Dapatkan seseorang pergi setelah diacuhkan atau diusir banyak kali? Tergantung orangnya. Ada yang tebal muka, menolak keras kalau di usir.
Seperti Dennis yang masih diam di dalam ruangan. Dia menunggu dengan santai, seolah rumahnya sendiri.
Waktu menunggu dihabiskan untuk melihat foto Vania. Sedari kecil, gadis itu memang sangat cantik. Tidak heran banyak pria berkeliaran di sekitarnya.
Lama menatap beberapa kenangan Vania, Dennis tidak menyadari Raul sudah masuk ke dalam ruangan itu.
"Dia cantik, bukan?" celoteh pria itu tanpa rasa malu.
"Benar…, Eh!" Dennis balik badan, lalu langsung duduk dengan sopan.
"Vania marah kepadaku. Sudah lama kami tidak cekcok."
Terkadang Raul butuh teman curhat juga. Dia kan tidak punya sahabat, karena pria itu memilih kerja keras tanpa buang waktu.
"Apakah kakak lelah?"
"Omong kosong! Vania adalah bagian dari hidupku."
Ah, kenapa dirinya jadi mengeluh pada orang asing yang baru saja dikenaldikenal?
"Katakan sejujurnya, kau mencintai adikku tidak?"
Dennis menundukkan kepala karena awal mula tertarik dengan Vania karena Arthur. Kemudian muncul rasa penasaran. Dan sekarang masih tahap itu.
"Kalau kau tidak mencintai Vania, jangan mendekatinya," peringatan Raul sambil menghela nafas kasar.
Dennis tak berani mengangkat kepalanya sendiri. Dia butuh waktu untuk mencerna perasaannya.
"Jika aku mencintainya, apakah aku boleh dekat dengan Vania?" tanya Dennis tanpa keraguan
Ternyata Raul adalah sosok yang baik. Wajah marahnya saja yang seram, tapi hatinya selembut sutra.
"Tergantung. Lagi pula kau adalah b******k," kata Raul menatap Dennis tajam.
Apa yang dikatakan Raul benar adanya, kalau Dennis adalah pria b******k. Di USA, dia bermain dengan banyak gadis atau wanita.
Tidak hanya itu, melakukan one night stand merupakan makanan setiap hari baginya.
"Benar sekali," jawab Dennis tidak menyembunyikan apapun.
"Dia adikku satu-satunya, dan aku tak mau menyerahkan kepada pria sepertimu."
Begitulah Raul, selalu melindungi Vania. "Kau boleh pergi dari rumahku. Jika kau bertobat, maka aku akan mempertimbangkannya."
Masa lalu seseorang bukanlah sandungan besar untuk Raul. Kalau Vania menyukai pria itu, maka dia akan menyetujui segala keputusan yang diambil.
Dennis pun menggeser kursinya, berjalan keluar rumah.
Awal mula niat ingin memiliki Vania karena ingin menjelajah setiap gadis. Namun entah sekarang dia merasa kotor.
Setelah Dennis pergi, Ben keluar rumah. Pria tua itu menatap ke arah pemuda yang sedang mengendarai mogenya.
"Pria seperti itu tak pantas menjadi saingan tuan."
Ben tahu masa lalu Dennis yang rumit seperti benang terlilit satu sama lain. Entah berapa banyak gadis yang sudah dijelajahi nya.
Sementara itu, Leo dan Vania menjadi pusat perhatian pengunjung restoran. Dari mereka makan hingga hidangan habis pun tetap dipandang.
Keduanya tampak serasi, seperti pasangan romantis. Padahal umur Leo berjarak sepuluh tahun, tapi tetap saja terlihat cocok bersanding dengan Vania.
"Aku akan membayarnya," final Leo menjentikkan jari. Pelayan datang mendekat, pria itu pun memberinya seratus dolar.
"Ambil kembaliannya."
Adegan itu sangat berdamage sekali, membuat para ciwi-ciwi histeris dibuatnya. Sumpah, Vania menyesal makan dengan Leo.
Mata gadis itu pun mencari keberadaan dua temannya.
Ternyata oh ternyata, mereka sudah pergi terlebih dahulu.
"Sialan! Aku kesal dengan mereka!" geram Vania sambil menutup mulut dengan tangan.
"Terimakasih," kata pelayan sangat girang.
Karena gadis itu tak ingin membuat masalah, lantas ia bangkit begitu saja dari kursi. Jujur ia lelah berdebat atau terlibat dengan Leo atau pun Dennis.
"Apakah kau harus mengikutiku seperti ini?" tanya Vania sambil balik badan.
Leo menyambut dengan senyuman, "Sepertinya kau terlihat risih." Pria itu menatap ke arah langit, berjalan mendekati Vania. "Kau seperti bintang, tak bisa digapai."
