Good In Goodbye (5)

1044 Kata
Meskipun Megan begitu keras sebelumnya. Hana tahu bahwa ibunya seperti itu karena tekanan dan masalah yang dia hadapi di keluarga. Karena ego masing-masing. Pernikahan Ibu dan Ayah Hana itu hanya bahagia di sepuluh tahun pertama. Selebihnya, hanya di isi dengan pertengkaran dan juga ketidakakuran. Megan dari awal memang tak menyukai Dany. Karena menganggap Dany membawa pengaruh buruk terhadap Hana. Tapi, setelah dia bercerai, dan Hana memutuskan untuk meninggalkan Dany, Megan jadi menyesal. Dia sempat membujuk Hana untuk kembali kepada Dany. Namun, Hana dengan pemikiran negatif yang terus menghantuinya, membuat dirinya menjauh dan tak ingin terus berada dan membayang-bayangi Dany. Ditinggalkan orang yang dicintai memang sakit. Namun, bagi Hana. Jika setelah menjalin hubungan dengan Dany dan tidak berjalan lancar lalu mereka akhirnya berpisah, itu jauh lebih sakit dari apapun. Setidaknya, sekarang mereka masih bisa menyapa satu sama lain, walau sudah hidup dengan keluarga masing-masing. "Hana, kenapa diam saja?" suara Megan di ujung telepon menyadarkan Hana dari lamunannya. "Ah, tidak. Kenapa tiba-tiba ibu bertanya tentang Dany?" "Ibu hanya penasaran saja. Apa dia masih di rumah lama?" "Dia tidak disana lagi." "Karena rumahnya kosong?" "Aku bertemu dengannya beberapa hari lalu, dan tadi pagi." "Hana, kau ... tidak melakukan hal aneh, kan?" "Bu, aku punya suami, dan Dany sebentar lagi akan menikah." "I-Ibu hanya khawatir. Jadi dia akan menikah?" Ibu dan anaknya itu terdiam selama beberapa saat, "Hana ... maafkan ibu," ucap Megan kemudian. "Tak perlu minta maaf. Semua sudah berlalu. Sekarang kami punya keluarga untuk dijaga." "Ibu merasa bersalah. Andai ibu tak memaksamu pindah waktu itu ..." "Aku pindah atas kemauan sendiri. Ibu tak perlu merasa bersalah. Ibu ada hal lain yang mau dikatakan?" "Ah, tidak. Ibu hanya ingin tahu kabarmu." "Aku baik-baik saja. Kalau begitu aku tutup," Hana menutup panggilannya. Dia menghela nafas beberapa kali, sambil memijit kepalanya yang entah mengapa terasa sakit. "Ibu, kenapa ibu tampak murung?" ucap Lily, menatap ibunya sambil berbaring. "Ibu? tidak, ibu tidak murung sama sekali," "Tapi begitulah yang terlihat. Ibu ada masalah?" Hana tersenyum tatkala mendengar pertanyaan putrinya. Gadis kecil yang imut itu adalah pembawa kebahagiaan terbesar bagi Hana saat ini. Karena itu, ketika mendengar Lily tampak mengkhawatirkannya Hana tak bisa menahan rasa kagum dan bangga, bahwa gadis kecil berumur empat tahun itu sudah bisa merasakan empati. "Sayang, menurutmu ibu ada masalah apa?" ucap Hana sambil mengelus kepala Lily dengan lembut. Lily menggeleng dengan polos, "Tidak tahu. Tapi, jika ibu bicara. Mungkin aku bisa membantu." "Benarkah? sejak kapan kau menjadi sepintar ini? menggemaskan sekali," Hana mencubit pipi putrinya dengan gemas. "Jadi, ibu ada masalah apa?" "Masalahmu ... ha, sudah pukul empat sore dan ayahmu belum pulang. Ibu harus mengomelinya nanti," "Sepertinya ayah sedang lembur, "Wah, perhatian sekali anak ibu. Kau tahu masalah lembur sekarang? "Hmm, aku kan pintar, karena aku adalah anak ibu." "Terimakasih anakku yang pintar," Hana memeluk Lily dengan erat. Gadis kecil itu ikut memeluknya. "Terimakasih kembali, bu." *** Waktu menunjukkan pukul tujuh malam, Max berkeliling di dalam toserba, mencari-cari sesuatu di rak pajangan makanan instan. Dia tampak kebingungan dan tam terlalu yakin dengan apa yang sudah dia ambil "Apa yang ini? mi instan yang Hana suka. Wah kenapa pilihannya banyak sekali. Apa aku beli saja semua?" ucap Max sambil melihat kedua jenis mie instan berbeda di kedua tangannya. "Jika membeli semuanya, aku pasti akan diomeli. Tapi, aku harus memilih yang mana?" "Kenapa tidak meneleponnya dan bertanya?" Terdengar suara dari belakang Max. Max langsung berbalik, "Kau ... Dany Brown, temannya Hana, kan?" "Wah, kau mengenalku?" orang itu memang Dany Brown. Dia mengenakan kaus hitam dan celana berwarna senada. Dia berdiri di samping Max, lalu mengambil sebuah mie instan dengan kemasan cup. "Hana memberitahuku. Walau hanya sekali bertemu aku mengingat wajahmu. Kalau dipikir-pikir, kita belum menyapa satu sama lain, padahal kau adalah saudara Hana." "Saudara?" "Hmmm, Hana mengatakan bahwa kau adalah sahabat sekaligus saudaranya," "Ternyata itu yang dia ceritakan. Kau kebingungan sekarang? telpn saja dia agar tidak salah membeli. Dia bisa mengomel sepanjang malam, hanya karena kita salah membeli mi instan." "Benar kan, saat ini aku sedang bersiap untuk diomeli. Ponselku kehabisan daya, jadi aku tak bisa meneleponnya." "Baiklah, aku tak ingin kau diomeli. Letakkan kedua benda yang kau pilih itu. Ini, pilih yang ini saja. Dia menyukainya," Dany memberikan sebuah mie instan dengan cup berwarna hitam kepada Max. "Jadi dia menyukai ini?" "Hmm, dia tidak akan mengomelimu." "Wah, sepertinya kau tahu banyak tentang Hana." "Tidak juga. Kalau begitu, aku permisi dulu," Dany membungkuk, lalu segera beranjak. "Dany Brown!" seruan Max membuat Dany terhenti dan berbalik, "Hana mengatakan kau akan segera menikah. Untuk itu, bagaimana jika kita makan malam bersama?" "Mengapa kita harus makan malam bersama?" "Karena kau teman Hana. Setahuku, Hana tak pernah punya teman, dan itu membuatku khawatir bahwa dia menolak berhubungan dengan lingkungan. Tapi, dia tersenyum. Memperkenalkan kau sebagai sahabatnya sekaligus saudaranya. Kau juga ajan segera menikah. Jadi, untuk merayakan itu, dan juga sebagai perkenalan kita, aku mengundangmu makan malam di rumahku. Bawa juga tunanganmu." "Maaf, tapi aku tak bisa. Aku tak mau merepotkanmu dan menyita waktumu." "Tentu saja tidak. Aku yang mengundangmu," "Aku aku tidak ..." "Kita harus menerimanya. Tuan Max, kami akan memenuhi undangan itu," Laura. Wanita itu tiba-tiba datang entah dari mana dan menyela Dany yang hendaj berbicara. "Kau, tunangan Dany Brown?" Max mendekat ke arah Laura yang kini berada di samping Dany. "Laura Still," ucap Laura sambil mengulurkan tangannya. "Max Carter. Senang bertemu denganmu," ucap Max kemudian, "Jadi kalianntak keberatan, kan?" "Laura, kita tak boleh merepotkan mereka," ucap Dany kemudian. "Aku mendengar tadi, Tuan Max tak merasa direpotkan. Lagipula, aku juga tak tahu bahwa kau punya sahabat sekaligus saudari. Mari kita makan malam sekali, untuk merayakan pertemuan kalian." "Sip, berarti semua sudah beres. Sampai jumpa besok malam di rumahku. Aku akan mengirimi kalian alamatku," "Tidak perlu, Tuan. Aku tahu dimana rumahmu," ucap Laura sambil tersenyum. "Kau tahu? siapa yang memberitahumu, Hana?" "Laura, kau tahu dimana Hana dan suaminya tinggal?" Dany juga bertanya karena penasaran. "Ah, aku pernah melihatnya keluar dari rumah itu, tapi aku tidak menyapanya. Rumah besar yang berada hampir di ujung jalan, kan?" "Benar. Itu rumahku, senang mendengar bahwa kau mengetahuinya," "Kau berkeliling hingga ke ujung jalan?" Dany menatap Laura lekat. "Karena aku bosan di penginapan. Jadi aku berkeliling. Bagaimanapun, maaf merepotkanmu. Kami akan datang besok malam," Laura menunduk ke arah Max. "Baiklah, aku akan menunggu," ucap Max balas menunduk.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN