1. Pemakaman Mbak Hanin

559 Kata
Aku menutup pelan pintu kamar yang biasa ditempati Mas Gusti dan Mbak Hanin. Pria itu masih menangis sesegukan tanpa suara. Bahunya naik turun, bergetar hebat, menandakan ia dalam keadaan rapuh. Ya, bagaimana dia tidak rapuh, bila cinta sejatinya pergi untuk selamanya?  "Gusti masih menangis?" tanya ibu mertuaku dengan mata sembabnya. Aku mengangguk pelan.  "Kita semua terpukul, apalagi Gusti. Mama tidak tahu sampai berapa belas tahun kesedihan ini akan sembuh. Namun Mama berharap kamu sabar menemani Gusti dan juga Hilmi." Pesan mertuaku dengan air mata kembali menganak sungai. Aku hanya mengangguk ikut menangis lagi sambil berpelukan pada ibu mertuaku.  "Mandi dulu sana, ganti baju. Baiknya sehabis dari pemakaman kita mandi dan berwudhu. Setelah itu kamu istirahat, temani Hilmi. Untuk urusan tahlilan sampai nanti tiga hari ke depan, biar Mama dan bude-bude yang mengurus." Mama mengendurkan pelukan kami, ia menghapus air mata menggunakan berego hitam yang ia kenakan dan sudah begitu basah oleh air mata. "Terima kasih, Ma." Aku pun pamit undur diri untuk masuk ke dalam kamar. Kamar berukuran tidak terlalu besar yang kutempati bersama Hilmi. Anak angkat Mas Gusti dan Mbak Hanin yang berusia kini berusia empat tahun.  Anak lelaki yang tampan, solih, dan juga lucu. Bukan aku tidak mengenalnya sejak bayi. Hilmi adalah bayi panti tempat aku pernah diasuh di sana. Seseorang meninggalkannya di depan pintu panti, saat aku baru mulai bekerja untuk Mbak Hanin, sebagai karyawan toko baju muslim online yang cukup ramai pelanggan milik almarhumah.  Kupandangi wajah Hilmi yang sangat tampan. Bibirnya merah dan juga pipinya yang bulat. Mbak Hanin begitu sayang dengan Hilmi, begitu juga sebaliknya. Hanya Mas Gusti yang seperti sedikit menjaga jarak pada Hilmi, karena lelaki itu memang sejak awal tegas menolak, anak angkat sebagai pemancing kehamilan bagi Mbak Hanin.  "Bunda." Hilmi mengigau memanggil Mbak Hanin. Aku kembali meneteskan air mata karena tidak sanggup menahan kesedihan. Kenapa orang sebaik Mbak Hanin begitu cepat diambil Tuhan? Mungkin hanya beliaulah satu diantara sepuluh ribu wanita yang ikhlas mengijinkan suaminya menikah lagi dengan karyawan sendiri, hanya untuk memastikan bahwa suaminya tidak mandul seperti prasangka orang. Mbak Hanin begitu mencintai dan menjaga nama baik suaminya, maka dari itu, jangan heran melihat betapa besar cinta Mas Gusti pada Mbak Hanin.  Kenapa tidak aku saja yang diambil lebih dahulu oleh Tuhan? Mungkin jika aku yang tiada, kesedihan ini tidak terlalu kentara karena aku memang tidak punya siapa-siapa.  "Bunda." Gumaman Hilmi berubah isakan dalam tidurnya.  "Hilmi, Sayang, bangun, Nak!" Aku mengusap kening putraku sambil menyalakan kipas angin. Tubuhnya basah oleh keringat karena aku lupa untuk menyalakan kipas angin saat meletakkan di kasur tadi.  "Teteh, Bunda mana?" pertanyaan Hilmi tidak bisa langsung kujawab. Menahan tangis dengan menggembungkan pipi terpaksa kulakukan agar Hilmi tidak kembali menangis. Anak kecil itu tidak terbiasa memanggilku dengan sebutan ibu, karena memang sejak aku mengenalnya, Hilmi memanggilku teteh yang ia tahu sebagai karyawan bundanya.  "Bunda sedang beristirahat sama dedek bayi. Kita tidak boleh ganggu ya." Hilmi mengangguk paham. Anak kecil itu merenggangkan tubuhnya seraya menghela napas. Ia berbalik badan untuk memeluk guling, lalu melanjutkan tidurnya kembali.  Aku tersenyum tipis, lalu dengan cepat mengambil pakaian ganti untuk aku bawa ke kamar mandi. Membersihkan tubuh adalah pilihan tepat saat ini, agar saraf di kepalaku yang begitu kusut karena lelah menangis, bisa terurai normal kembali. Lalu, bagaimana nasibku dan Hilmi setelah Mbak Hanin tidak ada? Membayangkannya saja aku tidak berani. Apakah Mas Gusti akan mengusirku, mengingat ia begitu membenciku?  Bersambung
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN