43.Niat Buruk

1104 Kata
Bosan, itulah yang dirasakan Vania sekarang. Dari kampus sampai jalan ke kafe, dia lakukan sendirian. Karena temannya hanya ada Alice seorang. Vania tidak memiliki banyak teman. Hanya beberapa saja, dan sibuk dengan urusan masing-masing. "Apa bos tidak datang?" tanya Vania kepada salah satu temannya. "Sudah dua hari bos tidak datang. Alice yang tahu keberadaannya." Alice tidak masuk kerja. Vania pun tidak begitu dekat dengan karyawan yang lain. "Aku akan menutup kafe karena sudah sepi pelanggan," kata Vania bergegas pergi. Meski malam belum larut, tapi tak banyak orang berkunjung. Semua temannya juga menyetujui usul dari gadis itu. "Kami pulang duluan!" pamit mereka bersamaan. Vania mengangguk, segera mengunci pintu kafe. Suasana lingkungan yang sepi membuat gadis itu mengingat kejadian semalam. "Pasti hanya ilusi ku saja." Gadis itu berjalan seperti biasa, kali ini tidak melewati jalur yang sepi orang. "Vania…!" panggil Raul sambil melambaikan tangan. Dia membawa sesuatu di tas, menyita perhatian gadis itu. "Apa itu?" "Makanan. Aku tahu kau pasti lapar," jawab Raul menunjukkan isi tas itu. "Kita pulang sekarang!" ajak Vania dengan girang. Kebetulan sekali ia sangat lapar, dan Raul membawa makanan. "Kemana Alice?" Biasanya sang adik selalu pergi bersama dengan gadis itu. "Dia sakit. Besok aku akan menjenguknya." Kebetulan sekali besok kampus libur, sehingga dia bisa meluangkan waktu untuk Alice. Raul menggandeng lengan Vania. "Besok aku akan mengantarmu lagi ke halte." "Ayolah…, Raul. Aku bukan anak kecil. Apa yang aku rasakan hanya ilusi saja." "Apa kau yakin sepenuhnya?" "Yakin, karena hanya terjadi kemarin malam saja. Mungkin aku lelah." "Baiklah kalau begitu, aku bisa tenang," kata Raul bernafas lega. Mereka berdua berjalan melewati beberapa gang hingga sampai di kompleks perumahan. Sampai dirumah, Vania bergegas menuju ke kamar mandi. "Siapkan makanannya! Aku akan mengeksekusi!" Raul tersenyum, hendak menyiapkan hidangan. Tapi ada seseorang yang menghubunginya. "Kenapa kepala proyek menghubungiku setelah pulang kerja?" Untuk menunjukkan rasa hormat, Raul pun mengangkat ponsel itu. "Halo, ada apa tuan?" Aku ada perlu denganmu. Datanglah malam ini ke rumahku, kaga kepala proyek di ujung sana. Ingin rasanya Raul mengumpat, tapi tidak bisa karena butuh kerjaan tersebut. "Baik, aku akan datang." Baru juga sampai, Raul harus pamit ke Vania. Mana ponsel dimatikan sepihak. Pria itu sangat jengkel dengan tingkah kepala proyek itu. "Van," panggil Raul saat melihat Vania sudah keluar dari kamar mandi. "Ada apa?" jawabnya sambil menggeser kursi. "Aku akan keluar sebentar. Kau dirumah saja." "Kenapa tidak mengajakku?" "Kepala proyek memintaku datang berkunjung ke rumahnya." Vania mendesah beberapa kali, "Baiklah…." Lagi pula Raul adalah kepala rumah tangga saat ini. Pasti sibuk mengurus kerjaan. "Maafkan aku karena membuatmu makan malam sendirian." Vania bukan anak kecil yang harus selalu ditemani. "Pergi sana!" usir gadis itu dengan raut wajah masam. Setelah Raul pergi, gadis itu masuk ke dalam kamar. Jujur, ia merasa hari ini berjalan lama. Entah kenapa pikirannya melayang pada Leo. "Bisa-bisanya aku mengingat pria itu." Namun pikiran tidak sesuai dengan hati, karena Vania berjalan menuju ke jendela kaca. Tujuannya adalah mengintip Leo. "Lampunya belum nyala. Berarti dia masih kerja." Vania menatap kamar Leo dengan cukup lekat. Beberapa hari lalu, sang tetangga masih mengusiknya. Sekarang hilang tanpa jejak sama sekali. "Aku merindukannya," gumam Vania tanpa sadar. Tidak lama kemudian, ia menggelengkan kepala karena terkejut dengan ucapan barusan. "Gila!" teriaknya memenuhi ruangan. Lantas, kemana Leo pergi? Pria itu berada makam. Dia terdiam cukup lama di depan gundukan tanah dengan nisan bertulis Vanya. "Aku sangat marah karena kau tidak pernah jujur padaku sama sekali." Pria itu menatap nisan cukup lama. Tidak ada tangis ataupun wajah sendu. Yang ada hanya ekspresi dingin. "Restui hubunganku dengan keponakanmu." Leo ingin memiliki Vania, baik tubuh maupun hatinya. Katakanlah dia gila, tapi tidak apa. Semua dilakukan untuk kebahagiaannya. Benar dia egois, namun perlu diketahui, bahwa Leo selalu mempertimbangkan perasaan Vania. Pria tersebut akan membuat Vania jatuh cinta padanya dengan berbagai cara. Setelah itu mengikat dan merengkuhnya. "Kita pergi, Ben." Cukup untuk malam ini. Sudah waktunya bagi Leo untuk menikmati wajah Vania dari jauh. Ia pun berjalan keluar makam diikuti Ben dari belakang. Sampai di mobil, seseorang yang tidak terduga muncul. "Apa yang dilakukan Tuan Zang di makam ini?" Dia adalah Edgar Lim, yang baru saja berkunjung ke makam saudaranya. "Bukan urusanmu," jawab Leo tegas. Ben segera membuka pintu mobil. "Saya harap, Tuan mampir ke pesta yang saya selenggarakan." Edgar menyodorkan undangan pesta. Kebetulan tempat pesta di adakan di klub milik Michael. "Aku akan datang," kata Leo sambil masuk mobil. Benda besi itu pun berjalan menjauh. "Datang saja. Aku akan menunjukkan sesuatu padamu." Edgar pun menghubungi seseorang, "Target akan datang. Siapkan segalanya. Pria itu terus menatap kepergian mobil Leo yang semakin jauh. Sementara itu, di dalam mobil Leo menatap undangan tersebut. "Apakah tuan akan datang ke pesta itu?" Ben dapat melihat kalau niat Edgar sangat buruk. "Aku ingin melihat apa yang dilakukan bocah itu." Leo tersenyum semirik, "Ben, bagaimana dengan berkas milik Lim?" "Saya sudah mendapatkan semuanya, termasuk berkas beberapa orang yang melawan anda." "Ck…, aku semakin tidak sabar membuat mereka memohon ampun dikakiku." Ben meraih berkas yang ada di sampingnya untuk diserahkan kepada Leo. Dengan senang hati, dia membaca selembar demi selembar kertas yang ada di tangannya. "Ke klub milik Michael!" "Baik, Tuan." Mobil itu balik arah karena tujuan dirubah. Entah apa nanti yang didiskusikan oleh Leo bersama Michael, Ben hanya melaksanakan perintah. Seperti biasa, sampai di klub Leo berjalan melewati jalur rahasia. Langkah kakinya mengarah ke ruangan Michael. Saat membuka pintu ruangan, Leo melihat Michael sedang b******u mesra dengan seseorang. Wajah pria itu tampak datar, sambil duduk dengan tenang. "Semakin gila," ejek Leo membuat kedua sejoli itu kaget. Wanita itu langsung pergi meninggalkan Michael begitu saja. "L-Leo…," panggil Michael salah tingkah. "Lupakan kejadian tadi." Dia sangat malu karena kepergok oleh orang hebat seperti Leo. "Basuh tubuhmu! Kau membuatku jijik." Tanpa suara Michael pun pergi menuju ke kamar mandi. Ia sangat frustasi karena Leo datang tanpa diundang. "Sialan! Kesenanganku harus berakhir. Saat hari-hari indahnya damai, datang bom waktu siap meledak. Ia pikir kalau menjual kafe, pasti Leo akan melepaskannya. Faktanya tidak, karena semua ekspektasi tidak seindah bayangannya. Tidak ingin membuat Leo menunggu, Michael membasuh kasar wajahnya. Satu hal yang perlu diingat jika ingin selamat, yaitu memasang wajah tersenyum. Karena sudah berlatih ekspresi wajah, Michael pun keluar dari kamar mandi. Dia kaget melihat Ben yang berdiri di depan pintu. "Terlalu lama membuang waktu." Astaga…, anak buah dan majikan sama-sama menyebalkan. Kapan dirinya bisa lepas dari cengkraman iblis berkedok manusia itu? Jik boleh waktu berputar kembali, pria itu ingin menghindar pertemuannya dengan Leo. Tuhan…! Apa salahku? batin Michael tersenyum palsu saat menatap wajah Leo yang datar. "Kau membuatku menunggu. Haruskah aku menghukummu?" Sumpah, wajah Michael langsung pias. Kakinya mendadak lemas tidak bertenaga. Meskipun lolos dari beberapa hukuman, tapi tetap saja ia merasa ketakutan.
Bacaan gratis untuk pengguna baru
Pindai untuk mengunduh app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Penulis
  • chap_listDaftar Isi
  • likeTAMBAHKAN