Apa maksud perkataan nya? Dia seperti menggombal, batin Vania tidak mengerti sama sekali.
Kalau dilihat, terkadang Leo terlihat kesepian. seperti sekarang, matanya tampak kosong, seolah hatinya minta di isi.
"Nikmati malam indahmu, Vania." Leo pun berjalan terlebih dulu, meninggalkan Vania yang masih melongo.
Jadi, dia ditinggal sendirian begitu saja. "Kenapa aku jadi mengharapkan sesuatu."
Terkadang gadis itu tidak mengerti jalan pikiran tetangganya itu. Kadang dingin, hangat, cuek, seenaknya sendiri dan kejam.
"Sifat mana dirimu sebenarnya, Leo?"
Vania pun berjalan sambil memikirkan kejadian hari ini. Dimulai dari rumah sakit, hingga perkara Dennis dan juga pertengkaran dengan Raul.
Kejadian-kejadian yang tak pernah terjadi dalam hidupnya. Dulu, dia baik-baik saja, menjalani sebagai mahasiswa seperti gadis pada umumnya.
Sekarang, semenjak Leo menjadi tetangga gadis itu, satu persatu beberapa orang berurusan dengannya.
"Apa dia membawa malapetaka dalam hidupku?"
Semakin dipikir pun, Vania semakin tersenyum tanpa alasan. Takdir hidup manusia sudah digariskan. Tentu kedatangan Leo adalah takdir dalam hidupnya.
"Aku tak boleh berburuk sangka kepada Tuhan."
Vania segera membuang pikiran negatif itu, memilih segera bergegas menuju rumah. Untuk Raul, pasti dia sedang menunggu kedatangannya.
Benar saja, Raul mondar mandir di depan rumah, menanti kedatangan Vania dengan raut wajah gelisah.
"Dia sangat sayang padaku," ujar Vania merasa terharu.
Gadis itu berjalan dengan cepat, "Raul…!" teriaknya keras.
Langsung menoleh seketa, tanpa suara dia berlari memeluk Vania dengan erat.
"Akhirnya kau kembali juga. Dari mana saja? Tidak membawa ponsel, dan juga tidak memakai baju hangat."
Vania diam tak menjawab. Raul mengira gadis itu masih marah padanya.
"Maafkan aku, Vania. Itu karena aku sayang padamu."
"Aku tahu," Jawab Vania melepas pelukannya. "Emosi itu hanya sesaat. Aku tak bisa marah padamu terlalu lama."
Oh, hati Raul langsung luluh lantah tak berdaya. Mereka berdua adik kakak saling menguatkan satu sama lain. Sungguh pemandangan yang indah di mata Leo.
"Apakah aku terlalu lembut untuk hari ini?"
Semakin hari, Leo merasa dirinya berubah. Pola pikiran dan hatinya. Dia seperti manusia saat bersama dengan Vania.
"Aku rasa, kehangatan mulai datang padaku." Leo masih berdiri agak jauh untuk mengamati interaksi dari saudara itu. Mereka terlihat sangat menyayangi satu sama lain.
Setelah keduanya masuk ke dalam rumah, pria itu pun juga kembali. Pintu dibuka oleh Ben yang menanti kedatangan tuannya.
"Ada apa?" tanya Leo sambil berjalan masuk.
"Berkas tentang Tuan Muda Durent ada di atas meja kerja, Tuan."
Leo mengangguk, berjalan menuju ke ruang kerjanya. Berkas yang ingin diketahui, terpampang nyata di atas meja.
Pria itu pun mulai membaca berkas satu persatu. "Pria yang suka bermain-main."
Bukti itu bisa dijadikan bumerang untuk Dennis nanti.
"Kau simpan berkas ini. Cari terus data mengenai keluarga itu. Cepat atau lambat, mereka akan berada di bawah kendaliku," kata Leo tanpa menoleh sama sekali.
Ben yang berada di belakangnya pun mengangguk patuh. Sebelum pergi, ia pun memberikan berkas lain.
"Ini berkas mengenai kecelakan orang tua Nona Vania. Anda jangan kecewa karena marga keluarga."
Ben pun undur diri, memberi waktu kepada Leo sendirian. Berkas yang sudah ditaruh di atas meja oleh Ben dilihat cukup lama.
Faktanya, Leo tahu kejadian beberapa tahun lalu meski hanya menebak saja.
"Aku merasa menyesal menjadi Zang," gumam Leo meraih berkas itu.
Meskipun pria itu bukan pelaku utama kecelakaan itu, tapi karena marga yang berdampingan dengan namannya, besar kemungkinan jika Vania tahu kebenaran itu pasti akan memiliki perasaan benci.
"Si tua k*****t itu benar-benar membuat jalan hidupku tak mulus!" geram Leo meremas berkas yang ada ditangannya.