Good In Goodbye (16)

1059 Kata
Prang! terdengar sesuatu terjatuh dari ruang tamu. Megan langsung berlari ke arah suara tersebut. Dia melihat Hana, kali ini putrinya itu menabrak meja dan memecahkan vas. Yah, Hana sudahulai keluar kamar, namun selalu menabrak apapun yang ada di depannya. Setelah melakukan itu, Hana selalu frustasi dan membenci dirinya sendiri. Terkadang dia menjerit, terkadang dia memukul kepalanya dengan kesal. Kali ini Hana terduduk di lantai dan memukul lantai hingga tangannya terluka karena pecahan vas. "Hana, kau baik-baik saja?" Megan menghambur untuk memeriksa keadaan putrinya, "Tanganmu terluka. Ayo berdiri dulu, hati-hati banyak pecahan di sekitarmu." Hana berdiri dengan asal, membuat Megan khawatir, beruntung dia tak menginjak pecahan vas yang telah dia jatuhkan tersebut. Hana meraba-raba lalu menghempaskan dirinya dengan kesal begitu mencapai sofa. "Hana, sudah ibu katakan. Jika ingin kemana-mana kau bisa panggil ibu, atau Lily." ucap Megan yang telah siap dengan kotak obat di tangannya, "Sini, ibu periksa lukamu dulu." "Aku benci keadaan ini," ucapan Hana membuat Megan menghela nafas. Beberapa hari setelah memberanikan diri keluar dari kamar, Megan sering mendengar kalimat itu dari mulut Hana. "Hana, bersabarlah. Ibu sedang mendaftarkan namamu untuk penerimaan donor mata. Jika ada yang cocok, kau bisa langsung operasi." "Lalu kemungkinannya berapa persen? kapan aku bisa melakukan operasi, siapa yang mau mendonorkan matanya untukku!" "Hana, ibu tau kau sangat tak menyukai keadaanmu. Tapi kita harus bersabar. Ibu yakin sebentar lagi pasti ada pendonor atau pihak rumah sakit yang menghubungi kita." Hana hanya diam. Megan tersenyum tipis dan perlahan mengobati luka di tangan Hana. Membersihkan luka secara perlahan agar tak menyakiti putrinya tersebut, memberi salep luka dan memasang perban dengan hati-hati. "Hana ... maafkan ibu, tapi apa tidak sebaiknya ..." "Ibu ingin aku memakai tongkat lagi?" Hana memotong kalimat ibunya. Hana sangat tidak suka dengan kenyataan dia mengalami kebutaan, dan tentu saja sangat benci dengan tongkat. Alat penunjang untuk orang buta tersebut membuat Hana merasa menyedihkan. "Sayang, hanya untuk sementara. Sampai kita mendapatkan donor mata." "Jika kita tidak mendapatkan dalam waktu dekat. Ibu ingin aku bergantung dengan alat itu? seperti orang buta lainnya?" "Maksud ibu bukan begitu, ini hanya untuk ..." "Ibu tak suka jika perabotan di rumah ibu pecah setiap hari karenaku?" "Hana, ibu tak pernah memikirkan hal lain selain keselamatanmu. Baiklah, jika tak ingin mengenakan tongkat, jika kau ingin kemanapun ada ibu dan Lily yang bisa membantu." "Jadi sekarang aku dituntun seperti orang buta di jalanan sana?" "Hana! ibu tau kau frustasi. Orang buta di luaran sana juga memiliki masalah yang sama. Mereka juga kesulitan dengan hidup mereka, namun mereka tak menyerah. Mereka melakukan segala sesuatu untuk menyeimbangkan hidup mereka. Mereka juga berjuang di luar sana!" "Jadi, maksud ibu aku tidak berjuang!" "Hana!" Buk! Hana melempar bantalan sofa ke lantai dengan kesal, lalu berdiri dan meraba-raba untuk kembali ke kamar. "Hana, maafkan ibu sudah membentakmu, kau mau ke kamar, ayo ibu bantu." "Tak perlu, aku bisa sendiri!" Hana berjalan sempoyongan dengan air mata kekesalan yang tumpah dari pelupuk matanya. Megan menjaga Hana dari belakang, menjaga agar putrinya itu tak menabrak apapun, dan tak melukai dirinya sendiri. Begitu mencapai pintu kamar, Hana mencari kenop dan memutarnya, dia masuk ke kamar dan buk! langsung membanting pintu dengan keras. Beruntung Megan belum mencapai ambang