"Ibu?"
Chlarent tertegun, panggilan yang selalu dirindukannya, terucap dari bibir anak ini.
"Ibu..?"
"Tidak bolehkah?"
Chlarent terkekeh, "Tentu saja boleh, kan sudah kubilang tadi, kau boleh memanggilku sesukamu."
"Terima kasih, Ibu...."
•••
"Aaron... kau dimana Nak?" Chlarent setengah berteriak memanggil anak laki laki itu.
"Aku di sini ibu." Aaron membesarkan suaranya, agar dapat didengar oleh Chlarent.
Wanita itu muncul dari balik pintu rumahnya dan segera menghampiri Aaron.
"Dia siapa Kak Aalon." gadis kecil yang sedari tadi berdiri di samping Aaron bertanya pada dengan suara cadelnya. Anak itu terlihat manis, tubuhnya mungil sepertinya baru berumur lima tahun, tingginya hanya sebatas bahu Aaron.
Chlarent terlihat cemas, "Ternyata kau di sini Nak, kau membuat Ibu takut." mengusap kepala Aaron.
Chlarent memperhatikan gadis kecil itu, "Siapa gadis manis ini?" tersenyum pada gadis kecil itu.
"Namaku Elin, aku calon istli Kak Aalon." ucap anak itu bersemangat memperkenalkan dirinya.
Chlarent terkekeh, "Kau lucu sekali gadis manis." sambil mencubit pipi gembul Elin. "Kau masih kecil, nanti kalau sudah besar baru bisa menikah." Chlarent terlihat sangat menyukai gadis
"Kau ibu Kak Aalon?" mata gadis itu menatap Aaron dan Chlarent bergantian.
"Iya, aku ibunya Aaron."
Aaron menatap lekat wajah Chlarent, tidak menyangka wanita akan mengakuinya sebagai anaknya. Sungguh, Aaron begitu terharu mendengar itu, bukan tanpa alasan, selama ini dia sangat merindukan sosok seorang ibu dalam hidupnya. Dan wanita ini, Chlarent, memperlakukannya seperti anaknya sendiri.
Selama dua minggu tinggal bersama wanita ini, membuat kerinduannya pada mendiang ibunya sedikit terobati.
"Belalti, ibu akan menjadi ibuku nanti." gadis cadel itu mencebikkan senyumnya.
Chlarent tergelak melihat tingkah gadis kecil ini, "Jangan memikirkan menikah dulu, hilangkan saja dulu cadelmu baru kau menikah, oke?" Chlarent terkekeh. "Kalian bermainlah dulu, ibu akan memasak untuk kalian." bergerak meninggalkan kedua anak itu menuju rumah.
"Kenapa kau mengatakan seperti itu, aku tidak akan menikah denganmu." Aaron terlihat kesal dengan gadis kecil itu.
"Kenapa, Kak Aalon tidak menyukaiku?" wajah Elin terlihat sedih membuat Aaron tidak tega melihatnya.
"Baiklah, aku akan menikahimu, tapi...."
"Yeayy... Kak Aalon akan menikahiku, yeay..." Elin meloncat loncat bahagia.
"Diam Elin..." bentak Aaron, seketika gadis kecil itu terdiam, lalu mengerucutkan bibirnya.
"Aku akan menikah denganmu, kalau kau sudah tidak cadel lagi. Kau dengar tadi, Ibuku bilang hilangkan dulu cadelmu." Aaron terlihat malas meladeni gadis kecil itu.
Selama dua minggu di rumah Chlarent, Elinlah yang selalu menemani Aaron ketika Chlarent sedang mengerjakan sesuatu.
Terkadang Aaron merasa jengkel, dengan tingkah Elin yang kadang menyebalkan.
Aaron yang notabenenya seorang introvert, tentu saja tidak suka dengan sifat aktif Elin. Tapi gadis kecil itu tidak pernah menyerah, walaupun sudah berulangkali Aaron menghindarinya, dia selalu menempel pada Aaron, sampai Aaron sendiri jengah melihatnya. Tapi akhirnya, Aaron membiarkannya saja, dia sudah malas meladeni sikap menjengkelkan Elin.
"Iya, aku tidak akan cadel lagi, supaya aku bisa menikah denganmu." ucap Elin ceria.
"Hmm."
"Tapi kakak halus melamalku dulu. Nanti kak Aalon menikah dengan olang lain."
Aaron menatap heran pada Elin, dari mana gadis sekecil ini tahu tentang itu semua, bahkan dia sendiri saja tidak pernah memikirkan itu.
"Kata bibiku, sebelum kita menikah, kita halus tunangan dulu, jadi ayo kita tunangan sekalang."
Aaron semakin heran dengan Elin.
Melihat Aaron hanya diam saja Elin mengerucutkan bibirnya, "Kak Aalon, sebental lagi aku akan pelgi dali desa ini, jadi lamal aku sekalang." wajah Elin berubah menjadi sedih.
Aaron hanya diam saja, hatinya sedikit sedih mendengar bahwa Elin akan pergi, "Kak Aalon, ayo lamal aku sekalang." Elin memegang lengan Aaron supaya cepat melamarnya. Karena dari jauh dia sudah melihat beberapa orang pria berjas hitam dan kacamata hitam melekat menutupi mata mereka.
"Tapi aku tidak punya cincin untuk melamarmu, Elin."
Elin terlihat berpikir, lalu mengamati tubuh Aaron, mencari sesuatu yang setidaknya bisa dipakai Aaron untuk melamarnya. Pandangannya berhenti pada sebuah kalung dengan permata hitam mengkilat sebagai mata kalung itu, melekat di leher Aaron.
"Belikan aku kalungmu itu kak." Elin menunjuk leher Aalon.
Aaron menunduk, tangan kanannya menyentuh kalung itu. "Tidak Elin, kalung ini peninggalan terakhir ibuku, aku tidak boleh memberikannya kepada orang lain." wajah Aaron tiba tiba menjadi sedih.
"Belikan saja padaku Kak Aalon, kalau kita menikah, aku akan mengembalikannya padamu." Elin semakin cemas karena segerombolan pria berjas itu semakin mendekat.
"Jangan Elin." Aaron menahan tangan Elin yang hampir melepaskan kalung itu dari lehernya.
"Belikan saja, aku janji akan mengembalikannya kalau kita menikah." akhirnya kalung itu terlepas dari leher Brian.
Dan saat itu juga segerombolan pria berjas itu sampai di hadapan kedua anak kecil itu.
Elin segera memasukkan kalung itu ke dalam kantung celananya.
"Nona Eve, mari kita kembali, Tuan besar sudah mencari." ucap seorang dari pria berjas itu sambil menunduk hormat kepada Elin.
"Tunggu sebental." Elin mencebik kepada pria.
"Kak Aalon, aku akan pelgi. Kita akan menikah kalau aku tidak cadel lagi."
"Iya, pergilah." ucap Aaron dingin.
Tanpa diduga, Elin langsung mengecup pipi pipi Aaron, "Sampai jumpa lagi Kak Aalon." ucapnya setelah melepaskan tangan Aalon.
"Mari Nona." pria tadi langsung membawa Elin dalam gendongannya. Dan berlalu meninggalkan Aaron sendirian di sana.
Dari jauh Aaron dapat melihat Elin yang masih melambai lambaikan tangan ke arahnya. Walaupun selama dua minggu ini dirinya selalu dibuat repot oleh Elin, Aaron menjadi sedih saat melihat kepergian Elin.
"Semoga kita bertemu lagi." gumam Aaron, sambil melihat bayangan Elin yang sudah menghilang termakan jarak.
•••
Di dalam rumah Chlarent, Aaron dan Chlarent terlihat sedang menikmati makan malamnya. Meski hanya makanan sederhana, Aaron tetap bersyukur, setidaknya dia masih dapat bernafas sampai saat ini, itu sudah cukup.
"Kau sedang sedih dia pergi?" Chlarent bertanya disela makannya.
"Tidak." Aaron tetap melanjutkan makannya.
"Lalu kenapa kau terlihat tidak bersemangat hmm..?" Chlarent menatap lekat wajah Aaron.
Beberapa hari tinggal bersama Aaron sedikitbanyaknya dia cukup mengerti kepribadian anak ini.
"Aku hanya merindukan Ayah, Ibu dan Zen."
Aaron menghentikan makannya, raut wajahnya terlihat lesu menyimpan sejuta kerinduan dan kesedihan.
"Bersabarlah Nak, mungkin ini sudah takdir, kita tidak boleh menolaknya. Kita hanya bisa berdoa kepada yang Kuasa, agar kita selalu diberi kekuatan dan juga ayah, ibu dan Zen mendapat tempat di atas sana." Chlarent merengkuh Aaron lalu mengusap punggung anak itu.
Aaron terisak dalam pelukannya, meluapkan mungkin hanya itu yang bisa dilakukannya untuk meluapkan kesedihannya yang begitu mendalam.
Aaron melepaskan pelukannya, menggenggam erat tangan Chlarent, "Aku berjanji, suatu saat nanti aku akan membalaskan dendamku kepada orang yang telah merenggut nyawa orang yang kusayangi, siapapun dia aku tidak peduli, aku akan BALAS DENDAM!!" ucap Aaron tegas.