Baru pertama kali, Vania menginjakkan kaki ke klub malam yang sangat besar dan juga elit. Suara dentuman musik cukup keras membuat semua orang menggila di bawah gemerlapnya lampu cahaya warna-warni.
Vania dan Alice saling bergandengan, membuktikan kalau mereka kikuk. Tapi tidak dengan beberapa teman yang lain.
"Dimana lokasinya?" tanya salah satu teman Alice.
"Ruang kosong dua! VVIP," jawab Alice dengan suara keras tapi tetap kalah dengan musik.
"Alice, kenapa semua orang menatap kita, seolah mangsa."
Benar sekali, para kaum pria memandang Alice dan Vania seolah hewan buruan. Dalam. Benak mereka muncul rencana jahat untuk membuat kedua gadis itu bertekuk lutut.
Saat ada pria yang hendak datang mendekat, ada seorang pria berbadan kekar yang menghadangnya.
"Jangan mengganggu tamu kami!" Suaranya sangat tegas, membuat nyali pria itu menciut.
Sebelum kelompok Alice datang, Michael sudah menyuruh anak buahnya berjaga-jaga, terutama melindungi orangnya.
Untuk itu dia meminta beberapa orang mengamankan mereka dalam perjalanan menuju ke ruang pesta.
"Ini tempatnya!" kata teman Alice.
"Sepertinya iya."
Mereka pun masuk ke dalam ruangan. Di sana sudah ada Michael yang sedang menunggu kedatangan mereka.
"Terlambat lima menit!" kata Michael sedikit kesal.
"Hanya lima menit, Bos," jawab Alice mengajak Vania duduk.
"Kenapa harus klub malam?"
Vania kira mereka makan-makan di restoran bersama.
"Kau belum pernah datang ke tempat ini?" tanya Michael memastikan.
"Sudah, tapi klub kecil. Lagi pula umurku baru delapan belas tahun."
Apakah Vania seorang bayi? Kenapa Leo suka gadis belia seperti dia?
"Untung saja kau sudah punya kartu Tanda penduduk." Michael memberikan beberapa anggur kepada mereka semua.
"Bos…, ini anggur mahal!" seru salah satu dari mereka tak percaya.
"Minum saja, aku yang traktir."
Semuanya tidak sungkan meneguk anggur mahal itu, tapi tidak dengan dua gadis yang masih duduk berdampingan. Mereka enggan meneguk minuman takut mabuk.
"Apakah kau tak mencicipinya?" tanya Vania dengan ragu.
"Tidak! Aku tak ingin mabuk. Kalau mabuk bisa hilang akal," jawab Alice bergidik ngeri.
Michael melirik sekilas, "Kalian tak menghargaiku jika tidak minum." Pria itu memang kaum sesat, meminta dua gadis polos untuk minum.
"Tapi, Bos. Kami tak bisa melakukannya," tolak Alice dengan lembut.
"Satu gelas saja. Untuk menghargaiku."
Kedua gadis itu saling pandang satu sama lain, akhirnya mengangguk.
Pikir mereka, satu gelas anggur tidak akan membuat mabuk.
Setelah meneguk minuman satu gelas sampai tandas, keduanya menutup mata karena reaksi alkohol yang ada di dalam mulut. Kadar alkohol sangat tinggi hingga membuat kepala pusing.
"Bagus sekali…! Minumlah lagi…!" pinta Michael menyodorkan gelas, tapi ditolak oleh Alice. Raut wajah pria itu tampak kecewa, tapi ia tetap berusaha membujuk kedua gadis itu.
Sayang sekali tak berhasil. Vania yang melihat tingkah Michael dirasa kurang sopan langsung bangkit dan menceramahi nya.
"Tidak baik memaksa orang." Wajahnya sudah merah, bahkan berdiri pun tidak tegak.
Michael tersenyum lalu segera menghubungi Leo. Ia ingin memberikan adegan live kepadanya.
Sementara itu, Leo yang masih berada di dalam mobil menuju ke klub malam terlihat gelisah.
Apalagi ada panggilan video call dari Michael, rasa gelisah kian menerjang.
Pria itu terkejut saat melihat Vania berbicara tak jelas karena mabuk.
"Ben…, cepat sedikit!"
Untung saja sudah sampai. Mesin belum mati, Leo bergegas keluar dengan berlari menuju ke ruang pesta itu.
Tanpa pikir panjang, Leo mendobrak pintu. Semua penghuni ruangan kaget, tapi sedetik kemudian mereka melakukan aktivitasnya lagi.
"Cepat juga," sambut Michael tersenyum semirik.
