Menantu Superrr

1489 Kata
Pernahkah tersebesit di dalam benak kalian tentang mengapa Leta tidak meminta pada Bara untuk memiliki rumah sendiri yang dihuni mereka berdua? Jawabannya adalah karena sebelum menikah dengan Leta, Bara menginginkan keduanya menetap di rumah sang mama sampai waktu yang belum bisa Bara tentukan. Sebagai seorang anak yang juga mempunyai orang tua, bahkan orang tua yang masih lengkap, tentu saja Leta tahu bahwa Bara tidak tega meninggalkan sang mama dan adik perempuannya untuk menghuni rumah sebesar itu. Lagi pula, dengan adanya seorang pria di dalam rumah, urusan apa pun bisa dikendalikan. Misalnya, permasalahan listrik hingga kejadian-kejadian lainnya yang membutuhkan tenaga seorang pria. Ya, meski pun ada Pak Yono—satpam rumah Bara, tetapi tetap saja. Selama Bara bisa dan Leta tidak pernah keberatan dalam artian betah tinggal di rumah kedua orang tua Bara, maka Bara sendirilah yang akan turun tangan menggantikan posisi kepala keluarga di rumah ini. Mengingat Papa Bara sudah meninggal beberapa tahun yang lalu. Rumah menjadi sepi. Bara pun rasanya berat hati bila harus meninggalkan kedua wanita tersayangnya di rumah besar itu seorang diri. “Selamat siang, Ma! Assalamu’alaikum!!” “Waalaikumsallam.” Ajeng pun mengulurkan tangannya untuk dicium oleh Leta. “Kamu tuh, kalau masuk rumah, salamnya yang didahulukan. Mama udah bilang—“ “Iya-iya. Leta ngerti kok, Ma. Ini dari pada Mama marah-marah, Leta bawakan jus alpukat dan juga tahu gejrot. Enak banget pasti, Ma. Es sama makanan pedas emang duet ter-mantapp! Ya ‘kan Ma?” “Hm. Makasih, Leta..” ucap Ajeng lalu menerima kantung plastik yang berisikan makanan yang dibawa oleh menantunya itu. Keduanya kini sedang berada di dapur. Seperti biasanya, Leta duduk manis di kursi. Sedangkan sang mama mertua mulai memindahkan tahu gejrot pedas yang sepertinya sangat nikmat ini ke sebuah piring. Melihat pemandangan tahu yang berlumur cabai dan sedikit kuah yang sudah pasti pedas itu, Leta tergugah selera. Padahal di sana tadi ia sudah membeli satu porsi. “Kenapa? Kamu mau makan LAGI?” “Ih, kok Mama tahu sih kalau Leta habis makan juga!?” “Bibir kamu merah banget, gigimu ada sisa cabainya, ngaca deh!” “Ha!? Yang benar, Ma!?”Ajeng hanya mengangguk dan mulai menikmati makanan yang dibawakan oleh sang menantu superrr. Setelah membersihkan giginya dari sisa cabai dengan berkaca di sebuah kaca kecil yang tidak pernah lupa untuk ia kantongi. Leta kembali menatap sang mama yang begitu berselera makan siang ini. Sembari menelan ludahnya sendiri, Leta bertanya, “Enak, Ma?” “Hm. Banget!” “Mama nggak ada niat nawarin Leta gitu? Basa-basi kek..” “Nggak. Nanti kamu ngelunjak! Lagi pula kata orang jawa, kalau udah ngasih sesuatu ke orang lain itu pamali diminta kembali. Hati-hati, nanti mata kamu bintitan hloo, Leta!” Dengan polosnya Leta menyanggah penyataan Ajeng dengan sebuah pertanyaan. “Memangnya Mama orang lain ya? Kan bukan? Jadi—“ “Mbak Leta beli jus sama tahu gejrotnya cuman satu porsi ya?” Sebuah suara lain memotong ucapan Leta yang belum terselesaikan dengan sempurna. Siapa lagi jika bukan Fasya! “Lohh, kamu sudah pulang Sya? Mbak kira belum pulang.” Fasya hanya memutar kedua bola matanya dengan malas kala mendengar alasan yang menurutnya sangat klasik itu. Akhirnya, Fasya memutuskan untuk ikut memakan piring yang tengah menjadi titik fokus mamanya. Keduanya terlihat sangat akur menikmati hidangan yang dibawakan Leta siang ini. Sangat mudah bukan membuat mood keduanya membaik. Tidak perlu yang mahal-mahal jika yang sederhana mampu membuat keluarga bahagia. Disela-sela mengamati interaksi yang terjadi antara mama mertua dan adik iparnya itu, Leta tersentak saat suara Ajeng menginterogasinya. “Oh ya, tumben banget kamu pulang siang Leta. Biasanya juga paling cepat, pulang sore.” Leta mengulum senyumnya sendiri. Ia sangat senang dengan mama mertuanya yang ternyata juga peduli dengan jam kerjanya setiap hari. Wanita itu merasa dirinya tidak terabaikan di rumah ini. Alhasil, dirinya semakin percaya diri bahwasannya orang-orang di dalam keluarga Sandjaya ini sangat menyayanginya. Mereka hanya ingin membimbing dan memberikan pelajaran seorang istri sekaligus menantu yang baik untuk kebaikan Leta dan keluarga kecilnya bersama Bara. “Iya, Ma. Tadi setelah rapat selesai dan desain cover yang Leta buat di-approve-nya cepat. Leta langsung pulang. Capek, Ma..” jawab Leta dengan mengeluh manja di akhir kalimatnya. Ajeng hanya mengangguk-angguk saja. Namun kemudian wanita paruh baya itu bangkit dari duduknya. Entah apa yang tengah dilakukan oleh mama mertuanya? Pasalnya, posisi Ajeng saat ini tengah membelakangi Leta dan Fasya yang masih asyik mengunyah makanannya dengan mata fokus ke ponsel. Leta yakin, Fasya tengah bermain game online! “Fasya, makan dulu! Jangan sambil nge-game!” peringat Leta yang langsung mendapatkan tatapan tajam dari Fasya. “Rebut aja HP Fasya, Leta.” Ucapan mama barusan sontak membuat Fasya langsung mengantungi ponselnya ke dalam saku celana rumahan yang kini dikenakannya. Sementara itu, Leta hanya tersenyum lebar. Namun bagi Fasya, senyum kakak iparnya itu seperti sebuah senyum yang mengejek karena sudah berhasil membuatnya terpojokkan. Memang benar-benar tidak terlihat seperti kakak dan adik ipar. Keduanya lebih cocok seperti seorang anak gadis yang seumuran! Memang seperti itulah sikap Ajeng, tidak pernah membeda-bedakan cara bersikap meski pun pada anaknya sendiri. Itulah yang menjadi nilai plus di mata Leta sebagai menantu terkecil di rumah ini. “Nih. Air lemon buat kamu, Leta..” Keajaiban siang ini adalah mama mertua Leta untuk yang pertama kalinya sejak Leta menjadi menantu di keluarga ini, memberikan sebuah minuman padanya. “Makasih, Ma. Uh, kelihatannya seger banget nih!” Melihat segelas air lemon dengan titik-titik embun yang disebabkan oleh es batu di dalamnya. Nyatanya berhasil membuat Leta tergugah untuk segera meneguknya hingga habis. Namun.. “Iiiiiww, asam banget Ma!” Ekspresi Leta yang ketar-ketir langsung membuat Fasya terkekeh. Ia sangat puas dengan pembalasan yang tanpa sengaja dilakukan oleh mamanya. “Namanya juga air lemon. Kalau air gula baru manis, Leta!” “Ya Leta kira Mama campurin madu atau minimal gula gitu!” “Nggak, Leta. Menurut blog kesehatan yang Mama baca di internet, kandungan air lemon sangat cocok untuk membantu menghilangkan rasa sakit di seluruh tubuh, seperti keluhanmu barusan, lelah ‘kan?” “Ya tapi nggak gini juga Ma..” “Ya sudah kalau kamu nggak mau habiskan, buang saja.” Merasa tidak enak dengan usaha sang mama mertua yang sudah bersedia membuatkannya minuman sehat siang ini. Akhirnya Leta meneguk habis segelas es air lemon di tangannya itu. Meski pun sangat asam, ia tetap menghabiskannya. Dan, terbukti. Hal tersebut membuat senyum Ajeng melebar. “Nah gitu dong..Mama juga mau yang terbaik untuk kesehatan kamu, Leta. Kamu ‘kan setiap hari kerja—“ “Ralat, Ma. Setiap senin sampai dengan jum’at saja.” “Hm, itu maksud Mama!” “Makasih minuman sehatnya, Ma. Leta ke kamar dulu,” pamit Leta yang kemudian berjalan meninggalkan dapur. “Oke, selamat tidur siang Menantu Mama yang Superrrrrrrr!!” Leta tidak menjawabinya lagi, ia hanya mengangkat tangannya ke atas membentu tanda ‘OK’. Penasaran akan suatu hal. Fasya kemudian menatap dalam sang mama. “Ma? Mama kenapa sih selalu nyebut Mbak Leta ‘menantu superr’? Giliran Mas Dito sama Mas Catur aja Fasya nggak pernah dengar tuh Mama sebut begitu..” “Mbak iparmu itu memang superrr, Fasya!” “……” Fasya hanya terdiam dan bingung dengan ungkapan sang mama barusan. “Iya, superr banget! Mama yakin, kelak..mbak iparmu itu akan lebih pandai mengurus pekerjaan rumah, mengurus suami hingga anak-anaknya melebihi mbak-mbak kandungmu.” “Kenapa bisa begitu, Ma? Nggak kebalikannya ya, Ma? Habisnya Mbak Leta parah banget jadi wanita.” “Huusssss..kamu kalau ngomong disaring ya, Fasya!” “Iya, Ma. Maaf..” cicit Fasya merasa bersalah karena ucapannya sangat keterlaluan. Semoga saja Leta tidak mendengarnya. Karena meski pun selama ini hubungan keduanya tidak terlalu hangat seperti kakak dan adik ipar lainnya. Tetap saja, Fasya sangat bahagia memiliki seorang kakak ipar ramah, hangat dan penyayang seperti Leta. Menurut Fasya, Leta merupakan seorang wanita yang tulus. Ajeng pun mulai melanjutkan perkataannya yang sempat terjeda, “Mama yakin, Mama nggak pernah salah mendidik seorang putri selama ini. Kamu tahu itu ‘kan, Fasya? Kamu dan mbak-mbakmu bahkan sudah lebih dulu mengalami apa yang sekarang ini tengah dialami Leta..” Fasya hanya mengangguk mengerti. “Mbak iparmu itu sudah Mama anggap seperti putri Mama sendiri, bukan sekedar menantu yang menjadi istri dari masmu. Kalau Mama ini tidak peduli dengan dia, mana mungkin Mama mau bersusah payah membimbingnya seperti dahulu Mama membimbing kamu dan mbak-mbakmu?” “Iya, Ma. Fasya ngerti kok, bahwa setiap sikap yang Mama ambil selalu penuh dengan pemikiran yang matang sebelumnya. Fasya juga berharap, semoga Mama berhasil buat Mbak Leta jadi wanita normal.” “Maksudmu? Memangnya sekarang ini mbak iparmu itu tidak normal?” Ajeng sedikit sensitif dengan kata ‘normal’ yang terlontar dari bibir Fasya. “N—normal, Ma. Cuman, kurang dikit. Masih agak geser soalnya.” Mendengar jawaban jujur yang terlontar dari bibir putrinya, Ajeng hanya geleng-geleng kepala dibuatnya. “Yaaah, do’akan saja. Semoga mbak iparmu itu betah dengan segala omelan Mama.” “Aamiin Ya Rabb..” ***
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN