28. Tetanggaku Marah Besar

1105 Kata
Vania berlari sekuat tenaga karena merasa ada sesuatu yang mengikutinya. Nafasnya terengah-engah, sesekali menengok ke arah belakang. Keadaan sunyi, senyap dan petang. Malam hari yang menakutkan itu seolah melawan dirinya. Gadis itu pun melanjutkan lari, hingga sampai masuk jauh ke dalam hutan. Dia bersembunyi dibalik pohon besar. Ketakutannya kian meningkat saat mendengar desisan ular yang semakin dekat. Vania lari lagi untuk menyelamatkan diri. Namun siapa sangka ular itu sudah berada di depannya. Dia mundur beberapa langkah ke belakang, sampai kakinya tidak sengaja tersandung batu. Dia terus mundur ke belakang sambil menyeret kakinya. Yang lebih mengejutkan lagi, ular itu bertambah besar, seolah hendak memangsa dirinya. Mata merah yang membuat merinding seluruh tubuh membuat Vania berteriak ketakutan. "Tidak…! Jangan…!" Seketika itu pula, Vania langsung bangun dalam tidurnya. Seluruh tubuh dibanjiri keringat. Nafasnya memburu tanda henti hingga mendengar suara jantung sendiri berpacu keras. "Mimpi buruk," gumam Vania sambil meraih gelas berisi air yang ada di atas nakas. Baru kali ini, gadis itu mimpi menakutkan. Bagaimana bisa seekor ular mendadak jadi besar? Atau mungkin karena rasa bersalah terhadap Leo. Jujur setelah melakukan perbuatan kemarin malam, Vania merasa tidak enak hati. Sepanjang berjalan pulang, gadis itu terus memikirkan kejadian tersebut tanpa henti. Terlihat jelas kalau Leo benar-benar marah padanya. "Apa aku harus minta maaf padanya." Sepertinya ia sudah keterlaluan dengan sikapnya semalam. Untuk itu, Vania berniat minta maaf kepada Leo. "Sialan! Sudah siang!" Gadis itu bergegas menuju ke kamar mandi, melakukan aktivitas paginya. "Vania…! Keluar!" teriak Raul dari ruang makan. Teriakan Raul tentu didengar oleh Leo. Pria itu sedang berdiri di depan jendela kamar dengan gorden terbuka. Saat Vania membuka jendela rumahnya, kedua mata mereka bertemu. Gadis itu tersenyum canggung sambil melambaikan tangan, tapi Leo menanggapi dengan sangat dingin, segera menutup gorden jendela itu. "Dia marah padaku," kata Vania terlihat kecewa. Ia keluar kamar dengan wajah lesu, seolah energinya tersedot oleh sesuatu. "Ada apa denganmu?" tanya Raul sambil menyodorkan segelas s**u. "Aku malas berdebat." Entah kenapa dirinya merasa lesu. Tak bertenaga sama sekali. "Kau berangkat!" Vania melengos begitu saja tanpa pamit dengan Raul. "Hei…, kau adik tak sopan!" Vania tidak peduli dengan teriakan Raul karena pikirannya terletak pada Leo. "Huh…, udara dingin. Aku malas kembali ke rumah mengambil jaket," ujar Vania memeluk dirinya sendiri. Gadis itu pun berjalan terus menatap rumah Leo. Selang beberapa detik, ada pemberitahuan pesan. Hari itu kelas dibatalkan, jadi dia tidak ada kuliah. Karena kelas batal, Vania memberanikan diri berkunjung ke rumah Leo. Satu ketikan pintu, dua ketukan, hingga beberapa kali, tak ada yang membuka pintu itu sama sekali. "Paman…!" panggil Vania. "Hais…, aku harus memanggil namanya." Vania menarik nafas panjang, "Leo…! Aku tahu kau dalam!" Memang benar Leo berada di dalam rumah. Pria itu mencegah Ben untuk membuka pintu. "Tapi, Tuan. Udara di luar sangat dingin. Kasihan nona." "Jika kau membukanya, lebih baik kembali ke china," ancam Leo. Pria itu melewati Ben, lalu masuk ke dalam kamar dengan membanting pintu cukup keras. Suara ketukan pintu pun terus berlanjut hingga beberapa kali. "Tuan…," panggil Pelayan dengan rasa takut. "Ini sudah lima belas menit." "Jangan membukanya. Ini peringatan." Sebenarnya Ben tidak tega, berharap Leo mau membuka pintu untuk Vania. Tidak ada yang bisa dilakukan kecuali menuruti perintah sang tuan. Akhirnya Ben memilih pergi dan membiarkan Vania terus mengetuk pintu beberapa kali. Selang satu jam, Vania masih kukuh untuk menemui Leo. Gadis itu merasa bersalah karena kejadian semalam. "Dia benar-benar marah padaku," gumam Vania. Gadis itu tersentak saat mendengar suara pintu ditutup keras. Ternyata Raul keluar rumah untuk bekerja. "Aku harus bersembunyi." Vania pun mencari tempat aman sampai Raul benar-benar pergi. Dia merasa lega saat tidak ketahuan. Namun bukan berarti Tuhan bertindak baik padanya. Tiba-tiba saja hujan turun tanpa peringatan sama sekali. Itu karena Vania terlalu fokus membuat Leo keluar dari rumahnya hingga tidak menyadari mendung yang sudah berkumpul di langit. "Kenapa hujan di saat seperti ini!" geram Vania tertahan. Gadis itu keluar dari persembunyiannya, mendongak ke atas, tepat ke kamar Leo. "Buka pintunya! Aku perlu bicara padamu!" teriak gadis itu tanpa rasa malu. Sayangnya Leo tetap tidak mau membuka pintu. Akhirnya Vania memilih untuk pulang dengan tangan kosong. Sementara itu, Ben yang melihat kepergian Vania merasa tidak tega, tapi tak bisa berbuat banyak. Untuk Leo sendiri sedang kesal, acuh dan tidak ingin bicara atau terlibat dengan Vania. Itu keinginan pria tersebut. Sayang sekali hatinya berkata lain, dia tidak bisa untuk menolak tak bertemu dengan Vania. Saat memutuskan hendak membuka pintu, Ben angkat bicara. "Nona sudah pulang." Kekecewaan terlihat jelas di wajah Leo. Tapi ia tak berkata apapun. "Jangan ganggu sebelum aku memanggilmu." Seperti biasa, jika sedang kesal Leo selalu saja melampiaskan diri ke pekerjaan. Dia malas pergi ke kantor, terlibat beberapa orang. Makanya lebih suka mengurung diri. Untuk Vania sendiri, dia pulang ke rumah dalam kondisi basah kuyup. Kepalanya pusing dan tubuh nya terasa berat. Berjalan saja sempoyongan. Itu karena dia terlalu lama di luar tanpa penghangat. Ditambah lagi kehujanan. "Aku ingin tidur," gumam Vania menyibakkan selimut lalu memilih tidur tanpa berganti pakaian. Kepalanya sangat pusing, sehingga bergerak saja susah. Yang dilakukan adalah tidur untuk menghilangkan rasa pusing tersebut. Sayangnya bukan malah membaik, tapi kain memburuk. Gadis itu meracau kedinginan, terus menggigil dengan bibir pucat nya. Suara dering telepon pun terus berbunyi, dan Vania mengabaikannya. Ia enggan membuka mata, lebih memilih menenggelamkan diri di dalam selimut tebal. Keadaan itu berlangsung sama sampai matahari terbenam. Raul pun kembali membawa beberapa makanan ringan. Melihat kondisi rumah gelap, ia yakin kalau Vania belum pulang. "Aku akan menunggunya," kata Raul sambil menonton televisi. Hingga larut malam, Vania tidak kunjung kembali. Raul pun khawatir, lalu menghubungi Alice. Jawaban gadis itu diluar dugaan, bahwa Vania tidak bersamanya sejak pagi. "Kemana perginya dia?" Raul menghubungi Vania. Ternyata suara ponsel berada di kamar. "Dia sudah berada di rumah." Raul masuk ke dalam kamar Vania. "Aku punya makanan kesukaanmu." Tidak ada respon dari Vania. Mata Raul tanpa sengaja melihat tas basah. Segera mungkin dia menyibakkan selimut. Betapa terkejutnya Raul begitu melihat Vania meringkuk dalam kondisi pucat pasi. "Vania…!" teriak Raul cukup keras. Gadis itu tak sadarkan diri sehingga membuatnya panik. Dia pun membawa keluar rumah untuk pergi ke rumah sakit. Teriakan Raul jelas didengar oleh Leo. Pria itu bergegas untuk melihat melalui jendela. Wajahnya langsung syok ketika melihat Vania digendong keluar rumah. "Ben…!" panggil Leo sambil menuruni anak tangga. Ben yang sedang memilah berkas di ruang tamu langsung berdiri. "Ada apa, Tuan?" "Pergi ke depan! Bantu Raul! Sekarang!" teriak Leo cukup keras. Ben bergegas keluar rumah, melihat Raul sedang menggendong Vania yang terlihat pucat. "Tuan…!" panggil Ben. Raul acuh dan memilih segera pergi. "Saya akan membantu Anda ke rumah sakit." Apakah Raul mau menerima tawaran dari tetangganya itu? Hanya dia sendiri yang akan menjawab pertanyaan tersebut.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN