Prang! Laura melempar gelas ke lantai. Dia tampak begitu marah hingga wajahnya memerah. Bagaimana tidak, dia sangat membenci Hana dan juga segala sesuatu yang berhubungan dengan Hana. Termasuk masalah rumah. Dany bahkan masih menanyakan tentang rumah tersebut, bahkan ketika Laura sudah menjualnya. Hal itu membuatnya sangat kesal.
"Kau ... masih saja berusaha untuk mengambil rumah itu kembali?" tanya Laura, matanya tampak memerah, bersamaan dengan wajahnya.
"Sudah kukatakan aku tak akan membahas rumah lagi setelah ini. Tapi berikan aku informasi pembelinya, karena aku ..."
"Jika kau ingin menghubungi mereka karena mau mengambil barang-barang wanita itu, lebih baik tak perlu. Aku sudah mengatakan pada mereka bahwa semua barang di rumah tidak berguna, dan sudah minta mereka untuk membuangnya!"
Dany menarik nafas panjang, dan mengepalkan tangannya erat untuk menahan emosi, "Laura, tolong. Berikan aku informasi pembelinya, atau aku akan pergi dari sini."
"Kau mengancamku sekarang? hanya karena wanita itu?"
"Laura!"
"Aaaa!" Prang! Laura kembali melempar semua barang-barang yang terlihat di depannya. Dany langsung beranjak pergi dan membanting pintu dengan keras. Baru kali ini Dany tampak sangat marah hingga keluar rumah. Laura makin mengamuk. Namun yang bisa dia lakukan hanyalah melempar semua barang-barang dan berteriak histeris.
Hampir tiga jam berlalu sejak Dany pergi meninggalkan rumah. Kini dia berada di stasiun kereta bawah tanah. Duduk di kursi tunggu paling pojok yang dulu selalu dia duduki sambil menunggu kereta datang. Dany tampak sangat kacau. Beberapa kali dia menghela nafas, sambil menatap jam tangannya. Tak pernah dia duga bahwa dia bisa lepas kendali dan marah kepada Laura seperti yang dia lakukan saat ini. Dany merasa bersalah, namun dia tak bisa membiarkan barang-barang Hana yang dia tinggalkan di runah tersebut terbuang. Barang-barang itu begitu berharga baginya. Dia mungkin tampak seperti laki-laki jahat yang menyakiti istrinya sendiri. Namun, Dany tak bisa membohongi perasaannya yang masih memikirkan segala hal tentang Hana. Walau yang Dany tahu, Hana mungkin saja tak mengingatnya lagi, Hana telah bahagia dengan keluarga kecilnya.
Sepuluh menit sebelum kedatangan kereta. Dany sudah bersiap untuk pergi ke kota kecilnya demi mengambil barang-barang milik Hana. Namun, tiba-tiba ponsel Dany berdering. Sebuah telepon masuk dari Tuan Still yang tak lain adalah mertuanya mengurungkan niat Dany untuk melangkah. Dia langsung menjawab telepon tersebut, karena tak biasanya Tuan Still menghubungi Dany.
"Halo, Ayah," jawab Dany dengan nada ingin memastikan bahwa Tuan Still menghubungi tidak bersangkutan dengan masalahnya dan Laura yang baru saja bertengkar hebat.
"Dany, segera ke rumah sakit sekarang."
"Kenapa, Ayah? aku sedang menuju ke luar kota,"
"Laura melukai dirinya. Ke rumah sakit sekarang. Dia tak mau diobati sebelum kau datang,"
Mendengar hal itu Dany menghela nafas. Dia menggenggam ponselnya erat. Laura selalu begitu. Melakukan sesuatu agar Dany merasa bersalah, dan selalu memanfaatkan ayahnya. Laura tahu Dany begitu berhutang budi kepada Tuan Still. Sahabat sekaligus orang yang sellau menolong Ibu Dany. Bahkan Tuan Still menanggung semua biaya pengobatan ibu Dany saat masih terbaring di rumah sakit.
Dany akhirnya mengurungkan niat untuk pergi ke rumah lamanya. Kereta tiba, namun Dany berbalik meninggalkan stasiun.
Hampir satu jam perjalanan Dany ke rumah sakit karena ada sedikit kemacetan. Begitu tiba, Dany langsung berlari ke unit gawat darurat untuk memeriksa keadaan Laura. Benar saja, Laura masih belum bisa diobati. Dia berteriak, dan mengancam para dokter agar tak mendekatinya. Bahkan Jessie yang paling dekat dengannya pun tak bisa menenangkan Laura.
"Dany, kau sudah tiba," Tuan Still yang sangat khawatir dengan keselamatan putrinya langsung menghambur ke arah Dany.
"Apa yang terjadi? Laura, kau ini sebenarnya kenapa!" Dany tampak cemas. Kecemasannya karena dia merasa bertanggung jawab atas apa yang menimpa Laura. Wanita itu menggores pergelangan tangannya, hingga mengeluarkan darah yang tak sedikit.
"Kau masih bertanya kenapa? kau pikir aku begini karena apa, dasar b******k!" Laura kembali berteriak. Tak ada yang berani mendekatinya karena Laura memegang pisau beda di tangan kanannya.
"Dany, kumohon. Laura sudah terlalu banyak mengeluarkan darah, dia harus segera diobati!" seru Tuan Still dengan panik.
"Jangan ada yang mendekat, atau aku akan menggores tanganku lagi!" teriakan Laura memenuhi ruang gawat darurat. Dany dengan cepat mendekat lalu berusaha melepaskan pisau dari tangan Laura. Dany tak takut terluka. Karena dia tahu, Laura tidak akan berani melukainya.
"Lepaskan aku, b******k! lepas ..."
"Laura, tenanglah!" Dany mencengkram bahu Laura dan menatap Laura tajam, "Tenanglah,"
Laura terdiam sejenak, beberapa detik kemudian dia mulai menangis, lalu meneluk Dany erat. Kesempatan itu langsung dimanfaatkan Tuan Still, meminta para Dokter segera mengobati pergelangan Laura yang terluka.
Setelah dibati, Laur kini dipindahkan ke kamar rawat. Dany menunggu disana. Termenung, dan frustasi. Sepertinya, apapun langkah yang dia ambil, terkesan selalu salah. Dany tak mengerti lagi. Apa yang harus dia lakukan. Perlahan dia menatap Laura yang tertidur, lalu menatap pergelangan tangan Laura yang terluka. Hatinya merasa bersalah lagi. Dia adalah penyebab orang lain ingin melakukan bunuh diri. Hal itu membuat Dany lebih merasa buruk dari sebelumnya.
Tok, tok, sebuah ketukan mendarat di pintu kamar perawatan Laura. Tampak Tuan Still masuk lalu menghampiri Dany yang duduk di samping putrinya. Tuan Still menghela nafas panjang. Melihat kepribadian Laura selama ini, Tuan Still tak pernah menduga, bahwa putrinya akan melakukan aksi nekat seperti itu.
"Maafkan aku, ayah. Dany menunduk. Kali ini Dany dan Tuan Still sudah berada di sofa ruangan.
"Aku tak tahu apa yang terjadi. Masalah apa yang menimpa kalian hingga Laura nekat melakukan hal tersebut. Tapi, berdasarkan kepribadianmu, aku yakin kau tak bermaksud menyakiti Laura. Dia mungkin tertekan masalah lain, hingga nekat melukai pergelangan tangannya."
"Sepertinya, aku bukan suami yang baik. Aku gagal sebagai suami, dan sebagai laki-laki yang harusnya melindungi wanita."
"Jangan bicara seperti itu, Dany. Aku kenal kau dengan baik, seperti aku mengenali ibumu. Sifamu dan ibumu persis sama. Kalian adalah tipe orang yang selalu menyalahkan diri sendiri apabila terjadi sesuatu. Bukan karena kalian bodoh, kalian hanya terlalu baik hati."
"Hah, aku tak tahu lagi harus bagaimana, Ayah. Ada sesuatu yang membuatku menjadi suami yang buruk untuk Laura. Harusnya aku tidak memaksa melanjutkan ini dari awal. Aku benar-benar bersalah. Bersalah padamu dan juga Laura, aku tak bisa menjadi pendamping yang baik, dan terus saja menyakitinya."
"Dany, aku tahu bagaimana sifat putriku. Kau tak perlu khawatir. Sekarang, yang perlu kau lakukan hanya merawatnya dengan baik, dan bersikap lembut padanya. Hmm, sudah jauh lewat dari makan malam, dari wajahmu yang memucat aku tahu kau juga pasti belum makan siang. Pergilah, isi tenagamu. Aku akan menjaga Laura."
"Aku baik-baik saja, Ayah."
"Dany, dengarkan aku. Pergilah cari sesuatu yang bisa dimakan."
Dany diam sejenak, sebelum akhirnya berdiri dan membungkuk, "Aku pergi sebentar. Maaf telah menyusahkan ayah,"
"Tak masalah, Dany." Tuan Still tersenyum. Dany beranjak keluar dari ruangan, dan Tuan Still ikut beranjak melangkah ke ranjang putrinya.
Tuan Still menatap Laura, lalu menepuk pundak Laura, "Kau, dasar gadis gila. Jika meleset sedikit saja, kau pasti tidak akan tertolong lagi."