pintu. Jika dia disana, maka bantingan pintu dari Hana akan mengenai Megan. Di kamar Hana langsung meringkuk di tempat tidur dan menangis. Hana tau bahwa dia telah menyakiti perasaan Megan. Namun, bukan maksudnya melakukan hal itu. Dia hanya kesal, dan kesulitan menerima dirinya sendiri.. "Bagaimana aku harus memulainya? hidupku kacau sekarang. Aku tak bisa melihat. Aku hanya bisa meraba makam Max, Hanya bisa mendengar suara putriku, dan marah ke ibuku. Aku benar-benar Kesal karena tak bisa melihat mereka. Hiks ... kenapa harus aku yang menerima semua ini? kenapa harus aku yang buta, lebih aku saja yang mati. Jika itu Max, mungkin dia bisa menerima keadaan ini karena dia lebih sabar, tapi aku tak bisa! a-aku bukan orang yang sabar, bahkan Dany saja ...." Hana terdiap sejenak ketika tak sengaja menyebutkan bama Dany, "Dany saja mengatakan bahwa aku orang yang paling tidak sabar di dunia. Kebalikan darinya yang selalu tau bagaimana harus menghadapiku. Dany ... artinya sekarang aku juga tak bisa melihat wajahnya sama sekali?" Hana kembali menangis tersedu. Memikirkan Dany membuat hatinya semakin sakit. "Dany pasti sudah menikah dan bahagia, hiks ... kenapa aku merasa iri dengan istrinya? argh, Hana sialan! berhentilah memikirkan dia! berhenti, berhenti!" Hana memukul kepalanya beberapa kali sebelum akhirnya dia kembali menangis hingga tertidur kelelahan. Malam harinya Hana hanya duduk termenung di kamarnya, sejak dia memecahkan vas tadi siang, Hana belum melangkah dari kamarnya lagi. Tok, tok, beberapa menit kemudian terdengar pintu kamar Hana diketuk. Pintu tersebut terbuka perlahan, dan Lily berdiri di ambang pintu menatap ibunya dengan wajah yang sedih. "Ibu, aku boleh masuk?" tanya Lily dengan hati-hati. Dia tia ingin membuat ibunya kesal seperti terakhir kali. "Lily, masuklah," jawab Hana singkat. Lily perlahan berjalan ke arah tempat tidur, lalu duduk di samping ibunya dan menatapnya lekat. "Lily, jika kau mengajak ibu bermain, ibu ..." "Tidak bu, ibu istirahat saja. Lily hanya ingin mengucapkan selamat malam." "Pukul berapa sekarang?" "Sepuluh lewat delapan menit," "Lily, ini sudah larut untukmu, kenapa kau masih belum tidur?" Lily mendekat lalu, berbaring di pangkuan ibunya, "Boleh aku tidur di pangkuan ibu sebentar? aku merindukan ibu," Hana hanya diam, Hana ingin mengusap kepala Lily yang berbaring di pangkuannya. Namun, setelah tangannya terangkat, Hana berhenti dan mengurungkan niatnya. "Ibu ingat, dulu ibu selalu menidurkanku dan membacakan cerita untukku? ibu selalu bermain denganku, membuatkan makanan, meskipun tidak seenak masakan ayah, tapi aku menyukai masakan ibu. Ayah ... sudah kembali ke atas sana. Ayah selalu menjaga ibu dan menjagaku dengan baik. Kini aku hanya punya ibu. Tak masalah, bu. Saat ini, Ibu tak perlu membacakan cerita untukku sebelum tidur, ibu juga tak perlu bermain denganku, atau memasakkan makanan untukku. Aku baik-baik saja. Aku sangat senang dan bersyukur karena ibu bangun dari koma. Aku tak perlu apapun. Aku hanya perlu ibu ada disini. Aku akan menjagamu, bu. Jangan terlalu khawatir. Aku sudah berjanji pada ayah akan menjaga ibu dengan baik. Kesulitan yang ibu rasakan sekarang mungkin diluar kendaliku. Tapi, aku akan selalu ada disini, dan menjaga ibu." Air mata Hana tiba-tiba tumpah, dia merasa bersalah kepada putrinya. Gadis kecil itu harusnya mendapatkan perhatian lebih, bukan malah memikul tanggung jawab untuk menjaga ibunya. Hana perlahan mengusap kepala Lily, lalu mengecup dahi Lily dengan lembut. "Maafkan ibu, sayang. Maafkan ibu,"
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN