***
Leon berdiri mematung, menatap ke dalam lift dengan ekspresi yang sulit dibaca. Ia memperhatikan dengan seksama bagaimana Stefan memeluk Sein dari belakang, mencium lembut kepala putrinya.
Tatapan Leon seketika menjadi datar, kontras dengan Stefan yang tampak tenang, seolah kepergok oleh Ayah angkatnya adalah hal yang biasa baginya.
Stefan tidak sedikit pun berniat melepaskan Sein. Justru, pelukannya semakin erat, seolah menandakan ketidakpeduliannya pada situasi yang ada.
“Apa yang kalian lakukan, hem?” tanya Leon dengan nada penuh selidik, menatap keduanya.
“Dia memaksa aku minta buatkan kopi, Daddy! Padahal dia bisa menyuruh sekretarisnya atau OG! Kenapa harus aku?” Sein menjawab, terlihat kesal sambil mengadu pada Ayahnya.
Leon terdiam sejenak, memandang putrinya sebelum beralih ke Stefan.
“Lepaskan aku, Stefan!” Sein meronta, berusaha melepaskan diri, namun Stefan tetap keukeuh, semakin erat memeluk tubuhnya yang ramping.
Sein berusaha melawan dengan menggigit lengan Stefan, tetapi usahanya gagal. Ia mencoba menginjak kaki pria itu, tetapi juga tidak berhasil. Frustasi, Sein hampir menangis, kesal dengan situasi yang tak kunjung berubah.
Leon memperhatikan mereka dengan penuh kebingungan. Kepalanya mulai berdenyut, tanda ketidaknyamanan yang semakin mengganggu.
“Aku mau kopi, tapi buatan Sein, Dad, karena rasanya sama seperti kopi yang diracik oleh Mom. Aku tidak mau kopi dengan rasa yang berbeda,” ujar Stefan pada Leon, sambil menyeret Sein keluar dari dalam lift.
“Meracik kopi tidak akan memakan waktu berjam-jam, Sein. Mengapa kamu malas sekali ketika dimintai tolong oleh kakakmu sendiri?” ujarnya pada Sein.
“Aku bukan babu-mu! Suruh saja orang lain! Atau… kamu pulang sekalian dan minta Mommy buatkan!” balas Sein dengan nada ketus.
“Jauh. Pulang hanya membuang-buang waktu. Kalau kamu ada di sini, mengapa harus pulang?” Stefan menanggapi dengan nada santai, seolah tidak peduli pada pertikaian yang terjadi.
“Sein, Stefan…! Cukup!” Leon mulai merasa jengah. “Sampai kapan kalian akan bertengkar terus seperti ini, hem? Tidak lelahkah kalian?” Dia menatap keduanya dengan ekspresi campur aduk—frustasi dan bingung.
‘Kami begini karena kau, Dad. Kau yang tidak ingin aku bersama Sein, sehingga putrimu membenciku karena aku mengikuti kemauanmu,’ pikir Stefan dalam hati, meski ia tidak mengucapkannya.
“Sein, buatkan kopi untuk kakakmu setelah itu kembalilah bekerja,” perintah Leon, menatap Sein dengan tatapan tak terbantahkan.
Sein akhirnya mengalah, menyadari bahwa tatapan Ayahnya menunjukkan bahwa ia tidak ingin dibantah, apapun alasannya.
Leon kemudian beralih pada Stefan. “Lepaskan adikmu, Stefan.”
Stefan menggelengkan kepala. “Tidak. Nanti dia melawan lagi, atau mungkin dia akan kabur.”
Sein mendengus kesal sambil memutar kedua matanya dengan malas. Sementara itu, Leon mendesah kasar, semakin pusing menghadapi tingkah laku mereka berdua.
“Ayo, kita ke pantry,” ajak Stefan. “Permisi, Dad,” pamitnya kepada Leon sebelum membawa Sein menjauh dari lift menuju pantry yang ada di lantai tersebut.
“Aku bisa jalan sendiri, Stefan!” Sein protes, berusaha melepaskan diri.
“Aku tahu… tapi aku tidak percaya kamu tidak akan kabur,” jawab Stefan dengan tegas.
“Aku tidak akan kabur! Lepaskan aku!” Sein berusaha meronta.
“Sudahlah, Sein, berhenti melawan!” Stefan berkata, suara mulai meninggi.
“Aku tidak suka dibentak!” Sein membalas dengan nada kesal.
“Makanya, menurutlah kalau tidak suka dibentak,” jawab Stefan, tidak peduli.
Di depan lift, Leon berdiri sambil menyaksikan mereka yang semakin menjauh. Ia menggelengkan kepala, mendengar perdebatan mereka yang semakin keras. Setelah itu, ia melangkah masuk ke dalam lift dan menekan tombol turun.
Setibanya di pantry, suasana sangat sepi. Biasanya, di sana selalu ada dua atau tiga OG yang selalu standby, tetapi kini tidak ada seorang pun. Kosong. Entah ke mana mereka pergi.
Namun, Stefan merasa suasana sepi ini justru lebih baik. Saat memasuki pantry, ia tetap tidak mau melepaskan Sein.
Dia memeluk wanita itu dari belakang sambil berjalan ke sana kemari.
“Pakai brown sugar, Sein,” ujar Stefan ketika Sein hendak mengambil gula.
Sejenak, gerakan Sein terhenti. Wanita itu menoleh, mengangkat wajahnya menatap Stefan. “Sejak kapan pakai brown sugar?” tanyanya dengan raut wajah serius.
“Sudah mau dua tahun,” jawab Stefan. Saking lamanya Sein tidak pernah lagi membuatkan kopi untuknya, ternyata pria itu sudah mengganti gula yang biasa digunakan.
“Berapa sendok gulanya?” tanya Sein lagi. Tampaknya, dia agak melunak sekarang. Tidak berontak lagi, serta tidak ketus lagi pada Stefan.
“Setengah sendok teh,” jawab Stefan. Matanya memandang lekat wajah cantik Sein, sementara dadanya berdebar tak karuan.
Sein mengangguk pelan, lalu menarik wajahnya dari Stefan. Dia fokus pada racikan kopi favorit pria itu. Dengan telaten, Sein melakukannya, sementara Stefan memperhatikan dengan seksama.
Ketika Sein hendak melangkah, dia berkata, “Menjauhlah. Aku susah bergerak kalau kamu begini terus,” sambil menatap agak kesal pada pria itu.
Namun, detik berikutnya, Stefan tiba-tiba memutar posisi tubuh Sein yang tadinya membelakangi, kini menghadapnya dengan sekali gerakan cepat.
Sein memekik kaget. Kedua tangannya secara refleks menahan d**a bidang Stefan, sementara pria itu merengkuh pinggang rampingnya. Sein mengangkat wajahnya, menatap Stefan dengan perasaan gugup.
Stefan menaikkan dagu Sein. Dia menatap dengan lekat wajah cantik wanita itu, hingga terpaku pada bibir kenyal yang berwarna merah muda. Sangat menggoda, dan… sepertinya rasanya manis, pikir Stefan.
Sementara di sisi lain, Sein sesekali melirik ke arah pintu, khawatir jika ada orang yang masuk dan melihat mereka dalam posisi yang tidak pantas seperti ini. Jika hal itu sampai terjadi, apa yang akan mereka pikirkan? Mereka tahu Stefan adalah kakaknya.
Detik demi detik berlalu, Stefan semakin menatap wajah Sein dengan intens, membuat wanita itu gugup namun tak mampu berbuat apa-apa, hanya bisa menghindari tatapan itu.
‘Astaga, apa yang mau dia lakukan?’ teriak Sein dalam hati ketika menyadari wajah Stefan semakin dekat dengan wajahnya.
Deru panas di antara mereka menerpa wajah masing-masing, saking tipisnya jarak di antara mereka.
Ketika Stefan memiringkan wajahnya, Sein dengan refleks menutup mata. Tiba-tiba, terdengar derap langkah kaki mendekat ke arah pantry.
Dengan cepat, keduanya tersadar. Sein membuka mata lalu mendorong d**a Stefan. Pria itu terlihat gelagapan, seraya menarik diri dari Sein.
“Selamat siang, Tuan, Nona,” sapa salah satu OG kepada Stefan dan Sein dengan sopan.
“Siang,” balas Stefan sambil melangkah lebar keluar dari pantry menuju ruang kerjanya. Dia meninggalkan Sein begitu saja di sana.
Sein terdiam sejenak, menatap punggung lebar Stefan hingga menghilang dari pandangan. Lalu, dia menarik napas dalam-dalam, menutup mata sejenak sembari menghembuskan napas dengan kasar.
Dadanya masih berdenyut. Perasaannya campur aduk saat mengingat kembali momen singkat antara dirinya dan Stefan tadi.
Pria itu hampir saja mencium bibirnya, dan dengan bodohnya, dia menutup mata seolah bersiap menyambut sentuhan pria itu.
‘Dasar bodoh, kamu Sein. Kenapa kamu malah menyambutnya? Seharusnya kamu bertindak, bukan malah bersiap mengikuti apa yang dia mau,’ batin Sein sebelum kembali mendesah kasar.
“Nona Sein, ada yang bisa saya bantu?” tanya OG tersebut.
Sein tersentak kaget, menatap wanita itu. Ia menggelengkan kepala. “Tidak, terima kasih.”
Wanita itu tersenyum sopan. “Sama-sama, Nona.”
Setelah itu, Sein kembali melanjutkan kegiatan membuat kopi untuk Stefan.
Di sisi lain, Stefan melangkah lebar menuju ruang kerjanya. Tak berapa lama, ia tiba di ruangan, membuka pintu, dan segera masuk.
Stefan menuju meja kerjanya dan menghempaskan tubuh, duduk bersandar pada sandaran kursi sambil melonggarkan simpulan dasi yang terasa mencekik leher.
Dia meringis akibat rasa ngilu yang kian terasa pada batang keperkasaannya yang tegang.
Tegang? Sejak kapan?
Jawabannya adalah sejak dia memeluk Sein di dalam lift tadi. Stefan tak bisa mengendalikan nafsunya; semakin dia dekat dengan wanita itu, semakin besar pula keinginan yang mendorongnya untuk berbuat lebih intim.
Di sisi lain, menahan gejolak seperti itu bukanlah hal mudah untuk dilakukan.
Sekali lagi, Stefan mendesah kasar. Ia duduk malas di kursi, wajahnya menengadah ke langit-langit dengan kedua mata terpejam.
‘Aku tidak bisa berhenti memikirkannya,’ desahnya dalam hati. Sungguh, perasaan yang dia pendam untuk Sein sangat menyiksanya. Namun, apa boleh buat, Leon sendiri tak merestui dirinya bersama dengan Sein.
“Kau akan menjadi pewaris Anderson, dimana kakekmu tidak akan menyerah untuk membuatmu kembali ke dalam keluarga Anderson. Itu sebabnya aku tidak mengizinkan Sein bersamamu. Carilah wanita lain, karena aku tidak siap menerima kenyataan jika putriku menjadi tumbal, Stefan. Aku harap kau mengerti.”
Kalimat yang pernah diucapkan oleh Leon kini kembali terngiang dalam benak Stefan, seolah mengingatkan dirinya bahwa dia tidak boleh egois.
Tidak ada yang lebih penting daripada keselamatan Sein.
Tak berapa lama, Sein masuk membawa cangkir kopi untuk Stefan. Setelah menyimpan cangkir tersebut di atas meja, Sein hendak pergi, namun langkahnya terhenti oleh ucapan Stefan.
“Pergi ke pesta bersamaku,” ucap Stefan.
Sejenak, Sein terdiam sambil memunggungi Stefan. Lalu, ia memutar tubuh menatap lurus ke pria itu.
“Aku pergi dengan Kai, kekasihku!” tolak Sein tanpa berpikir. Setelah itu, dia pun segera keluar dari ruang kerja Stefan tanpa peduli dengan tatapan tajam pria itu.
***