Leo tak menggubris, langsung menarik kerah leher Michael supaya menjauh dari Vania.
"Huh…, paman…!" tunjuk Vania. "Pasti aku bermimpi…!" ujar gadis itu sambil mengusap kedua matanya.
Alice yang masih sadar langsung menyingkir menjauh, begitu juga dengan Michael. Pria itu menggiring bawahannya menuju ke tempat lain.
Suasana tampak sepi, membuat Vania kebingungan.
"Mereka sudah pulang." Pandangan mata gadis itu tidak fokus, artinya dia benar-benar mabuk.
"Berapa banyak yang kau minum?"
"Satu…"
Dimasa depan nanti, Leo tak akan membiarkan Vania minum lagi.
Aku harus menghukum Michael.
"Kita pulang sekarang."
Wajah Vania mendadak jadi lesu, dan memilih duduk dengan tenang.
"Apakah kau tak mau pulang?" tanya Leo sambil mendekat.
"Aku rindu mereka," kata Vania meneteskan air mata.
Hati Leo mendadak tertusuk kesakitan melihat gadisnya bersedih, lalu memeluknya dengan erat.
"Siapa yang kau rindukan, hem?"
"Ayah dan ibuku?"
Dibalik keceriaan Vania, jujur dalam lubuk hatinya di mendambakan kasih sayang orang tua lengkap.
"Kau bisa berkeluh kesah kepadaku, Vania," kata Leo dengan lembut.
Vania mendorong tubuh Leo dengan pelan, "Yang benar saja, kau seperti paman bagiku."
Leo ingin marah, tapi ditahan. Bisa-bisanya Vania memanggilnya paman lagi dan lagi.
"Tapi, kau sangat tampan."
Seperti berada di atas awan, Leo langsung tersenyum sumringah.
"Apakah kau terpesona padaku?" tanya Leo dengan wajah berbinar.
"Hampir…, kurang sedikit."
Ternyata usahanya masih kurang untuk memiliki hati Vania.
"Aku akan berusaha keras."
Pria itu menyentuh lembut pipi Vania, membelainya dengan penuh kasih sayang.
Pipi bersemu merah dengan wajah yang ayu. Kenapa Vania begitu mempesona? Dia seperti bunga bermekaran.
"Vania, kau milikku."
"Bukan…, tubuhku adalah milikku sendiri."
Leo tidak marah meski Vania berkata jujur saat mabuk, malah hatinya menghangat.
"Suatu hari nanti, kau akan jadi milikku."
Leo memeluk Vania, mengecup bagian tengkuk belakangnya. Tak lupa ia menghirup aroma tubuh gadis itu dengan kuat.
"Tidurlah…, aku akan menjagamu."
Mata Vania perlahan mulai menutup. Perasaan hangat di pelukan seseorang begitu candu. Dia tak memiliki kewaspadaan sekalipun.
"Ben," panggil Leo. Ben muncul dari balik pintu. "Bawa Alice kemari."
Ben segera menemui Alice. Tidak lama kemudian, dia datang bersama gadis itu.
"Kau ikut aku ke hotel. Kabari Raul kalau Vania menginap bersamamu. Dan pagi-pagi buta besok, datang ke kamar sesuai instruksi dari Ben."
Alice mengangguk, di antar oleh Ben keluar ruangan. Namun tiba-tiba langkah kakinya berhenti, lalu menoleh ke arah Vania.
"Tuanku tidak akan melakukan apapun diluar batas. Karena beliau menghargai dan menghormati."
Alice mengangguk dengan lega, percaya atas ucapan Ben.
Setelah Alice pergi, Leo menggendong Vania ala bridal style menuju ke dalam mobil. Ben pun masuk selalu menyuruh anak buahnya mengantar Alice ke hotel terlebih dulu.
"Apakah tuan benar-benar menginap?"
"Tentu saja," jawab Leo pasti.
Ben mengangguk segera menyalakan mesin mobil. Malam ini akan jadi malam yang sangat istimewa bagi Leo.
Dimana dia akan tidur seranjang dengan Vania, memeluknya dengan erat seperti sepasang kekasih. Tidak, sepasang suami istri.
Ben juga merasa senang melihat Leo sangat bahagia dengan adanya Vania di sisinya.
Semoga Nona Vania mulai jatuh hati pada tuan.
Sepanjang perjalanan menuju hotel, Leo t*i henti-henti menatap lembut wajah gadis itu. Dari mata turun ke hidung lalu ke bibir merah menggoda. Dikecupnya bibir itu dengan lembut, seolah makanan yang sangat enak.
"Aku tak akan membiarkanmu pergi," gumam Leo mengeratkan pelukannya.