***
"Glenn, antar aku ke kantor ya. Aku malas menyetir," kata Sein, melirik pada adiknya sambil mengangkat serbet ke arah bibirnya, mengusap lembut sisa-sisa makanan di sekitarnya.
"Sama sopir saja, soalnya aku buru-buru, ada urusan. Penting," Glenn menolak dengan tegas. Pemuda itu tidak berbohong. Sebelum sarapan tadi, dia dihubungi oleh pamannya, Lucas, yang menyuruhnya segera datang ke markas pria itu. Glenn belum tahu apa yang ingin Lucas bicarakan dengannya.
"Bukankah kelasmu siang, Nak?" tanya Nick, menatap serius pada cucunya.
"Ya, betul, Grandpa. Aku ke kampus nanti siang. Pagi ini, aku mau ke markas TDB, diminta oleh Uncle Lucas. Katanya penting," jawab Glenn dengan jujur.
Nick mengangguk pelan sebelum mengalihkan pandangannya pada Sein. "Ya sudah, sayang. Kenapa tidak pergi bersama Stefan saja? Bukankah kalian bekerja di tempat yang sama?" tanyanya, menatap bergantian antara kedua cucunya, Stefan dan Sein.
Sein tersenyum. "Iya, Grandpa. Aku akan berangkat sama dia saja," balasnya. Dia enggan menolak, malas mencari alasan atas penolakannya ketika mereka bertanya lebih lanjut.
Setelah itu, Sein berdiri dari duduknya. Sebelum meninggalkan ruang makan, ia tak lupa berpamitan pada kedua kakek dan neneknya serta orang tuanya.
"Stefan..." panggil Leon.
Stefan menghentikan langkahnya saat mendengar panggilan itu. Dia membalik tubuh melihat sang Ayah. Sein juga ikut berhenti dan menatap Ayahnya.
"Dad mau bicara sebentar sama kamu," ujar Leon setelah menghentikan langkah di hadapan mereka. Ia melirik sebentar pada Sein.
Stefan mengangguk pelan lalu beralih menatap Sein. “Sekalian nyalakan mobil,” ucapnya seraya menyerahkan kunci mobilnya pada wanita itu.
Tanpa banyak bicara, Sein mengambil kunci tersebut dan segera meninggalkan mereka menuju mobil yang terparkir di depan teras yang luas.
Setelah Sein pergi, sejenak Leon melirik ke sekitar, memastikan tak ada yang mendengar obrolannya dengan Stefan. Kemudian, Leon menatap fokus pada pria itu. “Apa yang terjadi semalam di klub?” tanya Leon, serius.
Stefan terdiam sejenak, tidak langsung menjawab. Dia menatap terpaku pada Ayahnya, memahami maksud dari pertanyaan tersebut. Setelah menghela napas pelan, Stefan berkata, “Aku merasa perbuatan pria itu terhadap Sein tidak pantas. Jadi… aku refleks memukulnya.”
Leon terdiam, memperhatikan Stefan dalam diam.
“Jika tindakanku semalam berpengaruh pada urusan pekerjaan, nanti aku akan minta maaf padanya,” lanjut Stefan. Cukup sadar diri. Bagaimanapun, Ayah Kai adalah salah satu kolega bisnis terbaik Leon.
Leon menggelengkan kepala. “Tidak perlu. Dad tidak menyuruhmu untuk itu. Dad hanya ingin memastikan bagaimana kronologinya saja,” katanya.
Pagi ini, Leon mendapat kabar dari Ayah Kai. Pria itu mengaduhkan tindakan tidak menyenangkan Stefan terhadap putranya semalam di klub.
Leon tidak banyak bicara, bahkan tidak juga meminta maaf kepada Ayah Kai atas perbuatan putranya— Stefan, karena dia harus memastikan terlebih dahulu bagaimana kronologi sebenarnya.
Leon sangat mengerti karakter putra angkatnya itu— Stefan tidak akan berbuat kasar jika Kai tidak yang melampaui batas.
