Dany bergegas keluar rumah begitu menerima telpn dari Max. Di ujung telepon itu, Max terdengar sangat panik. Bagaimana tidak. Max mendapati Hana sedang menyembunyikan rasa sakit. Hana terus memegangi perutnya, disaat itu Max langsung teringat perkataan Dany tentang Hana yang selalu terkena begah jika makan terlalu banyak dan makan pedas. Namun, yang mengherankan, selama ini Max belum pernah melihat Hana kesakitan seperti itu.
Dany berlari sekuat tenaga. Dia berkeringat dan terengah-engah. Dalam tiga puluh menit dia tiba di depan rumah Hana. Tak sempat mengambil nafas, Dany langsung menggedor rumah Hana, dan masuk begitu Max membukakan pintu.
"Bagaimana dia?" tanya Dany sambil berjalan masuk ke kamar dimana Hana terbaring.
"Hana masih meringis kesakitan. Maafkan aku telah merepotkanmu. Padahal kau bisa memberiku petunjuk lewat telepon tentang apa yang harus aku lakukan untuk menangani masalah ini," ucap Max yang merasa tidak enak kepada Dany.
"Hana, kau baik-baik saja?" ucap Dany begitu mendapati Hana yang sedang berbaring di tempat tidur.
"K-Kau ... mengapa kau ada disini?" Hana menatap Dany keheranan.
"Sepertinya kita harus membawa Hana ke klinik" ucap Max masih agak panik.
"Tak perlu. Dia hanya begah. Kau punya daun mint?" tanya Dany kemudian.
"T-Tunggu dulu. Max, mengapa dia ada di si ... akh!" Hana kembali meringis menahan rasa sakit di perutnya.
"Jangan banyak bicara. Kau tahu kenapa aku disini? karena kau makan terlalu banyak dan perutmu begah. Max, bagaimana dengan yang kutanya?"
"Daun mint? a-ada di dapur,"
"Baiklah, pijat lengannya, dan punggungnya, aku akan membuat teh daun mint." Dany segera bergegas ke dapur, sementara Max mengikuti perkataan Dany. Dia memijat lengan Hana dan punggung Hana dengan hati-hati.
"Sayang, maafkan aku. Apa masakanku terlalu pedas?" ucap Max dengan raut wajah penuh penyesalan.
"Ini bukan masalah pedas. Tapi aku terlalu makan banyak, setelah sebelumnya perutku kosong, dan kenapa Dany bisa ada disini?"
"Ah, itu ... aku kebingungan dan langsung teringat Dany yang mengatakan bahwa perutmu biasanya sering begah. Jadi sontak aku menghubunginya."
"Max! akh ... kau tahu sekarang ... pukul berapa?"
"Iya, aku tidak sadar. Maafkan aku, Hana."
"Kau ini benar-benar ... akh!"
"Berhenti mengoceh dan minum tehmu," Dany kembali ke kamar dengan teh daun mint di tangannya.
"Sayang, ayo mi ...." Max yang hendak mengambil teh dari tangan Dany tiba-tiba terdiam, karena Dany langsung menuju ke Hana untuk membantu Hana meminum tehnya, "Ah, baiklah. Dany lebih berpengalaman," gumam Max kemudian.
Setengah jam berlalu, Hana akhirnya membaik dan tertidur pulas. Max akhirnya bisa bernafas lega. Melihat kondisi Hana yang sudah baik-baik saja, Dany kemudian pamit untuk pulang. Max mengantarkan Dany hingga ke pintu utama.
"Terimakasih sudah membantu. Aku tak tahu bahwa Hana benar-benar bisa separah itu. Mungkin selama ini aku kurang memperhatikannya, hingga tak pernah tau bahwa dia punya penyakit seperti itu. Selama ini, mungkin Hana menanggungnya sendiri. Aku benar-benar tidak pengertian," Max menunduk sambil menghela nafas.
"Itu bukan salahmu. Kau tahu, Hana sangat pintar menyimpan sesuatu. Dia mungkin sengaja tak ingin menunjukkan padamu saat dia sakit. Jaga dia, aku pulang dulu."
"Hmm, sekali lagi terimakasih, Dany."
"Tak masalah."
Dany berlalu. Max yang berdiri di ambang pintu beberapa menit, sebelum akhirnya dia memutuskan untuk masuk memeriksa kembali keadaan Hana.
Empat puluh menit kemudian. Dany tiba di penginapan. Dia langsung menuju dapur dan mengambil segelas air minum. Dany meminum air tersebut dengan sekali nafas. Dia merasa lelah, karena berlari dengan panik saat mendapat telepon dari Max. Dany menghela nafas panjang dan memukul kepalanya pelan karena merasa dirinya seperti orang bodoh.
