Pesona Leo sangat luar biasa untuk menaklukan para gadis di luar sana. Hanya dengan tatapan s*****l, semua tergila-gila padanya.
Namun Leo tak akan melakukan hal itu kalau bukan demi seseorang yang dikejarnya. Melihat Vania tampak malu, ia yakin seyakin ya kalau sudah menembus hati baja gadis itu.
"Apakah aku tampan?" tanya Leo dengan narsis.
Memang sangat tampan, dan Vania mengangguk tanpa sadar, seolah terhipnotis begitu saja. Saat sadar, gadis itu langsung menggeleng beberapa kali.
Vania langsung menyudahi kegiatan mengemut jari manis Leo. Sangat diluar dugaan karena seperti tersihir. Bisa-bisanya dia lancang mengambil inisiatif tanpa rasa malu.
"Harusnya kau jujur, Vania," kata Leo sambil memegang dagu gadis itu. Melihat wajahnya merah, pria tersebut tak segan menggodanya.
Vania menepis dengan pelan, "Apa tujuanmu kemari?"
"Menjengukmu. Apa lagi?" Leo duduk dengan nyaman di kursi. Rumah kecil itu sangat hangat. Banyak foto masa kecil Vania dan Raul. Tidak hanya itu, foto beberapa keluarga utuh dan juga foto Vanya.
"Ada apa?" tanya Vania melihat ekspresi wajah Leo yang sendu.
"Tidak ada. Aku senang kau baik-baik saja."
"Kalau bukan karena kau, aku tak mungkin sakit," cibir Vania kesal.
Vania menyentuh bibirnya sendiri karena mengingat telah memasukkan jari pria itu ke dalam mulutnya.
"Kau masih terbayang kejadian romantis kita," sindir Leo terang-terangan.
"Hey, aku melakukan pertolongan pertama." Gadis itu menyesal telah bertindak tanpa sadar. Sepertinya ia harus lebih hati-hati lagi.
"Lebih baik kau pulang," usir Vania. Mulai besok, jurus rahasia untuk membuat Leo jera mengejarnya akan dilakukan. Kalau saat ini, ia tak punya kekuatan untuk melawan pria itu.
"Besok, aku akan mengantarmu ke kampus," kata Leo sambil bangkit.
"Tidak perlu," tolak Vania. Gadis itu mengingat rencananya. "Baiklah…, tunggu aku di gerbang depan kompleks."
Ada yang aneh dari tingkah Vania. Belum ada seminit, dia menyetujui tawarannya.
"Hitung-hitung sebagai permintaan maaf karena membuatmu sakit."
Leo mendekati gadis itu, menepuk kedua bahunya dengan pela. Hembusan nafasnya menerpa kulit putih Vania.
Sungguh adegan tersebut sangat berbahaya bagi gadis itu, seolah merasa merinding dan keenakan.
Sepertinya aku harus cari kekasih, batin Vania sambil menutup mata.
"Aku akan menunggumu. Jangan terlambat." Leo pun pergi setelah mengucapkan perkataan lembut bak seorang kekasih. Dia terlihat girang sambil bersiul hingga sampai rumahnya.
"Tuan…," panggil Ben saat melihat Leo masuk ke dalam rumah. Arah pandang Michael pun tertuju padanya.
"Sepertinya kau sedang senang," ucap Michael merasa lega. Lega karena si monster gila sudah ada yang mengendalikan.
"Urusi urusanmu," ucap Leo dingin. Pria itu duduk, mengambil berkas yang ada di atas meja. "Keputusan yang tepat."
"Aku tak ingin mempertahankan kafe itu." Michael lelah mengurus kafe milik keluarganya. Sangat kecil dan tidak menguntungkan.
"Kau saja yang tidak bisa berbisnis," cibir Leo membuat hati Michael tertusuk.
Lama-lama berada disekitar pria itu, Michael bisa berubah jadi tua karena kesal dan frustasi. Lebih baik segera pergi dari sini untuk melihat klub miliknya.
"Aku pulang."
Dia melengos begitu saja mengabaikan dia pelayan yang sedang membawa makanan ringan. Melihat Leo sudah pulang, dua pelayan itu kembali ke dapur.
"Taruh makanan itu di atas meja."
Baru pertama kali, Leo meminta mereka melakukan sesuatu yang tidak pernah dia lakukan.
"Kenapa diam? Cepat!"
Mereka pun segera mendekat, menaruh makanan ringan itu di atas meja sesuai intrukso sangat tuan.