Setelah itu, Leon menyuruh anak buahnya untuk mendapatkan rekaman CCTV di klub semalam. Setelah melihat sendiri bagaimana kejadian tersebut berlangsung, Leon hanya tersenyum dalam hati.
Dia tahu, pada saat itu kesabaran Stefan sudah pada puncaknya, sehingga pria itu tak segan memukul Kai bahkan mengacungkan senjata pada pria itu.
“Ya sudah, hanya itu yang mau Dad bicarakan sama kamu,” kata Leon seraya menatap lekat pada Stefan.
Stefan mengangguk pelan. “Aku permisi,” ujarnya sebelum segera menarik diri menuju mobil di mana Sein sedang menunggu.
Setelah masuk ke dalam mobil dan memasang seatbelt, Stefan melirik ke samping. Sein menatapnya dalam diam.
“Dad bicara apa?” tanya Sein akhirnya, menyuarakan rasa penasaran yang menggelayut di benaknya.
“Soal pekerjaan,” jawab Stefan singkat, bersiap memacu kendaraannya. Dia melirik sebentar pada Sein, yang tengah menatap serius padanya.
Stefan sengaja berbohong kepada Sein mengenai obrolannya tadi dengan Leon. Dia berpikir Sein tidak perlu tahu bahwa apa yang terjadi semalam di klub telah diketahui oleh Ayah mereka.
“Kalau hanya pekerjaan saja, mengapa harus di belakangku?” cecar Sein, menatap Stefan dengan mata memicing curiga.
“Kalau begitu, kamu tanyakan langsung pada Dad apa yang kami bicarakan tadi,” jawab Stefan, berusaha mengalihkan perhatian.
“Buat apa, Stefan?! Sedangkan kamu sendiri bisa menjawab. Kamu hanya tidak mau jujur. Hidupmu penuh dengan kebohongan, kamu tahu?!”
Tiba-tiba, emosi Sein meledak. Entahlah, setiap kali ia menerima sikap acuh tak acuh pria itu, ia merasa tak mampu berpikir dan tak mampu menahan gejolak emosinya. Saat itu, ia menatap Stefan dengan mata melotot, dadanya naik turun akibat deru napas yang memburu.
Di sisi lain, Stefan hanya diam, fokus pada jalan yang terbentang di depannya. Dia enggan menanggapi kemarahan Sein karena dia tahu perdebatan antara dirinya dan wanita itu tidak akan pernah berujung dengan baik.
Sein menarik pandangan dari Stefan, menatap keluar jendela sambil membuang napas kasar. Tak berapa lama, tiba-tiba ponsel milik Stefan berdering, memecah keheningan di antara mereka.
Sambil fokus menyetir, Stefan mengambil perangkat canggih miliknya dari saku celana dan membawanya ke depan wajah. Ia melihat nama "Taylor" di layar. Segera, Stefan menjawab panggilan telepon dari wanita itu setelah memasang earphone di telinganya.
“Halo…” sapa Stefan setelah panggilan terhubung dengan Taylor.
“Selamat pagi, sayang!” seru Taylor dengan antusias di ujung telepon.
“Pagi…” jawab Stefan seadanya.
Sejenak, Sein menarik pandangan dari luar jendela. Ia melirik sebentar pada Stefan sebelum matanya tidak sengaja melihat layar ponsel milik pria itu yang menyala. Ia terkejut saat melihat nama "Taylor" di sana. Ternyata, pria itu sedang berbicara dengan kekasihnya, pikir Sein, merasa muak.
“Sekitar sejam yang lalu aku menghubungimu, tapi kamu tidak angkat,” kata Taylor.
“Ya, tadi aku sedang mandi dan langsung bersiap-siap. Aku tidak sempat melihat ponselku,” jawab Stefan berbohong. Padahal, ketika Taylor menelepon, dia juga mendengar, tetapi malas untuk menjawab.
