25. Orang tak Normal

1025 Kata
Lagi dan lagi, Vania harus merasakan kekesalan yang lebih besar lagi. Apakah ini sebuah karma? Pikiran melayang ke sisi negatif. Bagaimanapun tugas kelompok sangat penting menentukan lulus tidaknya dalam mata kuliah yang di ambil. Hanya saja, kenapa harus bersama mereka berdua? "Aku rasa pertemuan kita berakhir sampai disini," kata Vania merapikan semua buku yang ada di atas meja. "Banyak hal yang harus kita bahas," ujar Dennis mencegah Vania pergi dari pertemuan itu. "Vania harus pergi karena di kerja." Seperti biasa, Arthur menyela Dennis berbuat yang tidak-tidak kepada gadis itu. Terkadang Vania berpikir, apakah Arthur sudah mendapatkan hidayah sampai melindunginya dari Dennis. Karena dalam waktu semalam, pria itu berubah total. Apalagi semenjak rumor kebangkrutan yang beredar beberapa hari lalu. Ada yang mencurigakan, batin Vania mulai membuka otaknya untuk berpikir. "Arthur…, aku perlu bicara denganmu." Untuk pertama kalinya, Vania mengajak Arthur bicara berdua. Alice merasa curiga, segera dia mengambil tindakan. "Kita sudah telat, Vania," rengek gadis itu terang-terangan. "Lima menit cukup." "Aku tidak setuju," sanggah Dennis. Bisa-bisanya nanti Arthur mengambil kesempatan untuk dekat dengan Vania. Arthur pun menggeser kursinya. "Aku akan menunggumu di luar." "Vania," panggil Alice dengan nada berbisik karena mereka masih berada di dalam perpustakaan. "Hanya sebentar." Vania tidak memperdulikan mereka berdua yang tampak kecewa satu sama lain. Yang ingin diketahui satu hal. Apa yang membuat Arthur berubah? "Ada apa?" tanya Arthur dengan sikap biasa. Tidak menggebu-gebu seperti biasanya. "Apa yang kau sembunyikan dariku?" Dahi Arthur berkerut, "Aku tak mengerti dengan perkataanmu." "Kau berubah. Dalam waktu semalam seorang Arthur mengubah tujuannya, pasti ada yang kau sembunyikan." Kenapa Vania bisa menyadarinya? Apakah aku terlalu mencolok? Faktanya perubahan diri Arthur yang mendadak itu diketahui oleh publik. Bahkan mereka semua bergosip dibelakangnya. "Aku tak berubah," jawab Arthur santai. Tidak mungkin bagi pria itu berkata jujur kalau Leo yang menyuruhnya. "Aku tak tahu apa tujuanmu. Yang jelas aku tenang kau normal." Arthur melongo seketika, "Apakah dimatamu aku tidak normal?" "Benar…, Dennis pun juga tidak normal." Banyak gadis cantik diluar sana, kenapa dirinya dikejar seperti hantu? Kalau bukan orang tak normal, lantas orang berpikiran sempit. "Jangan membuatku tertawa, Vania. Aku ini normal." Normal jika aku tertarik padamu, sambung Arthur di dalam hati. Faktanya ia masih menyukai Vania, namun rasa itu harus dikubur lebih dalam lagi. "Lupakan…, aku tak akan waspada lagi kepadamu," kata Vania menepuk bahu pria itu. "Kita menjadi teman sekarang." Hebatnya Vania meskipun dimasa lalu Arthur selalu membuat masalah, tapi dia memaafkan dengan mudah. Menurut gadis itu, manusia tidak luput dari kesalahan. Pada dasarnya, mereka juga bisa berubah untuk jadi lebih baik lagi. "Vania…!" panggil Alice dari jauh karena cukup lama dia berbincang dengan Arthur. "Aku datang!" sahut Vania. "Sampai jumpa lagi, Arthur." Gadis itu berlari menghampiri Vania. Arthur hanya bisa melihat dari jauh. Mereka berdua bukanlah jodoh. Untuk itu, ia akan mencari dambaan gadis lain. Lagi pula, Arthur tak ingin menjadi penyebab malapetaka hancurnya keluarga Petrucci. "Cih…, aku tak percaya kau bisa berubah dalam waktu semalam," sindir Dennis terang-terangan. "Itulah faktanya. Meskipun kau cari celah, aku akan tetap berada di posisiku," sahut Arthur melengos pergi. Pasti ada yang disembunyikan oleh Arthur Dennis percaya tak ada sebab dan akibat. Perubahan mendadak dari pria itu cukup membuatnya curiga. "Kau tak mungkin menyerah begitu saja." Dennis menatap tajam punggung Arthur. Pria itu tahu betul dia, tak akan menyerah dalam bersaing. Dari dulu hingga sekarang, egonya selalu tinggi. "Sialan! Aku harus mencari tahu." Dennis mengepalkan tangan cukup kuat, berdiri di depan tembok pembatas. Nafasnya memburu saat mengingat betapa egonya Arthur. Namun semua pemikirannya teralih pada mobil mewah yang baru saja datang. Seorang pria yang familiar sedang keluar dari benda besi itu. Semua kaum perempuan berteriak histeris, saling kasak-kusuk. Bahkan banyak dari mereka mengabadikan momen tersebut. "Kenapa banyak pria disekitar Vania?" Lawan yang sulit dihadapi adalah pria matang paruh baya itu. Dia pantas menjadi paman Vania, bukan kekasih. Leo pun yang baru sampai bersandar santai di mobil bagian kanan, menatap ke arah Vania yang sedang menuruni tangga. Mata Leo melirik sekilas, lantas bersemirik untuk mengejek Dennis. Lihat, pemuda itu tampak kesal dan memilih pergi dengan emosi yang meluap. "Mau bersaing denganku, jangan harap," gumam Leo merasa menang. Saat mata Leo kembali fokus terhadap Vania, kedua penglihatan mereka bertemu satu sama lain. Vania nampak tercengang, bingung, kikuk dan seketika wajahnya memerah. "Ada apa denganmu?" tanya Alice kaget melihat tingkah temannya itu. "Ada tetanggaku," bisik Vania tanpa beralih pandang. Kenapa Vania baru sadar sekarang? Kalau tetangganya sangat tampan. Kemana saja dia selama ini? Alice tersenyum, memencet tombol hijau yang ada diponsel tanpa sepengetahuan Vania. Apalagi yang dilakukan kalau tidak menghubungi Leo. "Memangnya kenapa kalau ada tetanggamu?" "Aku malu. Kau sudah tahu tentang mimpiku semalam. Bisa-bisanya aku memegang pipi tetanggaku!" pekik Vania tertahan. Leo tersenyum saat mendengar celoteh gadis itu. Ternyata dia tak bisa membedakan antara mimpi dan kenyataan. "Aku harus pergi, lewat jalan lain," kata Vania sambil balik badan. "No…, jalan memutar lebih jauh." Alice tak ingin Leo berubah menjadi iblis jika dirinya tak bisa membujuk Vania. "Tapi aku malu," ujar Vania menundukkan kepala dengan dalam. "Sekarang kita jalan saja." Alice merangkul lengan Vania berjalan menuju ke tempat Leo. Saat mereka berdua melewati Leo, pria itu bersiul. Uh, Vania jadi khawatir dan resah karena tak ingin berjumpa dengan pria itu. "Kau mengabaikanku," kata Leo sambil memasukkan ponsel ke dalam saku. Tak lupa memutuskan panggilan dari Alice. Tak ada respon dari Vania. Karena di abaikan, Leo memblokir langsung langkah kaki mereka berdua. "Bisakah kau menyingkir?" pinta Vania tanpa memandang Leo. "Tidak," jawab pria itu dengan dingin. Sepertinya Leo tak suka diabaikan oleh Vania. Alice harus mencari cara supaya temannya mau bercakap dengan pria itu. "Vania, aku pergi dulu." Dengan seribu langkah kaki, Alice kabur begitu saja. "Alice…!" panggil Vania cukup keras. Sialan teman satu itu, ia susah malah dia kabur. "Masuklah ke dalam mobil!" Leo membuka pintu mobilnya, tapi Vania enggan untuk ikut serta. Lihat pandangan mata semua orang, membuat dirinya merasa kesakitan. Semua yang terjadi semalam hanya mimpi. Toh dia tak tahu sama sekali. Untuk itu, Vania memberanikan diri menatap Leo seperti biasanya. "Aku menolak!" Suara itu cukup keras sehingga menyita perhatian semua orang yang ada di sekitar. Sial! Aku terlalu bersemangat. Itu salahnya karena dia juga tak normal, batin Vania di dalam hati.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN