Gadis itu tertegun setelah mendengar ungkapan dari pria itu, tidak tau harus mengatakan apa-apa lagi. Dirinya masih mencoba untuk memahami perkataan pria itu baru saja.
"A...apa maksudmu...ka..kau yang merencanakan semua ini?" tanya Evelyn hati-hati.
Pria itu kembali terkekeh, "Iya kenapa, apa yang akan kau lakukan kepadaku huh?!" Aaron memandang Evelyn dengan merendahkan.
Evelyn terdiam, menatap pria itu intens, "Kenapa? Kenapa kau melakukan itu kepada keluargaku? Apa salah keluargaku padamu?" tanya Evelyn setengah berteriak.
"Kau tanya kenapa? Ini semua adalah balasan akibat dosa ayahmu dulu. Asal kau tau, ayahmu sudah membunuh ayah dan pamanku, orang yang kucintai telah dibunuh oleh ayah bejatmu itu, kau tau itu?!"
Aaron meninggikan suaranya disertai dengan suara pecahnya vas bunga yang terletak di meja kamar itu.Sepertinya amarah lelaki itu sudah memuncak, siapa menghancurkan siapa saja yang melawannya.
Evelyn memekik saat vas itu pecah di hadapannya, "Itu tidak mungkin, Daddy tidak mungkin melakukan itu, Daddy-ku orang yang baik, itu tidak mungkin." cicit Evelyn sembari menutup telinganya, menunduk di atas kasur itu. Sedangkan air matanya sudah tak terbendung lagi untuk tidak membasahi pipinya.
"Tutup mulutmu!" bentak Aaron."Jangan coba-coba membela pria b***t itu di hadapanku! Aku akan menghancurkan siapa pun yang berhubungan dengan pria itu, termasuk kau!" jari telunjuknya menunjuk Evelyn.
"Aku akan lebih dulu menghancurkanmu sebelum tua bangka itu, akan sangat menyenangkan jika dia mengetahui putri kesayangannya hancur di tangan musuhnya." Aaron tertawa terbahak-bahak.
"Kau tunggu saja sebentar lagi, penderitaanmu akan segera dimulai."Lelaki itu tersenyum sarkas, kemudian meninggalkan gadis itu.
"Tidak mungkin, tidak mungkin Daddy melakukan itu. Daddy-ku orang baik, itu tidak mungkin." tangis Evelyn.
Gadis itu menangis tersedu-sedu di dalam kamar temaram itu. Hawa dingin yang sedari tadi melingkupi ruangan itu, tidak lagi dirasakan kulitnya yang dibalut kain tipis. Gadis itu masih memikirkan semua kenyataan yang menimpa dirinya.
Daddy-nya orang baik, tidak mungkin dia melakukan hal sekejam itu, tidak mungkin! Kata-kata itu selalu dirapalkannya dalam hati gadis itu.
"Bangun!! Heh bangun pemalas!" Aaron mengguncang kaki gadis itu yang menjuntai di lantai yang ditiduri oleh Evelyn.
Gadis itu masih mengenakan gaun pengantinnya, tidur menelungkup dengan kakinya yang menjuntai di lantai. Suara Aaron yang berat membangunkan gadis itu dari tidur lelapnya. Seketika gadis itu terduduk, mengusap wajahnya yang terasa basah oleh air mata. Nampaknya gadis itu menangis semalaman.
"Enak sekali hidupmu bangun siang begini, apakah kau masih berpikir kau ini seorang putri?" bentak pria itu, membuat Evelyn terkejut.
"Ma..maaf Tuan." Evelyn menundukkan kepalanya.
"Cepat pakai ini, kau harus mengerjakan seluruh pekerjaan di rumah ini!" perintah Aaron, lalu melemparkan kaos dan celana lusuh ke arah Evelyn, membuat Evelyn gelagapan menangkapnya.
"Ma..maksud tuan?"
Brian berdecak kesal, "Kau tidak dengar kata-kataku, mulai hari ini kau harus melakukan semua pekerjaan di rumah ini, kau sudah dengar?!"
"Tapi Tuan..."
"Aku tidak ingin mendengar alasan apapun, dalam dua menit kau sudah harus turun ke bawah." pria itu meninggalkan Evelyn tanpa membiarkan gadis itu bicara.
Evelyn dengan cepat mengganti bajunya, waktunya tidak banyak, tidak sempat untuk mandi, bahkan sekedar membasuh wajah saja tidak sempat.
Evelyn menuruni tangga dengan terburu-buru, walaupun gadis itu hanya memakai kaus lusuh yang kebesaran, kecantikan gadis itu tidak berkurang sedikitpun. Gadis itu tetap memancarkan sinarnya, sehingga membuat orang yang melihatnya pun merasa teduh akan kecantikan gadis itu.
•••
Evelyn menoleh kesana kemari mencari keberadaan Aaron.
"Tuan, kau dimana." panggil Evelyn setelah menapakkan kakinya di anak tangga terakhir.
Tidak ada jawaban, Evelyn menelusuri rumah besar itu, dan sampailah dia di ruangan yang cukup luas dengan sebuah meja makan yang lumayan panjang di tengah ruangan itu, sepertinya ini adalah ruang makan.
Ternyata Aaron juga di sana, pria itu tengah duduk tenang di sana sedang menikmati sarapannya.
Melihat cara makan Aaron yang begitu elegan dan menawan, lagi-lagi membuat gadis itu terpesona. Seketika lamunan gadis itu buyar saat suara perutnya yang keroncongan terdengar keras di ruangan itu. Bahkan Aaron yang sedang menikmati sarapan pun menoleh ke arahnya.
"Aduh memalukan sekali." batin Evelyn.
Aaron tersenyum sarkas, pria itu terlihat memikirkan sesuatu. "Kau lapar?" tanya pria itu dengan nada mengejek.
Evelyn mengangguk, "I..ya Tuan."
"Kau boleh makan..." Aaron sengaja menggantungkan kalimatnya. "Tapi nanti setelah kau mengerjakan seluruh pekerjaan di rumah ini." Aaron tersenyum puas melihat senyum Evelyn seketika menghilang.
"Ta..tapi Tuan, tidak mungkin saya tahan mengerjakan tugas rumah ini, padahal saya kelaparan."
"Itu urusanmu. Ingat jangan coba-coba makan sebelum pekerjaanmu selesai. Aku akan menyuruh kepala pelayan untuk mengawasimu. Ingat! Sekali kau melanggar ayah dan perusahaanmu akan hancur seketika." pria itu menyeringai, kemudian melangkahkan kakinya keluar dari ruangan itu.
Saat sampai diambang pintu, pria itu berbalik, "Oh ya, jika kau sangat kelaparan...kau lihat itu?" menunjuk piring bekasnya di atas meja makan, masih ada banyak makanan sisa di atasnya. "Kau bisa memakan itu." ucapnya dengan sadis, lalu membalikkan tubuhnya dan benar-benar pergi dari ruangan itu.
Evelyn mengepalkan tangannya, berusaha menahan emosinya. Hingga menangislah yang bisa dilakukannya untuk mengurangi emosinya. Air matanya berlinang-linang membasahi wajah gadis itu.
Dirinya baru saja direndahkan oleh pria itu, pria yang dinikahinya kemarin. "Ya Tuhan, kenapa sakit sekali rasanya..." gadis itu menepuk dadanya yang berdenyut sakit.
Kepala pelayan yang sedari tadi menyaksikan kekejaman majikannya kepada Evelyn, menatap penuh iba pada gadis itu.
***
Keringat peluh Evelyn bercucuran membasahi dahinya. Sudah hampir tiga jam gadis itu mengerjakan tugas di rumah ini, mulai dari mencuci piring, mengelap debu-debu yang menempel di setiap perabotan di rumah itu hingga menyapu lantai atas dan lantai bawah.
Dan sekarang Evelyn tengah mengepel lantai ruang tamu rumah itu menggunakan sehelai kain usang. Kepala pelayan memberikan kain usang itu atas perintah dari suaminya.
Evelyn mengusap peluhnya menggunakan punggung tangannya, berkali-kali gadis itu meneguk air liurnya untuk membasahi tenggorokannya terasa kering.
Pria itu memang kejam, bahkan untuk minum saja gadis itu tidak diperbolehkan. Bukan hanya tenggorokannya saja yang kering, perutnya juga sudah sedari tadi kelaparan.
Gadis itu benar-benar menjaga harga dirinya. Selapar apapun gadis itu, dia sama sekali tidak mau memakan makanan sisa Aaron. Lebih baik dia mati kelaparan daripada menjatuhkan harga dirinya pada pria kejam itu.
Rasanya Evelyn ingin lari dari sini, tapi apalah daya, semua kelemahannya ada pada pria itu. Jika sampai dia salah mengambil langkah, bisa saja Mommy dan Daddy-nya yang akan menderita.
TBC