“Ah, iya… aku juga berpikir seperti itu. Kamu pasti sibuk bersiap-siap. Ternyata benar. Oh iya… jam 11 nanti aku ada meeting di luar dengan klien. Bagaimana kalau setelah aku selesai, kita makan siang di luar?” tanya Taylor.
“Ya, boleh,” jawab Stefan seadanya.
“Kamu ingin makan di restoran mana?” tanya Taylor lagi.
“Terserah kamu saja. Kalau sudah reservasi, kabari aku. Nanti aku kesana,” jawab Stefan. Dari dulu, dia tidak pernah menunjukkan rasa antusiasme sedikitpun ketika diajak pergi oleh Taylor, entah itu makan malam atau bahkan makan siang seperti yang tengah mereka rencanakan.
“Baiklah, kalau begitu. Sampai jumpa nanti siang, sayang. Semangat bekerja,” ucap Taylor.
“Oke, thanks,” jawab Stefan sambil mengangkat sebelah tangan ke telinga, menekan tombol kecil pada earphone. Sambungan telepon dengan Taylor pun terputus.
Di sisi lain, Sein merasa dongkol. Ia kesal mendengar interaksi Stefan dengan Taylor sejak tadi. Meskipun tidak ada yang berlebihan, tetap saja hal itu membuatnya muak.
Muak karena ia tidak bisa berbuat apa-apa saat pria itu bersenang-senang dengan kekasihnya, sementara ketika dirinya bersama Kai, maka Stefan selalu direcoki kebersamaan mereka. Menurut Sein, itu sangat tidak adil baginya.
“Ada kegiatan di luar hari ini?” tanya Stefan tiba-tiba, memecah keheningan yang terjadi di antara mereka.
Sein mendengar, tetapi enggan menjawab. Bahkan menatap Stefan pun tidak.
“Sein?” panggil Stefan dengan suara lembut sambil sesekali melirik adik angkatnya itu. Namun, wanita itu tetap tidak menghiraukan dirinya.
“Sein Fransiska!”
“Apa?!” jawab Sein, terengah. Kilat emosi jelas terpancar di matanya saat ia beralih menatap Stefan.
“Ada kegiatan di luar hari ini?” Stefan mengulang pertanyaan dengan sabar.
“Bukan urusan kamu. Buat apa kamu bertanya?” jawab Sein terdengar sinis.
Stefan menghela napas pelan sambil tetap fokus pada jalan di depannya.
“Mau apapun yang aku lakukan, tidak ada urusannya sama kamu! Jadi berhentilah ikut campur. Aku muak sama kamu!” teriak Sein.
Dalam diam, Stefan mengerutkan kening, mencoba mencerna kata-kata yang dilontarkan oleh Sein.
“Kamu bisa bebas berhubungan dengan kekasihmu, dan aku tidak pernah mengganggumu. Tapi, kenapa di saat aku bersama kekasihku, kamu selalu rusuh? Mengganggu kami?!” kata Sein— meluapkan semua yang terasa mengganjal dalam hati.
“Selama dia bisa menjaga batasannya, maka aku tidak akan ikut campur, Sein. Selama ini aku selalu bertindak sesuai porsiku. Tidak ada yang berlebihan,” jawab Stefan.
“Itu menurutmu, tidak dengan aku, Stefan!”
Stefan terdiam, tak lagi membalas omongan wanita itu.
“Kalau kamu begini terus, mungkin lebih baik sekalian aku menikah dengan Kai! Dengan begitu, aku bebas melakukan apapun dengannya dan kamu tidak akan bisa mengganggu kami!”
Deg!
Rahang tegas Stefan seketika mengeras dengan sempurna ketika mendengar ucapan Sein. Pria itu menatap lurus ke depan, berusaha menahan emosi yang berkecamuk di dalam dirinya. Sein, di sisi lain, merasa seolah sebuah jurang terbuka di antara mereka, semakin dalam dan tidak terjembatani.
***