Aku tersentak begitu kalimat pengusiran itu ditangkap oleh telingaku dengan jelas. Kupandang sekeliling kamar yang masih dalam keadaan temaram. Ada Hilmi yang masih tidur dengan pulas dan suara jangkrik masih sangat nyaring di luar sana. Syukurlah aku hanya bermimpi?
Memangnya ini jam berapa?
Aku menoleh ke arah meja belajar Hilmi untuk melihat jam weker karena jam dinding di kamar ini mati. Sudah beberapa kali aku meminta tolong pada Mas Gusti untuk mengganti jam dinding itu, tapi suamiku mengabaikannya. Mungkin baginya memang aku tidak penting, apalagi hanya sekedar jam dinding.
Ternyata baru jam dua dini hari. Aku menghela napas, sembari menyeka keringat yang mengucur deras di dahi dan leher. Udara terasa sangat panas, padahal saat selesai pengajian tadi, sempat gerimis sebentar. Baju piyama Hilmi saja sudah basah kuyup karena gerah. Kipas angin diputar full, tetapi masih saja kami berdua kegerahan.
Aku turun dari tempat tidur untuk membuka pintu kamar sedikit. Hawa dari luar, kuharap bisa sedikit membantuku dan Hilmi yang masih kegerahan. Kulanjutkan tidur kembali karena ini pagi kedua di rumah tanpa Mbak Hanin. Aku akan benar-benar menjadi nyonya sekaligus inem di rumah.
Prak!
Suara benda dilemparkan membuatku yang baru saja berbaring, langsung bangun duduk dan berjalan keluar kamar. Kunyalakan lampu untuk melihat benda apa yang jatuh. Ternyata tidak ada.
Prang!
Kali ini suara kaca pecah dan suara itu berasal dari kamar Mas Gusti. Aku pun berlari untuk menghampiri beliau. Aku berharap kegaduhan yang dibuat Mas Gusti tidak membuat mertuaku terbangun. Suami istri paruh baya itu bisa tahu jika anaknya dan aku tengah menjalani pernikahan paling aneh di dunia.
Tok! Tok!
"Mas, buka pintunya! Ada apa?" tanyaku dengan suara pelan.
Prak!
Suara benda dibanting kembali terdengar keras dari dalam kamar. Aku pun sampai terlonjak kaget. Kaki dan tangan ini mendadak gemetar karena tidak siap jika ibu mertua tahu bahwa suamiku mengamuk.
Cklek
Pintu kamar terbuka. Aku melotot kaget saat tangannya menarik kasar tubuh ini untuk masuk ke dalam kamar.Jangan tanyakan bagaimana keadaan kamar yang sangat berantakan. Makanan yang aku bawa berhamburan di lantai. Rmah nasi di mana-mana, belum tisu berserakan, dan semua baju Mbak Hanin keluar dari lemari. Aku belum berani menatap wajah suamiku. Saat ini, menunduk adalah jalan yang paling aman.
"Zia, siapa suruh kamu bicara padaku, hah?! Lancang kamu ya? Apa peduli kamu padaku? Kamu ingin mengambil kesempatan ini ya? Setelah Hanin gak ada, aku perhatikan kamu selalu mencari perhatian dengan mengeluarkan suara jelekmu itu di depanku. Ada atau tidak ada Hanin, kamu harus berlakon sama, Zia. Tidak boleh mengeluarkan suara di depanku. Apa kamu paham? Jika kamu tidak mau aku usir bersama Hilmi, tolong kerja sama. Hanin pergi karena kamu yang g****k saat mengepel lantai. Kamu harusnya dipenjara, bukan istri dan bayiku yang dikubur. Kamu penyebabnya, Zia! Kamu!"