kamu itu nggak ada apa-apanya dibanding ciumanku,” tegas Athar.
Laki-laki itu berbalik menuju mobil. Sebelum masuk ke mobil, dia melirik tajam Nabira sekali lagi, “Skor masih sama, satu-satu.”
Nabira terpekur menatap laju mobil suaminya berlalu dari pelataran. Ketika hendak masuk ke dalam, suara deru mobil mengagetkannya. Ia pikir Athar kembali tapi rupanya mobil lain, yang ia tak tahu siapa gerangan pemiliknya.
Mata Nabira terbelalak melihat kedatangan ibu mertuanya alias ibu tiri Athar.
“Hai, Nabira, aku ingin bicara denganmu.” Hera melepas kacamata hitamnya lalu tersenyum penuh arti.
Nabira tak bisa mendefinisikan apa arti senyum itu, tapi rasanya bukanlah senyum yang tulus. Nabira menjabat tangan ibu mertuanya dengan sopan lalu mempersilakannya masuk.
Dua wanita itu duduk saling berhadapan. Hera menyeruput tehnya lalu menelisik penampilan Nabira yang terlalu sederhana di matanya. Gadis di hadapannya bukan gadis berpenampilan glamour, wajahnya pun bisa dibilang biasa, tidak cantik tapi juga tidak jelek. Ia heran, kenapa Athar semudah itu menerima perjodohan mereka. Hera semakin yakin, Athar hanya ingin memperkuat kedudukannya sebagai pewaris tunggal perusahaan.
Tatapan Hera beralih mengamati jejak-jejak kiss mark di sepanjang leher Nabira yang dibiarkan tampak jelas dan terbuka. Memalukan, pikirnya, ketika bukti gairah Athar terpampang jelas jejaknya. Ia harap, ia belum terlambat. Dan kalaupun semalam mereka memang bercinta, Hera harap dari percintaan itu tak membuahkan hasil. Ia akui, ia tak merencanakan semua ini dengan matang. Harusnya ia membicarakan hal ini sebelum Nabira dan Athar menikah.
“Kamu masih muda, Nab. Kenapa kamu mau saja diminta resign oleh Athar?”
Pertanyaan Hera sebenarnya sulit untuk dijawab. Ia sendiri merasa kecewa dengan keputusannya. Namun ia tak bisa melawan kehendak Athar, terlebih jika nama Ara dijadikan senjata.
“Saya hanya berusaha untuk menjadi istri yang taat.”
Hera tersenyum mendengar jawaban polos Nabira.
“Lebih baik kamu gunakan waktu kamu untuk berkarir dulu. Tak usah punya anak dulu. Kamu bisa menunda kehamilan.” Hera mengambil sesuatu dari dalam tasnya.
Nabira terbelalak melihat deretan pil yang ia tak tahu pil apa itu.
“Ini pil kontrasepsi. Kamu bisa meminumnya untuk menunda kehamilan. Kamu bisa menyimpan di tempat yang tersembunyi agar Athar tidak mengetahui.” Hera menatap tajam tepat menancap di kedua mata Nabira.
Nabira terhenyak, “Saya nggak membutuhkan ini.”
“Simpan saja. Kamu akan membutuhkannya. Sayang sekali jika perempuan semuda kamu harus hamil, melahirkan, dan merawat bayi. Itu sangat merepotkan.” Hera tersenyum tipis. Ia beranjak.
Nabira ikut berdiri. Hera masih awas menatap sang menantu tajam.
“Saya pamit dulu. Ada arisan antar wanita sosialita yang harus saya hadiri.”
Dengan gaya angkuh, Hera keluar tanpa mengucap salam atau sekedar ucapan selamat pagi.
Nabira tercenung. Kini ia tahu jawaban kenapa Athar menginginkan anak darinya. Sepertinya sang ibu tiri menginginkan jalur keturunan dari ayah mertua dan almarhumah istrinya berakhir di Athar, tak ada lagi keturunan setelah Athar. Ia melirik rentetan pil kontrasepsi itu. Saat ini Athar memang belum menyentuhnya. Namun ia harus bersiap ketika tiba-tiba Athar menginginkannya. Dan dari hati yang terdalam, ia belum siap untuk hamil.
******