Ben tersenyum ketika Leo melakukan sesuatu yang jarang terjadi. Seolah ada kehangatan di dalam rumah. Melihat wajahnya yang ceria, hati pria tua itu cukup puas.
"Ada apa denganmu?" tanya Leo karena melihat Ben tersenyum.
"Sudah lama saya tidak melihat tuan seperti sekarang."
Seketika itu pula, Leo langsung menghentikan kegiatannya. Memilih pergi meninggalkan Ben sendirian.
Apakah dia kentara dengan perubahan yang ada di dalam dirinya?
Pria itu menatap ke arah cermin untuk melihat seluruh ekspresi wajah.
Dulu hidupnya sangat bosan. Seperti berada di malam panjang. Tidak ada matahari, tidak ada cahaya sama sekali.
Namun akhir-akhir ini, wajah Vania selalu terlintas dalam setiap pikirannya.
Seperti sekarang, dia memikirkan kejadian saat terkena serpihan kaca. Bagian jantung serasa hidup. Berbunyi dug dug dug.
"Aku merasakannya," gumam Leo sambil menutup mata. Kehidupan yang benar-benar hidup itu karena mengenal Vania.
"Kapan aku bisa merengkuh nya. Kesabaranku sudah habis," gumam Leo terus menatap ke arah cermin.
Pria itu sudah tidak bisa menahan lebih lama lagi karena sulit sekali mengatur rasa sabar. Keinginannya untuk bersama Vania semakin besar setiap harinya.
"Sialan! Apa aku harus melakukan cara kasar supaya dia mau bersamaku."
Detik itu pikiran jahat mulai masuk ke dalam otaknya. Bagaimanapun, melatih kesabaran sangat menyebalkan.
"Vania ku…!"
Leo menatap ke arah jendela untuk memastikan bahwa Vania ada di kamarnya. Sayang sekali gadis itu malah keluar rumah untuk membeli kebutuhan dirinya.
"Apa yang aku beli?" monolog Vania sambil bersenandu.
Banyak sekali yang harus dibeli karena gadis itu sudah lama tidak berbelanja. Makanya ia menikmati waktu di mini market kecil itu.
Kesenangannya harus kandas karena ada seorang pria yang menyebalkan datang.
"Kita jodoh," katanya tanpa basa-basi.
Vania mengomel tidak jelas, tapi dimata pria itu sangat lucu.
"Apa yang kau beli, Vania?"
Gadis itu menoleh sekilas, pergi begitu saja dengan cepat. Pria itu lantas mengikutinya dari belakang.
"Dennis…, kesabaranku sudah habis!" geram Vania tertahan.
"Maka kau harus lebih bersabar lagi," jawab Dennis dengan tenang. Gadis itu pun melebarkan langkah kaki agar segera sampai ke kasir.
"Aku yang bayar," kata Dennis dengan bangga. Vania mendorong bahu pria itu cukup kasar. "Ini barangku, bukan barangmu. Kak…, hitung semuanya!" Suara Vania sedikit tingga tanpa menoleh ke arah kasir.
Si kasir langsung menghitung barang-barang tersebut. Belum mengeluarkan suara, Vania bergegas memberinya uang. Yang diperankan, jumlah uang pas dengan nota pembelian.
"Terimakasih."
Dennis segera mengikuti Vania. Sampai di pertigaan sepi, gadis itu berhenti. Sumpah, jengkel setengah mati melihat tingkah Dennis. Sekali-kali memang harus diberi pelajaran..
"Ada penguntit c***l!" teriak Vania mengundang beberapa orang dalam waktu singkat. Ternyata ada jalan utama di dekat gang sepi itu. Dennis pun tersentak melihat beberapa orang datang mendekat.
"Rasakan!" ejek Vania sambil berlari.
Sementara Dennis juga berlari karena dikejar beberapa orang asing seolah dirinya orang jahat.
"Sialan! Aku bukan penguntit!" teriak Dennis terus berlari. Masa memang sulit dikendalikan, hingga akhirnya dia berada di gang buntu.
"Kalian harus tahu kebenarannya," kata Dennis sambil mengangkat kedua tangan minta ampun.
"Banyak orang c***l yang berkata seperti itu."
"Benar…, meskipun kau berada, tapi otakmu harus dibersihkan."
Akhirnya Dennis mendapatkan beberapa pukulan dari mereka. Untung ada dua polisi yang sedang patroli, makanya dia dibantu.
Mereka semua pun hendak lari, tapi polisi itu berhasil menangkap dua orang. Semuanya dibawa ke kantor polisi tanpa ada perlawanan.