"Dany Brown?"
Seorang wanita paruh baya dengan perawakan tegas namun elegan berdiri di depan Dany. Yah, dia adalah Megan Foster, ibu dari Hana Foster. Dany terdiam selama beberapa saat. Tak pernah dia duga, bahwa Megan akan mengunjunginya. Dany agak gugup. Bagaimana tidak, Dany mencintai Hana. Tentu saja dia menganggap Megan istimewa. Calon mertua, itulah pikiran Dany ketika melihat Megan.
"Ibu ... silahkan masuk," ucap Dany dengan hati-hati.
"Tidak perlu. Aku disini saja. Panggil Hana keluar," Megan tampak ketus daj ekspresi wajahnya terlihat datar.
"Hana? maksud Ibu?"
"Jangan panggil aku dengan sebutan itu."
"Tapi ..."
"Hana! aku tau kau di dalam, keluarlah!"
"Bu, Hana tidak ada disini, bukankah dia kembali ke rumah?"
"Kau bekerjasama dengannya untuk membohongiku?"
"Ibu, Hana ..."
"Panggil aku Megan!" Megan meninggikan suaranya beberapa desibel. Ketegangan terjadi. Megan jelas bukan datang untuk berkunjung dengan baik. Namun, Dany sekarang mencemaskan hal lain. Megan datang ke rumahnya untuk mencari Hana. Namun Hana memang tidak berada di rumahnya. Jika Hana tidak pulang ke rumah ibunya, lalu dimana dia sekarang?
"Bu, Hana benar tidak pulang? dia benar-benar tidak ada di rumah ini. Kemana dia? Bu, ayo kita cari dia bersama."
"Tidak perlu!" Dany yang ingin melangkah, terhenti karena mendengar perkataan Megan, "Jika dia memang tidak disini, baguslah. Setidaknya dia tak terus-menerus berhubungan dengan orang sepertimu."
"Bu ..."
"Sudah kuingatkan. Dari awal Hana mengajakmu berkunjung ke rumahku. Aku tidak ingin kau berhubungan dengannya. Walau hanya sekedar teman. Tapi, baik kau maupun Hana, tidak ada yang mendengarkan. Yah, Hana memang keras kepala. Aku tidak bisa memaksakan kehendak padanya. Tapi setidaknya kau harus sadar diri. Lihatlah, Hana menjadi liar sejak berteman denganmu."
"Bu, itu tidak penting sekarang. Kita harus mencari Hana. Bagaimana jika terjadi sesuatu padanya?"
"Tidak perlu. Aku yang akan mencarinya. Kau, jangan pernah temui Hana lagi."
Megan meninggikan dagunya, lalu melangkah meninggalkan Dany. Dany terdiam. Beberapa detik setelah Megan menghilang, Dany menghela nafas, dan mondar-mandir dengan cemas.
"Hana, kau dimana? sudah selama ini kau pergi, dan kau tidak ada di rumahmu?" Dany masuk ke dalam, dia mengambil jaket denim agak usang yang dia gantungkan di dinding kamar. Beberapa menit kemudian dia bergegas keluar, mengunci pintu lalu berlari sambil berusaha menghubungi Hana.
Waktu menunjukkan pukul enam lewat dua puluh sore hari. Langit sudah mulai kemerahan, dan matahari sebentar lagi akan menyamankan diri di peraduannya. Di stasiun kereta api. Dany berjalan gontai. Sejak siang dia mencari Hana, namun dia tidak menemukan wanita itu. Dany sudah mencari kemana-mana. Ke tempat-tempat yang Dany tahu biasanya Hana kunjungi. Bahkan Dany juga menunggu di depan rumah mewah Hana selama beberapa jam sambil terus berusaha menelpon. Namun, Hana tetap tak ditemukan. Dany sudah kehabisan cara, kehabisan akal. Berkali-kali laki-laki itu menghela nafas lemah, dan terus saja menatap ponsel, berharap Hana menghubunginya.
"Wanita ini benar-benar menyebalkan. Diamana dia sekarang? bisa-bisanya ... bisa-bisanya dia menghilang seperti ini. Apa yang terjadi? Hana, setidaknya hubungi aku!"
Dany menggenggam erat ponselnya. Khawatir, marah dan rindu bercampur aduk di benak Dany. Dia hanya ingin mendengar kabar Hana. Sekedar mengetahui keberadaan Hana sudah bisa membuatnya tenang. Namun, sekarang dia tidak tahu harus berbuat apa lagi. Hana benar-benar membuat kekacauan di dalam hidupnya.
"Ayolah Hana, hubungi aku. Setidaknya kau harus mengabariku di mana kau berada. Kau tidak boleh menghilang seperti ini."
Matahari benar-benar sudah terbenam. Suasana di sekitar stasiun benarmenjadi gelap, walau ada lampu-lampu yang berjejer menerangi stasiun tersebut, namun kegelapan malam masih saja menyelimuti hati Dany. Dalam keputusannya Dany embali berjalan gontai. Laki-laki itu menuju kursi di pojok stasiun. Kursi tunggu yang selalu dia duduki. Kursi tunggu yang berada paling ujung dan tepat di bawah tangga, terasing dan sepi.
Ketika Dany hampir tiba ke tempat tujuannya, dia yang tadinya terus saja menunduk lalu mengangkat kepala. Dany menatap ke arah kursi tersebut. Kini dia terdiam selama beberapa saat. Pupil matanya melebar. Dany kemudian menghela nafas dalam, lalu berjalan dan duduk di kursi tersebut sambil menatap ke rel kereta api yang tak asing baginya.
"Kenapa kau disini?" ucap Dany kemudian.
Di sebelah Dany, seorang wanita duduk dan juga menatap ke arah rel kereta api. Wanita itu membuat ekspresi wajah datar, lalu beberapa detik kemudian, garis senyum terukir di wajahnya.
"Dany, aku merindukanmu."
"Kau benar-benar tak waras. Kau dari mana saja!" Dany hampir meledak. Namun, ketika wanita itu menatapnya. Emosi yang dirasakan Dany seketika turun di tingkat yang terendah. Dia sangat kesal, namun rasa rindunya mengalahkan segala yang dia rasakan saat ini. Siapa yang bisa marah dengan orang yang sangat dicintai?
"Dany, kau marah?" wanita itu. Hana Foster yang entah bagaimana berada di kursi tunggu stasiun. Padahal Dany sudah mencarinya kemana-mana. Namun tak disangka dia duduk disini dengan nyaman dan tanpa rasa bersalab sedikitpun.
"Demi Tuhan, Hana. Bisakah kau tak bertindak sesuka hatimu. Semua orang mengkhawatirkanmu,"
"Semua orang? siapa semua orang itu?"
"Maksudku, aku dan ibumu."
"Ibuku? maksudmu, Megan?"
"Dia datang ke rumahku untuk mencarimu."
"Wah, sekarang dia berlagak menjadi seorang ibu, ya."
"Kenapa aku berkata seperti itu. Dia benar-benar mencemaskanmu. Kau kira mengapa orang seperti ibumu menginjakkan kakinya ke rumahku? dia melakukan itu hanya karena kau tidak pulang ke rumah."
"Halo, Dany. Selana bertahun-tahun ini, menurutmu berapa kali ibuku mencemaskanku? dan berapa kali dia mencariku? aku rasa ini yang pertama."
"Tapi setidaknya ..."
"Diamlah, lihat, kereta sudah tiba. Ayo pergi."
Dany dan Hana akhirnya tiba di rumah. Dany tak membiarkan Hana yang langsung ingin beranjak ke kamar. Dia masih membutuhkan penjelasan tentang dimana dan dengan siapa Hana pergi selama menghilang beberapa minggu ini.
"Kau katakan akan pulang ke rumahmu. Tapi kemana kau selama ini? hingga membuat ibumu mencari ke rumahku."
"Aku tak kemana-mana. Hanya bersenang-senang, itu saja."
"Hana ..."
"Kau merindukanku?"
Mendengar pertanyaan Hana, Dany terdiam. Hana tersenyum jahil padanya. Jika sudah begitu, Dany tak mampu bicara apapun lagi.
"Dany, kemari. Aku akan menciummu karena kau terlalu rindu padaku."
"Tidak perlu. Kau benar-benar menjengkelkan."
"Tidak perlu? hmmm, ayo sini," Hana memonyongkan bibirnya lalu menghambur ke arah Dany, Dany menahan kepala Hana dengan tangannya, dan berusaha menghindari Hana.
"Dany!"
"Dasar, kau ini." Dany mengangkat Hana, lalu membawa Hana ke kamar, "Kau mau tidur, kan? tidur sana. Dasar menyebalkan."
Hana berguling-guling di dipan kayunya sambil cekikikan. Tak lama kemudian, Hana berhenti, lalu membuat wajah manja.
"Gingsul ...." ucap Hana sambil merentangkan tangannya.
"A-Apa, ada apa lagi?"