***
Saat Sein memasuki ballroom, wanita cantik itu disambut ramah oleh pemilik acara, yang tak lain adalah kolega bisnis terbaik Ayahnya.
Sein bercengkrama sebentar dengan mereka, lalu dia dan Kai melanjutkan untuk menyapa tamu lainnya dan bergabung dengan mereka.
Stefan, di sisi lain, juga melakukan hal yang sama dengan menyapa para kolega bisnisnya. Dalam situasi seperti ini, Stefan memang lebih dikenal oleh para pebisnis dibandingkan Sein.
Hal ini wajar, mengingat Stefan adalah CEO dari Sanders Corporation, sementara Sein, meskipun putri dari pemilik perusahaan raksasa tersebut, baru saja bergabung dan tidak sering mengikuti orang tuanya ke acara-acara seperti ini.
“Tuan Stefan, saya pikir Anda datang bersama Nona Sein,” lontar salah satu pria berdasi itu, menatap ramah pada Stefan sembari melempar senyum.
Stefan menarik pandangannya dari pria di sampingnya yang tadi sedang mengobrol dengannya. Dia beralih menatap pria itu, tersenyum, kemudian menjawab, “Kami—” Ucapannya terhenti saat matanya menangkap Sein dan Kai yang menuju ke arahnya untuk bergabung. “Ah ya… kami datang bersama pasangan kami, Tuan,” lanjut Stefan, melirik sebentar pada Sein sebelum kemudian fokus pada hal lain.
Pria yang tadi bertanya pada Stefan itu tersenyum dan mengangguk pelan sebagai tanggapan.
Di sisi lain, Sein tidak tahu bahwa di sana ada Stefan dan Taylor. Jika saja dia tahu, mana mungkin dia mau bergabung di situ.
Pergi tak mungkin, bertahan pun membuat hatinya jengkel.
‘Rasanya capek sekali seperti ini. Senyum palsu membuat wajahku kaku dan pegal,’ batin Sein menggerutu dalam hati.
Sejak tadi, senyum manis tak pudar sedikitpun dari wajah cantiknya. Dia membalas sapaan mereka dengan ramah serta senyum yang dipaksakan terus mengembang di wajahnya.
Tak berapa lama, Sein menarik diri dari mereka. Dia bilang pada Kai, kekasihnya, bahwa dia ingin mengambil minum sebentar. Dia haus katanya.
Sein pergi, dan meskipun Kai ingin menemani kekasihnya, dia sedang asyik berbincang dengan salah satu pria di sana, sehingga dengan berat hati, dia membiarkan Sein pergi sendirian.
“Tunggu di sini, aku mau ke toilet sebentar,” kata Stefan berbisik di telinga Taylor.
Wanita itu mendengar, lalu memiringkan kepala menatap Stefan. Dia tersenyum dan mengangguk pelan sebagai balasan.
Setelah itu, Stefan melangkah lebar menjauh dari mereka. Namun, tujuannya bukan ke toilet, melainkan mencari keberadaan Sein. Tak lama kemudian, dia akhirnya menemukan wanita itu.
Sein berdiri di depan sebuah meja yang menampilkan berbagai minuman tertata rapi. Stefan segera menghampiri.
“Gaunmu terlalu terbuka. Apakah tidak ada pilihan lain selain yang kau pakai?” seru Stefan setelah berdiri di samping Sein.
Wanita itu hampir tersedak karena kaget. Gelas di tangannya nyaris terlepas dan meluncur ke lantai, beruntung Stefan sigap menahan.
“Bukan urusanmu, aku mau pakai yang terbuka atau tertutup, terserah aku!” jawab Sein dengan nada ketus sambil menatap dingin pada Stefan, lalu segera menarik pandangannya dari pria itu.
Sejenak, Stefan terdiam memandangi wajah Sein dari samping. Dia menarik pandangan dan menghela napas pelan.
“Kau tidak sadar kalau sejak tadi mereka terus menatap padamu, Sein?” ujar Stefan. Kali ini suaranya terdengar menggeram menahan marah.
Sein beralih, membalas tatapan Stefan dan menyadari ada kemarahan di mata pria itu. “Aku sudah terbiasa dengan gaun seperti ini. Mata mereka saja yang bermasalah, jadi jangan salahkan penampilanku. Aku berhak mengenakan apapun!” balas Sein.
Stefan terdiam, matanya menatap lekat pada adik angkatnya itu. Tanpa sengaja, tatapannya turun terpaku pada belahan bongkahan montok Sein.
Glek!
Refleks, Stefan menelan saliva dengan kasar dan segera menarik pandangannya ke arah lain. Jangankan pria-pria asing itu, bahkan dia sendiri tidak tahan melihat lekuk seksi Sein.
“Mau kemana?” tanya Stefan sigap, menahan tangan Sein saat wanita itu hendak melangkah.
Sein berhasil menarik tangannya dari cekalan Stefan. “Ke toilet,” jawabnya singkat lalu melangkah pergi. Stefan tidak mengatakan apa-apa lagi. Dia hanya diam dan menatap punggung Sein yang semakin menjauh dari pandangannya.
Sein menuju toilet dengan perasaan jengkel. Dia hampir tidak bisa menahan kekesalannya terhadap Stefan.
“Ngapain dia sibuk urus penampilanku?! Terserah aku lah, mau pakai baju terbuka, tertutup, bahkan telanjang sekalipun, tidak ada urusan sama dia!” Sein menggerutu di tengah langkahnya. “Kenapa dia tidak urus saja kekasihnya? Malah sibuk mengurusi orang lain! Ishh, dasar menyebalkan!”
Terengah-engah, Sein menghentikan langkah di lorong menuju toilet. Dia menekan dadanya perlahan, berusaha mengusir sesak dan rasa kesal yang menghimpit.
“Sein…?”
Sebuah suara memanggil, membuat Sein terlonjak kaget. Segera dia menoleh dan ternyata orang yang memanggilnya itu adalah Kai.
Kai berhenti di depan Sein, memperhatikan raut wajah kesal wanita itu. Dia maju lebih dekat, sehingga dengan refleks, Sein memundurkan tubuhnya hingga punggungnya bersentuhan dengan tembok.
“Kamu kenapa?” tanya Kai lembut, memandangi wajah cantik Sein dengan penuh kekaguman. Tangannya terangkat menuju wajah Sein, membelai lembut pipi mulus wanita itu.
Sein menggeleng pelan. “Tidak apa-apa, aku baik-baik saja,” jawabnya dengan senyum tipis.
“Aku cari-cari kamu di sana karena kamu pergi terlalu lama. Ternyata kamu mau ke toilet,” kata Kai sambil menaikkan dagu Sein. Dia memandangi bibir kenyal wanita itu dengan perasaan berdebar.
“Iya… tadi aku mau ke toilet sebentar,” jawab Sein pelan. Wajah Kai semakin dekat, bahkan dia bisa merasakan hawa panas di permukaan wajahnya akibat deru napas pria itu.
“Kamu sangat cantik malam ini, Sein,” ucap Kai dengan suara serak. Sein terdiam, seolah memberi sinyal kepada Kai.
Pria itu semakin berani saat melihat peluang di depan mata. Sein diam saja, artinya wanita itu memberi izin kepadanya.
Kai mendekatkan wajahnya, menghapus jarak antara dirinya dan Sein. Detik berikutnya, bibirnya menempel sempurna pada bibir kenyal wanita itu.
Sein menutup mata, tangannya dengan refleks terangkat mencengkeram lembut bahu Kai. Kai menggerakkan bibirnya, melumat lembut bibir Sein sambil menekan tengkuk wanita itu dengan satu tangan.
Sein membalas ciuman bibir Kai, menggerakkan bibirnya untuk menghisap bibir pria itu. Namun, Sein melakukannya tanpa perasaan yang berarti. Tidak ada debaran di dadanya sedikit pun.
Di sisi lain, Stefan menyaksikan semua itu dengan perasaan sesak. Dia berdiri mematung di ujung sana dengan tatapan dingin yang seolah menembus jiwa Sein.
Melihat wanita itu dengan sukarela membalas ciuman Kai, Stefan merasa tak berdaya. Segera, dia memutar tubuh dan menjauh dari tempat itu, meninggalkan pemandangan yang membuat dadanya terasa amat sesak.
**
Pesta terus berlangsung hingga tiba saatnya para tamu undangan mencicipi hidangan makan malam.
Stefan tampak tidak bersemangat, hampir tidak menyentuh makanan di piringnya. Berulang kali, Taylor bertanya ada apa dengan dirinya yang terlihat tak nafsu makan. Stefan hanya menjawab bahwa tidak ada apa-apa.
Menyadari suasana hati kekasihnya dalam keadaan tidak baik, Taylor pun tidak banyak bertanya. Dia berusaha berpikir positif; mungkin saja pria itu tengah kelelahan.
Setelah makan malam selesai, tak lama kemudian, pesta pun berakhir. Para tamu undangan meninggalkan tempat tersebut, termasuk Sein dan Kai yang sudah pulang lebih dulu.
Stefan mengantar Taylor pulang, setelah itu dia menuju sebuah tempat yang biasanya ia kunjungi kala sedang stres.
Nightclub. Ya, di sinilah Stefan sekarang. Sudah hampir 30 menit dia menghabiskan waktu di sana, duduk di kursi depan meja bartender.
“Tuangkan lagi,” perintah Stefan pada bartender yang sejak tadi melayaninya dengan menuangkan minuman beralkohol.
“Anda yakin, Tuan? Saya rasa Anda sudah minum cukup banyak,” tanya bartender tersebut. Melihat Stefan mulai mabuk, dia merasa perlu mengingatkan pria itu.
“Tuangkan lagi!” ulang Stefan, kali ini dengan nada menggeram dan tatapan tajam seolah menembus jiwa bartender itu.
Segera, bartender tersebut mengikuti kemauan Stefan, menuangkan minuman kedalam gelas dan menyodorkannya kepada pria itu.
Stefan mengambil gelas tersebut, mengangkatnya ke bibir, dan langsung meneguk habis tanpa ragu.
Beberapa saat kemudian, dia berdiri dari duduknya dengan tubuh sempoyongan. Stefan mulai teler, kali ini lebih parah dari biasanya. Meskipun dia sering minum di tempat ini, dia hampir tidak pernah mabuk separah sekarang.
Menyaksikan Sein berciuman dengan Kai tadi di pesta benar-benar membuat Stefan kehilangan akal.
“Tuan…!” salah satu penjaga berteriak sambil sigap menahan tubuh Stefan yang hampir jatuh akibat berjalan sempoyongan.
Kebetulan, penjaga tersebut mengenal Stefan karena pria itu sering berkunjung. Segera, dia membantu Stefan keluar dari nightclub tersebut.
Setibanya di luar, pria itu mencari-cari di mana mobil milik Stefan. “Ck, aku mana tahu mobil dia yang mana?” keluhnya sambil terus memapah tubuh Stefan.
Akhirnya, dia berhasil membawa Stefan menuju mobilnya. Dengan susah payah, dia memasukkan pria itu ke dalam kendaraan dan segera menyusul ke kursi pengemudi.
“Saya tidak tahu di mana tempat tinggal Anda, Tuan. Terus, ke mana saya akan mengantar Anda?” tanya pria tersebut sambil menatap Stefan di sampingnya. Meskipun setengah sadar, Stefan masih bisa mendengar dengan jelas pertanyaan itu.
Kemudian, Stefan menyebutkan sebuah alamat yang tak lain adalah Mansion Sanders. Setelah itu, pria tersebut segera mengantar Stefan pulang ke alamat yang disebutkan.
Pulang ke Mansion Sanders dalam keadaan mabuk? Entahlah apa yang akan terjadi disana setelahnya.
***