"Kenapa aku langsung berlari saat mengetahui keadaan Hana? Dany, kau benar-benar tidak masuk akal," omel Dany kepada dirinya sendiri.
"Kau dari mana saja?" terdengar suara Laura yang baru saja tiba di dapur.
"Laura. Kau belum tidur?"
"Bagaimana aku bisa tidur, sedangkan aku mendapati kau tidak ada di tempat tidurmu?"
"Ah, tadi aku ada urusan di luar,"
"Urusan apa? dini hari begini kau berkeliaran kemana?"
"Laura, aku ..."
"Katakan kemana kau pergi agar aku tidak mencurigaimu!"
"Aku pergi ke rumah Max,"
"Apa!" Laura terdiam sejenak, namun tiba-tiba saja dia terkekeh, "Pfftt, rumah Max? maksudmu kau ke rumah Hana, sahabat karibmu itu, kan?"
"Max meneleponku. Hana tiba-tiba mengalami begah, dan karena sudah sangat larut, dia tak tahu harus berbuat apa, akhirnya dia meminta bantuanku."
"Seorang suami menelepon laki-laki lain untuk membantu karena istrinya sakit? Max benar-benar luar biasa. Apa dia tidak cemburu?"
"Laura, kau tahu sendiri. Aku dan Hana tidak punya hubungan spesial apapun."
"Baiklah, aku mempercayaimu. Aku juga tidak punya bukti bahwa kalian menjalin hubungan,"
"Laura,"
"Sekarang masih gelap. Lebih baik kita tidur," ucap Laura dengan ketus. Dia kembali masuk ke kamarnya, dan Dany juga ikut melangkah ke kamar yang berada tepat di sebelah kamar yang Laura tempati. Yah, mereka tidur di ruangan terpisah, karena Laura berjanji kepada Dany tidak akan melakukan hal diluar batas, sebelum mereka menikah.
Keesokan harinya. Laura mendorong koper dari dalam kamar menuju ruang tamu. Dany yang sedang berada di dapur, langsung terdiam melihat apa yang dilakukan Laura. Perlahan dia mendekat menatap koper berwarna merah marun yang dibawa Laura, dan menatap wajah Laura lekat.
"Laura, kenapa kau membawa kopermu keluar?" tanya Dany keheranan.
"Ayo pergi hari ini. Kita sudah menginap terlalu lama."
"Kenapa tiba-tiba ... bukankah kita harus ke makam orang tuaku hari ini?"
"Iya, kita ke makam orang tuamu, lalu langsung kembali ke kota."
Dany menangkap kekesalan di wajah Laura. Dany paham bahwa Laura masih marah dengan kejadian tadi malam. Dengan sabar Dany menggenggam tangan Laura, lalu membawa Laura ke meja makan.
"Baiklah, kita pulang hari ini. Tapi kau harus sarapan dulu, dan aku akan menyiapkan barang-barangku."
Laura menatap Dany dengan cemberut. Dia kemudian duduk di kursi makan, lalu meminum segelas jus buah yang telah disiapkan Dany, "Bersiaplah, tapi jangan lama-lama," ucap Laura kemudian.
"Hmm, kau tunggu disini, dan habiskan sarapanmu," Dany bergegas masuk ke kamar untuk membereskan barang-barangnya. Sebenarnya dia juga ingin cepat pergi. Setelah kejadian tadi malam, ada ketakutan tersendiri di hati Dany. Ketakutan bahwa hatinya bisa tergoyahkan. Ketakutan bahwa dia terlalu mencintai Hana, dan akhirnya menghancurkan segalanya. Dany berusaha meredam perasaannya mati-matian. Karena, tidak adil buat Max dan Laura jika dia masih menyimpan perasaan kepada Hana, apalagi jika perasaan itu semakin menggebu walau begitu kenyataannya.
Dua jam tiga puluh lima menit, perjalanan dari pinggir kota tempat kenangan Dany berada. Kini, Dany tiba di kota. Laura mengajaknya mengunjungi rumah sakit tempat dimana ayah Laura yang seorang direktur bekerja. Sebelum menjadi Direktur, Ayah Laura adalah sahabat ibu Dany. Dia adalah Dokter yang merawat Ibu Dany sebelum ibunya tiada. Jadi, Dany merasa berhutang budi padanya.
"Dany, bagaimana, perjalanan kalian aman?" Doktor Brian Still. Laki-laki dengan penuh wibawa berusia akhirnya lima puluhan itu duduk di depan Dany dan Laura yang baru saja tiba.
"Aman, Paman." Jawab Dany singkat.
"Dany, sudah berapa kali ku katakan. Jangan panggil aku paman lagi, karena kau akan menjadi menantuku. Panggil saja aku Ayah,"
"Dany belum terbiasa, Ayah. Bagaimana rumah sakit? apakah sibuk?" ucap Laura kemudian.
"Yah, beginilah. Laura, kau pasti memaksa Dany untuk ke rumah sakit, kan? kalian baru saja tiba. Harusnya langsung pulang ke rumah dan beristirahat."
"Laura tidak memaksaku, Paman. Ah, maksudku, Ayah. Karena kami pulang lebih cepat dari yang dijadwalkan makanya kami mampir kesini."
"Hmm, baiklah. Persiapan pernikahan kalian semua sudah selesai? bagaimana dengan gaun pengantin?"
"Dany tak punya waktu untuk memilih gaun pengantin denganku," Laura menatap Dany dengan cemberut.
"Benarkah? Dany, gaun sangat penting untuk pernikahan. Kau harus meluangkan waktumu, pernikahan kalian tinggal seminggu lagi."
"Aku sudah mengambil cuti, kami akan pergi besok,"
"Wah, sayang. Kau tak memberitahuku sebelumnya. Kau sengaja ingin buat kejutan?" Laura begitu antusias.
"Tidak juga, aku hanya ..."
"Terimakasih, sayang!" Laura tersenyum sambil memeluk Dany dengan erat.
"Hahaha, baiklah. Kalian urus pernikahan kalian dengan baik. Jika butuh apa-apa langsung beritahu ayah."
"Ayah ingin menambah dana pernikahan? aku rasa kita harus membuat pernikahan yang lebih megah. Ayah tahu, di tempat tinggal Dany yang lama, kami bertemu dengan sahabat Dany, dan kami mengundangnya ke pesta pernikahan kami,"
"Laura, kenapa meminta tambahan dana segala, kita hanya menambah dua orang dari daftar undangan kita," Dany menatap Doktor Brian, merasa tak enak hati.
"Hahaha, tak masalah. Bukankah itu sahabat Dany, sepertinya Laura ingin mengadakan pesta lebih mewah karena sahabat itu penting bagi Dany," ucap Doktor Brian dengan raut wajahnya yang tenang.
"Iya, namanya Hana, dan dia sangat penting bagi Dany,"
"Bukan begitu, Paman. Biaya pernikahan tak perlu ditambah,"
"Mengapa? aku ingin menunjukkan kepada Hana bahwa kita mengadakan pesta pernikahan yang sangat mewah."
"Untuk apa menunjukkan itu padanya!"
"Sudahlah, kalian berdua jangan beradu argumen. Laura, kah pasti paham bahwa Dany orang yang sederhana. Dia bahkan tak ingin mengadakan pesta pernikahan, kan? dan Dany, Laura memang agak glamor. Dia hanya ingin melakukan yang terbaik. Kalian jangan bertengkar, ayah akan menambah dana sedikit saja, agar pestanya lebih berkelas. Ingat Laura, berkelas. Bukan mewah,"
"Paman, Paman tidak perlu ..."
"Terimakasih, Ayah!"
Dany tak bisa berkata apapun lagi. Percuma saja mengemukakan pendapat jika Laura sudah meminta sesuatu pada ayahnya. Bahkan, Dany tak bisa menolak saat Laura meminta ayahnya untuk menjodohkan dia dengan Dany. Karena hutang budi dan juga tak punya tujuan hidup setelah ditinggal Hana pergi. Hal itu membuat Dany menerima perjodohan ini.
***
Hana masih berdiri di depan rumah itu. Yah, rumah kenangannya bersama Dany. Hana mengetahui bahwa Dany sudah kembali ke kota. Entah mengapa hati Hana terasa berat. Memikirkan Dany akan menikah dengan orang lain membuat Hana merasakan sesak yang tak biasa di dadanya. Namun, Hana sadar. Perasaannya tak boleh mengalahkan akal sehatnya. Dia sudah memiliki Max dan juga malaikat kecil, Lily. Hana tak boleh menyakiti mereka hanya demi perasaan yang dengan bodohnya dulu dia abaikan. Kini, Dany juga akan menikah Hana benar-benar harus menerima kenyataan bahwa dia dan Dany tak lebih adalah dua orang yang dipertemukan takdir tapi tak ditakdirkan bersama selamanya.
Sejenak Hana menghela nafas. Dia berjalan pelan menuju ke arah rumahnya sambil menunduk. Hana sesekali memukul dadanya, berusaha untuk meredam rasa sakit yang bersarang disana.
"Dany, aku harap kau selalu bahagia," gumam Hana.